Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Generasi Ketiga Terorisme Indonesia

2 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

  • Muhammad Tito Karnavian*

    KAMIS pagi, 21 April 2011, polisi menangkap sejumlah tersangka yang diduga bertanggung jawab atas serangan teror bom buku. Penangkapan mengungkap pula rencana kelompok itu meledakkan pipa gas di dekat Gereja Christ Cathedral, Serpong, Tangerang, pada perayaan Paskah lalu.

    Sebagian dari 22 orang yang ditangkap adalah sarjana lulusan perguruan tinggi. Mereka tidak pernah mengikuti latihan paramiliter khusus, baik di luar maupun dalam negeri. Meski mengusung ideologi yang sama dengan para pelaku terorisme sebelumnya dan memiliki hubungan dengan jaringan Negara Islam Indonesia, operasionalisasi kelompok ini mandiri. Pepi Fernando, pemimpin kelompok, belajar membuat bom dari Internet, membiayai operasi serangan, memilih target, dan melakukan eksekusi secara mandiri.

    Fakta ini menunjukkan adanya tren baru dalam terorisme di Indonesia. Marc Sageman dalam Leaderless Jihad menjelaskan tiga generasi terorisme di dunia Barat pascakonflik Afganistan-Soviet, 1989. Generasi pertama adalah kelompok inti Al-Qaidah. Misalnya Mohammad Atef dan kawan-kawan, yang bertanggung jawab atas penyerangan World Trade Center, Amerika Serikat, 11 September 2001.

    Generasi kedua adalah mereka yang pernah dilatih kelompok inti Al-Qaidah. Serangan teror bom di Bali pada 12 Oktober 2002 oleh Imam Samudra dan kawan-kawan, serangan bom di Metro Manila akhir 2000 oleh Faturrahman al-Ghozi cs, serta serangan bom kereta di Spanyol pada 11 Maret 2004 merupakan sebagian aksi generasi ini.

    Generasi ketiga adalah mereka tidak pernah dilatih oleh generasi pertama dan kedua. Mereka sedikit bersentuhan dengan jaringan Al-Qaidah atau afiliasinya dan aktif dalam kegiatan keagamaan di sel sendiri. Pemikiran radikal mereka berkembang. Mereka memperoleh kemampuan kemiliteran secara otodidaktik, termasuk dalam membuat bom serta merencanakan dan melakukan serangan.

    Di Indonesia, ketiga gelombang itu mulai terpetakan. Gelombang pertama adalah generasi anggota Al-Jamaah al-Islamiyah lulusan pelatihan paramiliter di Afganistan dan kamp militer di Filipina Selatan. Serangan bom Bali pada 2002 dan bom Mega Kuningan, Jakarta, pada 2009 oleh Noor Din. M. Top serta Urwah cs dilakukan oleh generasi ini.

    Generasi kedua adalah mereka yang dilatih oleh para lulusan Afganistan dan Filipina Selatan. Generasi ini diwakili Suryo dan kawan-kawan, yang merampok kantor Bank CIMB di Medan. Sebelum perampokan, Suryo mengikuti latihan paramiliter di Aceh pada awal 2010 dengan instruktur di antaranya Mustakim dan Enceng Kurnia, keduanya lulusan pelatihan di Filipina Selatan. Rencana pengeboman beberapa kantor kedutaan dan markas kepolisian oleh kelompok Shoghir—ditangkap di Klaten, Jawa Tengah, pertengahan 2010—adalah contoh lain laku generasi kedua.

    Gelombang ketiga pelaku teror di Indonesia tidak pernah berlatih di Afganistan dan Filipina Selatan serta tak pernah dilatih alumni pelatihan dua tempat itu. Generasi ketiga hanya terhubung sedikit—atau bahkan tidak terhubung secara fisik—dengan jaringan struktur kelompok radikal. Terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa kelompok Pepi Fernando merupakan sel yang lepas dari struktur jaringan dan tidak memiliki ”chain of command” dengan gerakan lama.

    Terbentuknya generasi ketiga ini harus diantisipasi negara dengan strategi yang tepat. Aparat keamanan dan intelijen harus bekerja ekstrakeras karena sel-sel longgar seperti ini akan lebih sulit dideteksi. Potensi laku terorisme oleh generasi ini juga akan lebih besar—seiring dengan akses Internet yang kian mudah—meski mereka belum memiliki kemampuan mengorganisasi serangan seperti pada bom Bali 2002.

    Negara perlu mengedepankan pendekatan keras (hard measure) yang lebih tegas untuk memberi efek deterrent bagi pelaku teror, termasuk dengan merevisi Undang-Undang Antiterorisme, meningkatkan kapabilitas di bidang deteksi intelijen, menegakkan hukum, dan melakukan koordinasi TNI-Polri untuk memantapkan operasi penindakan.

    Tidak kalah pentingnya adalah upaya lunak (soft measure) untuk menetralisasi pemahaman radikal dan mengisolasi pemahaman itu agar tidak berkembang. Upaya ini dapat dikemas dengan program pencerahan atau deradikalisasi dan kontraradikalisasi. Program ini perlu melibatkan berbagai komponen bangsa, baik unsur pemerintah maupun nonpemerintah. Bagian tersulit adalah mensinergikan semua komponen agar memiliki visi yang sama dan tidak bersikap sektoral.

    *Kandidat PhD S. Rajaratnam School of International Studies Nanyang Technological University, Singapura, Deputi Kepala Desk Antiteror

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus