KETIKA Coca-Cola memperkenalkan formula baru tahun lalu, banyak orang tak menyukainya. Terpaksa perusahaan minuman itu membuang formula baru tersebut, dan kembali ke formula klasik. Apa pasal? "Rasanya lebih manis dan kurang menggigit," kata seorang pejabat perusahaan yang membotolkan Coca-Cola di Indonesia. Padahal, sebelum melansir formula baru, Coca-Cola melakukan riset yang cukup lama. Antara lain, meminumkan formula baru itu kepada "kelinci-kelinci percobaan" -- yang tentu saja manusia. Hasilnya? "Tidak ada keluhan," kata pejabat ini mengutip laporan dari perusahaan induknya. Karena itu, mereka lalu memproduksi formula tersebut. Namun, penggantian formula itu ternyata sama saja dengan bunuh diri: angka penjualan merosot. Guna menyelamatkan diri, Coca-Cola terpaksa banting setir. Namun, dua ilmuwan dari Texas, Amerika, belum lama berselang berhasil membuktikan bahwa resep yang digunakan sekarang (formula klasik) tidak sama dengan resep "lama". Dr. Leigh Wyborny dan Dr. Ira Shannon menganalisa formula lama dan klasik dengan metode kromatografi gas cair. Melalui metode ini, mereka menentukan kadar gula. Formula lama, paling tidak hingga April 1983, mengandung 4,7% sakarosa, 2,9% glukosa, dan 3,3% fruktosa. Minuman yang sekarang dijual dengan formula klasik ini memang mempunyai kadar gula yang sama (10,9%). Namun, kadar gula tersebut terbentuk karena glukosa dan fruktosa. Kedua ilmuwan tersebut mencatat bahwa menghilangnya sakarosa membolehkan Coca-Cola mencabut kata gula dari daftar kandungan -- dan menggantikannya dengan sirup fruktosa yang diawetkan, atau sakarosa, atau kedua-duanya. Adapun sirup fruktosa yang diawetkan adalah pemanis baru yang berhasil mengambil pasaran gula tebu. Jis & Jri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini