Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Derita sang arowana

Karena dinyatakan sebagai binatang langka yang dilindungi, harga ikan arowana atau siluk, melonjak dan makin diburu oleh para nelayan. dikhawatirkan akan punah. (ling)

26 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPINTAS, ikan itu tidak memiliki keistimewaan. Tubuhnya pipih dengan sisik lebar berwarna merah dilingkari kuning emas pada pinggirnya. Tapi begitu terkena sinar, ikan itu tampak berubah. Tubuh itu memancarkan gemerlap yang indah. Dan sepasang sungut atau janggut di bibir bawah, serta sirip merah sewarna dengan ekornya, membuatnya kelihatan gagah. Inilah ikan Arowana alias siluk yang belakangan sangat populer di antara penggemar ikan hias. Ukuran tubuhnya, yang bisa mencapai sekitar satu meter, membuat ikan ini kelihatan mengesankan bila ditempatkan dalam akuarium besar. Tak heran banyak yang terpukau dan tak segan mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk bisa memilikinya. Tapi tak cuma keindahannya yang membuat harganya juga memukau. "Kalau dia meliuk-liuk, persis seperti naga, agung dan gagah rasanya," ujar Lay Cung Sin, 28, pemilik sebuah salon kecantikan di Pontianak, yang memiliki dua ekor siluk. Lay tentulah pernah melihat naga hanya dalam lukisan atau patung. Tapi dia, seperti banyak warga keturunan Cina umumnya, percaya Arowana yang disebutnya lenghe (ikan naga) ini bisa membawa hoki (rezeki). Sebagaimana naga, makhluk dalam mitos Cina yang menjadi tunggangan Dewi Kwam Im, Arowana dianggap bisa melindungi dan memberikan perasaan aman. Terutama yang berwarna merah. Yang berwarna merah memang yang paling mahal. Harganya bergantung pada besar, bentuk badan, dan warnanya. "Ikan yang bagian hidungnya mempunyai bentuk yang cekung lebih mahal dibanding dengan yang bentuknya rata," ujar Rudi. Rudi, yang berdagang Arowana sebagai sambilan sejak tahun lalu, menuding seekor Arowana merah yang panjangnya sekitar 40 cm yang ditempatkan di rumahnya, di kawasan Jakarta Selatan. "Yang ini saya tawarkan Rp 2,5 juta," katanya pekan lalu. Seekor Arowana lain yang berukuran 15 cm ditawarkannya Rp 300 ribu. Harga ini, tentu saja, yang ditawarkan. Sebab, pedagang lain bisa saja menawarkan dengan harga yang lebih miring. Di toko ikan hias "Tita Khatulistiwa Farming (TKF) Aquarium" di Jakarta Kota, misalnya, seekor Arowana berwarna merah (gold) yang panjangnya 25 cm ditawarkan Rp 200 ribu. Yang berwarna kuning, dengan ukuran sama, harganya sekitar Rp 60 ribu. Sedang yang hijau cuma Rp 10 ribu. Arowana hijau harganya memang paling rendah. "Siluk hijau, seperti juga naga hijau, bisa membawa sue atau malapetaka," kata seorang penggemar Arowana. Tidak semua pemelihara Arowana percaya ikan ini membawa keberuntungan. "Menurut saya, biasa-biasa saja, tidak ada keindahannya dan tidak ada yang aneh," kata R.A.J. Lumenta, Direktur Utama GIA. Di rumahnya ada seekor Arowana yang panjangnya sekitar 40 cm, pemberian seorang kenalan tatkala ia berkunjung ke Pontianak. "Yang punya hobi memelihara ikanitu bukan saya, tapi anak dan istri saya," ujarnya. Memelihara Arowana tidak sulit. "Yang jelas airnya harus bersih, tiap 5 atau 6 hari diganti," ucap Suharni, karyawan toko TKF Aquarium. Makannya hewan hidup seperti kelabang, udang, kodok kecil, jangkrik, ikan emas kecil, kecoa, dan belakangan ini juga ulat Taiwan. Makanan ini konon bisa membuat Arowana kuning berubah menjadi merah. "Tapi yang hijau warnanya tidak berubah," kata Suharni. Dalam klasifikasi, Arowana digolongkan ke dalam ordo Isospondyli dan termasuk famili Osteoglossidae. Ada 4 subfamili: Osteoglossinae dan Arapaiminae yang hidup di Sungai Amazone, Amerika Selatan, Seleropaginae yang ada di Asia Tenggara dan Heterodinae di Afrika. Arowana Amerika Selatan yang dipelihara adalah spesies Osteoglossum bicirrhosum, terutama karena bentuknya yang "eksotis" mirip ikan prasejarah. Menurut kepustakaan, ikan ini memang salah satu yang tersisa dari ikan-ikan prasejarah. Bentuk Arowana Asia Tenggara -- habitatnya di Malaysia, Indonesia, dan Muangthai -- lebih tipis dibanding saudara jauhnya dari Amerika. Warnanya juga berbeda. Arowana Melayu bisa berwarna keemasan, sedang yang dari Amerika berkisar antara hijau dan biru, yang berkilau keperakan. Namun, keduanya sama-sama hidup di air tawar yang suhunya sekitar 25-26 Celsius, dengan pH (derajat keasaman) 5,5-6. Arowana juga memerlukan banyak tanaman hidup, di dasar sungai, kolam, atau akuarium tempatnya tinggal. Di Indonesia, Arowana ditemukan di kawasan Riau dan Jambi (biasa disebut ikan kayangan) dan Kalimantan Barat. Yang berwarna emas cuma ada di Kabupaten Kapuas Hulu, Kal-Bar. Popularitas Arowana melonjak sejak awal 1980-an setelah keluarnya SK Menteri Pertanian 4 Oktober 1980 yang kemudian disusul SK Dirjen Perikanan 7 Mei 1983, yang menyatakannya sebagai binatang yang dilindungi karena sudah mulai langka. SK Dirjen Perikanan menyebutkan, bila nelayan secara tak sengaja menangkapnya, ikan itu harus dilepaskan. Begitu dinyatakan sebagai binatang langka, status Arowana berubah. Ikan yang di daerah habitatnya di Kapuas Hulu, Kal-Bar, disebut kelesa, tangkuso, tangkelesa, payang kayangan atau siluk, semula tidak disukai nelayan karena tergolong buas. Karena bukan saja makan cecak, belalang atau kecoak tapi juga ikan kecil. Kalau tertangkap jala nelayan, Arowana biasanya diasinkan. Lima tahun yang lalu, sekilo ikan Arowana merah yang diasinkan di Pontianak harganya paling-paling Rp 1.000. Sisiknya yang keras biasa dijadikan perhiasan tudung saji atau kerajinan tangan lainnya. Begitu Arowana dinyatakan dilindungi, ia jadi rebutan. Pedagang ikan hias di Potianak memesannya dengan harga Rp 10 ribu untuk seekor Arowana emas. Tersiar berita, di Jakarta harganya mencapai ratusan ribu rupiah, dan konon di Singapura dan Hong Kong bisa sampai jutaan rupiah. Maka, perburuan Arowana pun dimulai. "Dulu kami diberi modal oleh tauke-tauke dari Pontianak," cerita Samsu, 24, seorang awak motor tambang di Kapuas Hulu. Dari sang tauke, Samsu dan belasan kawannya masmg-masing memperoleh satu set peralatan terdiri dari sebuah aki 12 volt, lampu sorot 500 watt, setabung oksigen, seperangkat tangguk nilon serta kantung dan jeriken plastik. Perburuan dilakukan malam hari, saat pasang naik. Waktu itu, Arowana yang tergolong mouth breeder (menjaga anak-anaknya dalam mulut) seperti juga mujair, memuntahkan anak-anaknya dari mulutnya dan menyusur tepian sungai mencari makan. Para penangkap itu amat mengerti, suara kecipak air bila silus muncul. "Asal kita mendayung sampan pelan-pelan, mereka tetap berenang seputar tempatnya, biasanya dekat pepohonan yang menjulurkan akarnya," tutur Udin, rekan Samsu. Suara kecipak itu terjadi ketika ikan kayangan ini menyambar mangsanya. Ikan ini memang mampu meloncat menyambar mangsa sampai ketinggian setengah meter dan permukaan air. Bila kena sorot lampu ikan itu diam tak bergerak, hingga mudah ditangkap. Setelah dimasukkan dalam jeriken atau kantung plastik, para tauke cepat mengambilnya untuk dibawa ke Pontianak. Selain untuk menghemat oksigen yang cukup mahal, juga guna mengurangi tingkat kematian yang tinggi. Ikan Arowana harus diperlakukan sangat hati-hati. Bila selembar sungutnya putus, atau sekeping sisiknya lepas ataupun ekornya rusak, harganya akan anjlok. Bagi yang luka, kemungkinan hidupnya sangat kecil. Dulu, cerita Samsu dan Udin, dalam tiga malam beroperasi mereka bisa memperoleh puluhan ekor siluk, dari anak-anak yang baru lahir sampai induk sepanjang 30-40 cm. "Kini, kalau dalam sebulan dapat lima ekor anaknya saja, sudah nasib baik sekali," ujar Udin. Ia mulai menangkap siluk tiga tahun lalu, tatkala harga ikan -- yang berukuran 10-15 cm -- itu masih Rp 30 ribuan, hingga sekarang saat harganya mencapai ratusan ribu rupiah. Siluk alias Arowana memang makin langka. Tiga tahun lalu, Pemda Kal-Bar merencanakan pemanfaatan siluk sebagai komoditi ekspor. Diumumkanlah peraturan untuk membatasi penangkapannya. Sang induk dilarang ditangkap. Hanya ikan yang panjangnya 15 cm yang boleh ditangguk. Waktu penangkapan dibatasi: di musim kemarau dan di saat siluk memijah, sang ikan tak boleh ditangkap. Namun, tampaknya peraturan ini tak pernah didengar para nelayan. Perburuan berjalan terus. Buat mereka, menangkap siluk adalah satu-satunya sumber nafkah di setiap musim banjir yang bisa sampai tiga bulan. Hingga praktis, peraturan ini tak pernah jalan. "Kalau kita larang, apa nanti buat biaya hidup penduduk itu?" kata Djoko Sugiarto Kepala Dinas Perikanan Kal-Bar. Para nelayan, tentu saja, terangsang menangkap siluk karena iming-iming harga tinggi yang dijanjikan pedagang ikan hias. Hingga kini Pemda Kal-Bar sendiri tak mengetahui berapa besar populasi siluk di wilayahnya, karena belum pernah diadakan penelitian. Bukan cuma itu saja. Pengawasan dan proteksi terhadap ikan yang dilindungi itu ternyata semrawut. Meski ada larangan dan pembatasan, Dirjen Perikanan sendiri pernah mengeluarkan kuota pada suatu pihak untuk menangkap, mengangkut, dan memperjualbelikan 5.000 ekor Arowana. Hanya empat perusahaan yang memperoleh izin penangkapan dan pihak PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam), untuk membina populasi, penyelamatan, dan breeding. Namun, dalam kenyataannya pengembangbiakan Arowana tidak pernah terjadi karena hingga kini pemijahan Ikan ini yang dalam pemeliharaan tidak pernah berhasil. Lalu keluar pengumuman Gubernur Kal-Bar pada 22 Oktober 1985 yang melarang penangkapan siluk kecuali dengan izin Ditjen PHPA. Pemilikan siluk di rumah dibatasi hanya dua ekor dan harus dilaporkan. Selain itu juga dilarang diperjualbelikan. Tapi seperti juga peraturan lainnya, ketentuan ini tidak berjalan. Siluk tetap diburu dan "terbang" keluar Kal-Bar. Beberapa sumber mengungkapkan, cara meloloskan ikan ini dari bandar udara Supadio, Pontianak, tidak sulit. Ada yang dengan mengatakan ikan itu hadiah atau titipan dari pejabat tertentu di Jakarta. Malah ada pembawa siluk yang disertai pengawal hingga petugas PHPA tidak berdaya. Susanto Pudjomartono, Laporan: Djunaini K.S. (Pontianak), Yopie Hidayat (Ja-Tim).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus