PERIBAHASA-PERIBAHASA tersebut masih merupakan bagian dari cerita rakyat yang hidup. Itu bukan sekadar kalimat-kalimat yang dihafal oleh orang-orang tua dan diceritakan kepada anak-anak. Tapi pesan peribahasa itu benar-benar mendikte hidup berjuta-juta orang India di kota-kota dan di desa-desa di seluruh negeri. Pada abad ke-20, ketika kebanyakan dunia modern bangkit oleh panggilan feminisme, India masih berkubang dalam lumpur kebencian mendasar terhadap perempuan. Ya, kebengisan laki-laki terhadap perempuan. Di sebagian besar negeri itu seorang perempuan masih dianggap sebagai beban. Perempuan adalah penguras harta. Mereka itu harus diperlakukan sebagai bukan manusia. Mereka menghancurkan keluarganya dengan biaya perkawinan dan emas kawin. Oleh sebab itu, anak-anak perempuan tak perlu diasuh dengan baik. Mereka dilalaikan, ketika sehat, bahkan selagi sakit. Kelahiran bayi perempuan pada banyak tempat di negeri itu disambut dengan diam. Sementara itu, seorang bayi laki-laki dirayakan dengan gembira. Diskriminasi memang telah dimulai sejak bayi lahir. Studi yang luas yang dipimpin oleh UNICEF, sebagaimana dilakukan sendiri oleh ahli-ahli ilmu sosial India, memperlihatkan adanya pola yang terorganisasi mengenai diskriminasi terhadap gadis-gadis muda dan wanita-wanita yang lebih tua di India. Yang mereka ungkapkan itu sungguh mencengangkan. India adalah satu-satunya negara di dunia yang jumlah perempuannya menurun selama bertahun-tahun. Perbandingan itu turun dari 972 perempuan tiap 1.000 laki-laki pada 1901, menjadi 935 pada tahun 1981. Dan India adalah salah satu negara dengan angka kematian anak perempuan melebihi angka kematian anak laki-laki -- walaupun secara biologis anak perempuan sebenarnya lebih kuat daripada anak laki-laki. Karena peribahasa itulah, karena demikianlah adat membentuk hidup orang-orang ini, bayi perempuan disusui tidak sesering bayi laki-laki. Dan, dalam waktu yang lebih pendek pula. Bila mereka besar, tumbuh jadi kanak-kanak, kemudian remaja, diskriminasi itu terus berlanjut. Mereka memperoleh jatah makan lebih sedikit daripada saudara mereka yang laki-laki. Satu penelitian terhadap anak-anak sampai usia prasekolah baru-baru ini memperlihatkan bahwa 71 persen anak perempuan menderita kekurangan gizi yang parah, sementara di kalangan anak laki-laki angka itu hanya 20 persen. Statistik menunjukkan bahwa anak laki-laki dibawa ke rumah sakit dua kali lebih sering dibanding anak perempuan untuk penyakit yang biasa. Ini bukan karena anak laki-laki lebih sering jatuh sakit, tapi mereka memang lebih diperhatikan kesehatannya oleh orangtua mereka yang -- karena adat gombal itu -- lebih menghargai anak laki-laki. Data-data dari bidang pendidikan pun begitu menyokong diskriminasi itu: hanya hampir 25% perempuan India yang melek huruf, sementara laki-laki mencapai hampir 47%. Dan kesenjangan ini terus melebar. Penelitian terakhir menunjukkan, dari kelompok umur 6-14 tahun, hampir 84% anak laki-laki terdaftar di sekolah, sementara anak perempuan hanya 54%. Tentu, ini bukan gambaran yang bagus. Gadis-gadis India 15 tahun ke bawah -- sekitar 140 juta orang -- menangis putus asa meminta perawatan dan perhatian yang lebih baik. Mereka, 20% dari jumlah penduduk negeri itu seluruhnya, tak mendapat cukup makanan dan perawatan karena orangtua mereka sendiri menjadi korban tradisi yang kejam. Kemiskinan telah menjadikan perempuan beban tanggung jawab yang mengerikan. Sebagai pengantin dewasa, ia dibakar untuk dosa-dosanya terhadap keluarganya yang harus membayar tuntutan emas kawin. Dan bila ia kawin ketika masih kanak-kanak, ia akan dihukum dalam kemiskinan hidup sebagai janda setelah kematian suaminya -- walaupun perkawinannya belum disempurnakan. Bila para gadis dan perempuan disia-siakan hidupnya di sebagian besar India, itu hanyalah merupakan selangkah lebih maju dari logika kejam adat: anak perempuan harus ditolak hidup. Pembunuhan anak-anak perempuan -- menghilangkan nyawa bayi-bayi perempuan yang baru lahir -- merupakan katarsis di dalam drama tragis dari kehidupan kaum perempuan negeri itu. Tulisan berikut ini adalah gambaran tentang cobaan dan bencana yang menimpa keluarga-keluarga yang membunuh anak-anak perempuan mereka. Mereka adalah orang-orang Kallar -- sebuah masyarakat buruh tani di Distrik Madurai Tamil Nadu. Ini hanya merupakan contoh di satu daerah, dalam satu masyarakat, tetapi merupakan cermin bahwa orang India harus menatap dan berhadapan dengan keburukan yang mengitari mereka. Maksud pembangunan India menuju negeri yang secara sosial dan ekonomi adil seperti cita-cita Nehru, tentulah bukan hanya membangun pabrik-pabrik, mesin-mesin, serta rencana-rencana besar. "Pada akhirnya," kata Nehru, "manusialah yang penting, dan bila manusia yang penting, ya, itu berarti ia lebih penting sebagai seorang anak daripada sebagai seorang dewasa." Mungkin orang Kallar tak pernah mendengar kata-kata Nehru, mungkin mereka mengabaikannya. Dengarlah kisah ini. Mestinya hari itu merupakan salah satu hari yang sangat membahagiakan bagi Kuppusamy dan istrinya, Chinnammal. Keduanya buruh tani di Desa Chulichanpatti, Usilampatti-taluk, di Distrik Madurai. Hari itu, suatu pagi di bulan Mei, matahari bersinar dan Chinnammal, 26, langsing dan menarik kendati sedang hamil. Ia mengerang kesakitan di gubuknya yang terbuat dari lumpur dan ilalang. Beberapa menit lagi anaknya yang kedua akan lahir Anak sulungnya, perempuan, berumur 3 tahun, sedang bermain di luar. Akhirnya bayi itu pun lahir, menangis dengan kuat begitu lepas dari rahim ibunya. Cantik. Wajahnya bersih. Matanya memicing karena sinar matahari menerobos masuk. Dan si ibu, begitu melirik ke bayinya, air matanya terbit. Bukan air mata bahagia, tapi. Chinnammal telah melihat jenis kelamin anaknya -- perempuan. Yang kemudian terlintas dalam pikirannya bukanlah kebahagiaan seorang ibu, tetapi cobaan yang menghadang. Bagaimana mungkin keluarga buruh tani harian, orang Kallar dalam masyarakat Trevar, mampu membesarkan dan mengawinkan dua orang anak perempuan? Bagaimana mereka bisa, bila emas kawin yang dituntut pihak pengantin laki-laki selalu melangit. Pasangan itu memutuskan untuk mempunyai anak kedua dengan harapan yang akan lahir laki-laki. Tapi di hari cerah itu, impian mereka hancur. Hanya ada satu cara untuk menghindari beban hidup membesarkan dua anak perempuan. Dan Kuppusamy, suami berusia 35 itu, memutuskan yang harus mereka lakukan. Sore itu ia berangkat dengan lunglai ke ladang terdekat, memetik segenggam biji bunga oleander yang racunnya terkenal mematikan. Lalu ia kembali ke rumah. Chinnammal menumbuknya menjadi tepung basah dan menyuapkannya ke mulut bayinya yang menangis. Mereka lalu menutup pintu gubuk mereka yang kecil, duduk di luar, menunggu racun itu melakukan tugasnya. Dalam satu jam si bayi mulai meregang dan menggelepar hebat. Pelan-pelan darah mulai keluar dari mulut dan hidungnya. Beberapa menit kemudian tenang kembali. Chinnammal tahu semuanya telah selesai. Diam-diam ia berjalan menuju gubuk ibunya yang tidak jauh dari sana, menggali lubang kecil di dalamnya, dan menguburkan mayat bayinya di situ. "Saya membunuh anak saya untuk menyelamatkannya dari penderitaan seumur hidup sebagai anak orang miskin yang tak mampu membayar emas kawin yang pantas," kata Chinnammal, sambil menghirup air agar suaranya tidak pecah. "Tapi sama saja, sungguh sulit bagi saya melakukan itu. Coba, ibu manakah yang bisa tega melihat bayinya menderita walau sejenak? Dan saya harus membunuh sendiri bayi itu. Tapi itu harus saya lakukan. Suami saya dan saya sendiri telah memutuskan lebih baik membiarkan anak kami menderita satu dua jam lalu mati daripada menderita seumur hidup." Kuppusamy, mula-mula, enggan bicara. Tapi kemudian mengaku, "Penghasilan saya Rs 13 sehari sebagai buruh tani, pada hari saya berhasil mendapat kerja. Istri saya memperoleh Rs 6 sehari. Saya tidak bisa berharap bisa mengawinkan dua anak saya dengan patut. Membunuh bayi-bayi perempuan karena masalah emas kawin sangat lazim dalam masyarakat Kallar." Satu Rs hampir sama dengan Rp 46. Majalah India Today mengungkapkan bahwa dalam 10-15 tahun terakhir ini, pembunuhan anak-anak perempuan semakin bisa diterima di kalangan masyarakat Kallar di Distrik Madurai. Yakni, sebagai satu-satunya cara menghindarkan masalah emas kawin. Kata S. Muthuramalingan, yang memiliki sawah kecil di Desa Paraipatti, "Praktek semacam itu berkembang di kalangan orang Kallar 10 tahun terakhir ini, lalu meluas setelah tahun 1980." Orang-orang Kallar di Distrik Madurai terkonsentrasi di Usilampattitaluk dengan 300 desanya, dan meliputi hampir 80 persen dari 26,5 juta penduduk. Muniama dari Desa Ayodyapatti, seorang petani, berterus terang setelah mengutuk, "Hampir tidak ada keluarga miskin Kallar yang tidak membunuh bayi perempuan mereka dalam 10 tahun ini." Chinnammal bukan satu-satunya ibu yang meracuni bayinya dua bulan lalu. Chinnakkal 25 tahun, dari Desa Echampatti, melahirkan anak perempuan keduanya pada 10 Mei yang lalu di rumah sakit pemerintah Usilamatti. Si ibu lari dari rumah sakit bersama bayinya, satu jam setelah ia melahirkan. Istri seorang kerani pertunjukan hiburan di desa itu mengabaikan nasihat bahwa ibu yang baru melahirkan harus beristirahat beberapa hari sebelum bekerja kembali. Chinnakkal ingin lari, dan sebabnya mudah diduga: ia ingin membunuh bayinya. Catatan di rumah sakit mengatakan, ibu itu, dan bayinya, lari diam-diam. Tetapi Chinnakkal kembali ke rumah sakit seminggu kemudian, tidak bersama si bayi. Ia ditemani ibunya. Istri itu datang untuk berkonsultasi dengan ahli kandungan, Dokter Suthanthiradevi, karena air susunya menggumpal. Gumpalan itu terjadi karena tidak ada bayi yang menyusu. Ketika dokter itu bertanya tentang kesehatan bayinya, Chinnakkal menjawab, "Bayi itu mati empat hari setelah lahir karena sawan dan demam." Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit? "Saya tidak mampu," jawab perempuan itu. Baru kemudian, setelah pertanyaan-pertanyaan gencar, Chinnakkal mulai mengungkapkan kebenaran yang menyedihkan. "Bagaimana mungkin saya bisa membesarkan dua anak perempuan pada masa sulit ini?" keluhnya. "Kami sangat miskin. Bahkan membesarkan anak perempuan saya yang pertama saja akan merupakan beban yang tak terpikul. Suami saya tidak datang mengunjungi saya setelah saya melahirkan anak perempuan lagi. Tentunya dia membenci saya karena itu. Saya harus memberi tahu dia bahwa saya sudah menyingkirkan anak itu." Menurut Dokter Suthanthiradevi, Chinnakkal dan Chinnammal bukanlah kekecualian. Memang begitulah aturan dalam masyarakat Kallar, kata dokter itu. Ia sudah berpraktek di Usilampatti lebih dari lima tahun dan mencatat rata-rata 1.200 bayi lahir di rumah sakit itu tiap tahun. Dan hampir separuhnya adalah bayi-bayi perempuan. Kata Suthanthiradevi, "Lebih dari 95% ibu-ibu yang melahirkan bayi perempuan lari diamdiam segera setelah bayi lahir. Kami mempunyai catatan tentang ini. Kami bisa menyimpulkan motif tindakan itu." Statistik itu mengejutkan. Setiap tahun hampir 600 kelahiran bayi perempuan di kalangan orang Kallar tercatat di rumah sakit pemerintah Usilampatti, dan 570 di antaranya segera lenyap bersama ibunya, tidak lebih lama dari terbukanya mata bayi itu untuk melihat dunia. Sumber-sumber rumah sakit menyatakan, hampir 80% dari bayi yang lenyap itu -- lebih dari 450 menjadi korban pembunuhan. Di samping itu, kelahiran juga berlangsung di semacam puskesmas-puskesmas, di rumah-rumah perawatan swasta, dan rumah-rumah bersalin yang menjamur di Taluk. Di Usilampatti saja, sekitar 20 rumah persalinan tumbuh. Kata Dokter Sugandhi Natarajan yang mengurus salah satu rumah perawatan itu, "Bahkan di tempat perawatan kami yang kecil, tiap tahun kami menjumpai 12 sampai 15 kasus kelahiran, dan kira-kira tujuh di antaranya yang lahir adalah bayi perempuan." Kemudian dokter itu melanjutkan kisahnya, "Hampir semua mereka lari segera setelah si bayi lahir, dan datang kembali untuk berkonsultasi seminggu atau sepuluh hari kemudian karena masalah air susu yang menggumpal, yang harus diobati dengan tablettablet hormon. Bayi-bayi perempuan mati, dan kami tahu bagaimana cara mereka mati. Sangat menyedihkan, tapi tetap saja terjadi. Saya sudah bekerja di sini hampir enam tahun, dan apa yang terjadi terhadap bayi-bayi perempuan sudah merupakan rahasia umum." Pukul rata, dari tiap 300 desa orang Kallar di Usilampatti-taluk, dengan penduduk 500 sampai 1.500 orang, 20 sampai 50 bayi perempuan telah dibunuh dalam lima tahun terakhir ini karena masalah emas kawin yang kejam. Di Chulivechanpatti yang berpenduduk 300 orang, paling tidak tiga bayi perempuan dibunuh dalam enam bulan terakhir. Orangtua mereka terang-terangan mengakui perbuatan mereka. Lalu di Kuppuswamy, keluarga Sivaraj dan keluarga Oathappa Thevar, pun mengakui telah membunuh bayi perempuan mereka. Dan di Paraipatti yang berpenduduk 400 orang, seorang petani, S. Muthuramalingan, berkata di depan seluruh warga desanya: "Lebih dari 50 bayi perempuan tentu sudah dibunuh di desa kita selama lima sampai tujuh tahun terakhir ini." Berdasar perhitungan kasar, hampir 6.000 bayi perempuan pasti sudah diracun sampai mati di Usilampatti-taluk dalam dekade terakhir ini. Memang, hanya sebagian kecil dari kematian-kematian itu dicatat. Sebab, yang didaftar hanya kelahiran yang berlangsung di rumah sakit. Menurut hukum, kematian bayi-bayi yang mencurigakan harus dilaporkan kepada pejabat-pejabat pemerintah di desa dan panchayat atau badan-badan lokal lainnya. Tapi dalam banyak kasus mereka merahasiakannya, padahal apa sebenarnya yang terjadi sudah diketahui umum. Biasanya anak pertama tidak dibunuh, walaupun perempuan. Tetapi dengan kelahiran bayi perempuan kedua dimulailah rangkaian pembunuhan. Bukan, bukan mereka tidak sayang anak. Tapi mereka sangat menginginkan anak-anak laki-laki karena mereka bisa mendapat emas kawin. N. Nallasamy, guru di sekolah dasar di Chulivechanpatti, mengamati, "juga ada kepercayaan kuat di kalangan orang-orang Kallar, jika kau membunuh seorang anak perempuan, anakmu yang kemudian tentu laki-laki." Akibat pembunuhan anak-anak perempuan itu, kini di kalangan penduduk Kallar tampak perbandingan tak seimbang antara jumlah laki-laki dan perempuan. Kata seorang pejabat distrik yang tak mau disebut namanya, "Sekarang jumlah laki-laki 52 persen di kalangan penduduk Kallar. Sepuluh tahun yang lalu wanitalah yang berjumlah 52 persen." Banyak keluarga Kallar menyadari bahwa mereka melakukan kejahatan. Tetapi, dengan mengutarakan kesulitan mereka, mereka yakin bahwa telah melakukan satu-satunya hal yang terbaik, yang mungkin mereka lakukan. Seorang buruh tani perempuan di Desa Mayampatti Kathammal berusia 26, yang membunuh anak perempuannya yang kedua segera setelah lahir tahun lalu, sama sekali tak menyesali perbuatannya. "Bagaimana kami yang miskin ini bisa memelihara banyak anak perempuan dengan tuntutan emas kawin yang menyusahkan? Panchayat dan pejabat desa tak punya hak untuk menyelidiki atau campur tangan dalam urusan pribadi kami." Logika mereka memang aneh. Katanya, "Bila saya dan suami saya punya hak mempunyai anak, kami juga punya hak untuk membunuhnya bila kebetulan lahir perempuan, dan kami tak mampu memeliharanya. Orang luar dan pemerintah tak berhak turut campur dalam masalah ini." Suaminya, Andi namanya, menambahkan, "Tidak mungkin mengawinkan anak-anak perempuan dengan upah kami yang tidak pasti." Masalah emas kawin yang kejamlah yang menjadi penyebab banyak orang Kallar, yang terpaksa meracuni bayi-bayi mereka sendiri, melihat bayi-bayi itu meregang melepas nyawa. Seperti yang diamati oleh M. Jeeva, koordinator senior pada Perkumpulan Pembangunan Desa Terpadu (SIRD), "Pembunuhan anak-anak perempuan hanyalah gejala. Masalah emas kawinlah yang merupakan penyakit." Tuntutan emas kawin yang diajukan orangtua atau pemuda-pemuda Kallar membenarkan yang dikatakan Jeeval V. Gopal, petani kecil dari Chulivechanpatti. "Bahkan seandainya Anda ingin mengawinkan anak gadis Anda dengan seorang buruh tani miskin yang tak memiliki seinci tanah pertanian pun dan yang harus bekerja keras untuk bisa hidup, Anda harus memberinya Rs 2.000 tunai. Masih ditambah, Anda harus membuatkan perhiasan seharga lima mata uang emas dua puluh shilling bagi putri Anda," kata petani itu. Lalu, "Bila pengantin laki-laki kebetulan punya sedikit tanah, betapapun tandusnya, tuntutannya adalah Rs 10.000 dan 10 mata uang emas." Kesimpulannya, bila sebuah keluarga Kallar ingin merayakan perkawinan anak gadisnya secara pantas, biaya minimalnya sekitar Rs 30.000 sampai Rs 40.000, (sekitar Rp 1,3 juta sampai Rp 2 juta) termasuk uang tunai, perhiasan, dan keperluan-keperluan perkawinan. Dan bila calon menantu laki-laki mempunyai status sosial tinggi -- misalnya ia bertitel insinyur, pengacara, dokter, atau anggota parlemen -- pihak keluarga pengantin perempuan harus membelanjakan seratus ribu rupee ditambah hadiah sekilo emas. Dinilai dengan rupiah, total sekitar Rp 17 juta. Bayangkan saja bagaimana mustahilnya bila petani-petani miskin itu, seperti suami istri Kuppusamy dan Chinnamal, yang hanya berpenghasilan Rp 900 sehari, bisa mengumpulkan duit sebesar itu. Sistem emas kawin mengakar di kalangan orang-orang Kallar setelah tanggul di Sungai Vaigrai mengantarkan air irigasi ke Usilampatti 25 tahun yang lalu. Bersamaan dengan datangnya kemakmuran, tuntutan emas kawin menaik dan sekarang menjadi bagian dari adat kebiasaan orang-orang Kallar. Kasus Mookiah, seorang lelaki buruh tani harian di Desa Mayampatti, bisa menjadi ilustrasi tentang hal itu. Penghasilan harian Mookiah, 31, tidak tetap. Kadang sehari ia dibayar Rs 15, tapi di hari lain hanya Rs 13. Dan dalam sebulan biasanya ia hanya mendapatkan kerja beberapa hari. Di hari-hari tertentu ia harus makan bubur encer, hanya agar nyawanya tidak terpisah dari badan. Tetapi ini tidak membuat dia dan orangtuanya bertenggang rasa terhadap nasib keluarga lain. Mookiah tidak takut untuk menuntut emas kawin tinggi ketika perkawinannya direncanakan beberapa tahun yang lalu. Calon istrinya, Maharani, juga seorang buruh tani, dan orangtua si gadis diminta memberikan 10 uang emas (sekarang berharga kurang lebih Rs 20.000 atau lebih dari Rp 900.000) sebagai emas kawin, sebagai penghantar agar si gadis diterima dalam rumah tangga calon suaminya. Itu belum semuanya. Orangtua Maharani berhasil berutang dan jungkir-balik untuk mendapatkan sembilan keping mata uang emas. Mookiah kemudian tahu bahwa ia telah tertipu, lalu mengusir istrinya. Ia mengenang, "Aku mengusir istriku ketika aku mengetahui bahwa kami cuma mendapat sembilan keping mata uang, bukan sepuluh seperti yang dijanjikan. Kukatakan kepadanya, kalau ia tidak bisa memberikan sekeping mata uang emas lagi, ia tak boleh masuk ke rumahku. Kami berpisah selama dua tahun. Akhirnya ia berhasil memperoleh sekeping mata uang lagi dan kuterima kembali dia." Bisa dimengerti bila masyarakat Kallar berpikir bahwa pembunuhan anak-anak perempuan adalah jalan keluar dari cekikan setan emas kawin. Selain itu, ada latar belakang antropologis yang menarik. Menurut M. Vasudevan, koordinator senior SIRD yang lain, "Orang-orang Kallar dan Trevar dulunya prajurit-prajurit perang dari Maharaja Chola yang memerintah sebagian Tamil Nadu sepuluh abad yang lampau. Mereka pada dasarnya berkasta prajurit dan mereka tidak akan ragu-ragu untuk memenggal leher orang dengan sabit. Naluri membunuh mengalir dalam darah mereka." Kalau penjelasan ini bisa dipercaya, logis bila orang-orang itu punya hati untuk membunuh bayi-bayi perempuan mereka sendiri. Hampir tiap keluarga Kallar yang miskin sudah membunuh paling tidak seorang bayi perempuan. Dan, ada keluarga-keluarga yang ibu-ibu mereka dengan leluasa tapi sedih mengakui telah membunuh bayi-bayi perempuan berturut-turut selama bertahun-tahun. Annammal, 35, dari Desa Paraipatti, seorang buruh harian pemecah batu. Suaminya, 40, Siramai, petani dengan sejengkal tanah yang bisa disebut miliknya. Tiga anak pertama mereka semuanya perempuan. Kata Annammal yang tampak bisa menguasai kesedihannya, "Saya harus membunuh mereka semua sebab kami tak mampu. Mencarikan suami bagi mereka akan menghabiskan harta, dan kami juga percaya bahwa jika kami membunuh seorang anak perempuan, anak berikutnya yang akan lahir laki-laki." Tapi, sungguh malang, ternyata anak laki-laki tetap tidak lahir. Walaupun mereka telah membunuh tiga anak perempuan mereka, yang lahir berturut-turut adalah empat anak perempuan lagi. "Kami tidak melakukan apa-apa terhadap mereka karena kami tak tahu lagi apa yang harus kami lakukan. Akhirnya kami mempunyai anak laki-laki, dan disusul anak perempuan lagi," tutur Annammal. Kasus Annammal ini istimewa, dan secara jelas menerangkan seluruh fenomena pembunuhan bayi-bayi perempuan. Ketika ia duduk dan mengusap matanya yang merah, serta menunjuk dengan murung ke kebun belakang tempat ia menguburkan tiga bayi pertamanya, ia tidak tampak sebagai pembunuh berdarah dingin. Ia lebih tampak sebagai korban yang tak berdaya dari tradisi lingkungan yang kejam. Kenyataan bahwa anak-anak perempuannya berpakaian compang-camping, sementara anak laki-laki satu-satunya berpakaian bagus, menjelaskan seluruh budaya Kallar: anak laki-laki dianggap sebagai harta tak ternilai dan anak perempuan sebagai beban. Annammal juga memberi ilustrasi pada kenyataan bahwa di kalangan masyarakat Kallar, adalah tugas seorang ibu untuk membunuh anak yang tak diinginkan, sebagai kompensasi kegagalannya memberi anak laki-laki kepada suaminya. Tak ketika bayi, tak ketika anak-anak, lalu menjadi istri, perempuan Kallar memang menyedihkan nasibnya. Kekejaman padanya adalah perempuan. Anak itu diberi nama Vashanti. Sundayi dari Echanpatti tahun lalu diusir dari rumah oleh suaminya. Vasu, suami itu, sopir pada Perusahaan Pengelola Jalan Raya Pandyan, berang karena istrinya memberi dua anak perempuan. Kata Sundayi, "Aku tak tahu harus berbuat apa. Kata suamiku, bunuh dua anak itu atau bawa Rs 10.000 dan sepuluh keping uang emas lagi dari ayahku. Ayahku telah memberikan lima keping uang emas dan Rs 5.000 ketika kami menikah, dan sekarang aku kembali kepada orangtuaku karena diusir suamiku." Tapi perlawanan terhadap adat yang kejam ini bukanlah tak ada. Ada contoh istri-istri Kallar yang menolak untuk tunduk pada kemauan suami. Dan mereka menderita untuk itu. Nagammal, seorang istri berusia 35, keluar dari rumah karena diusir suaminya. Pasalnya, apalagi bila bukan karena ia melahirkan anak perempuan yang kedua. Ia menolak permintaan Muthukkaruppan, suaminya, untuk membunuh anak-anak itu. Ia berpisah selama enam bulan sebelum keluarga itu disatukan kembali, berkat usaha ayah Muthukkaruppan, yang memberi tahu kepada anaknya faedah membesarkan lima orang anak perempuan. Setelah itu Nagammal melahirkan seorang anak perempuan lagi dan dua orang anak laki-laki. Muthukkaruppan masih menggerutu karena harus memelihara tiga anak perempuan dengan upah hariannya yang tak pasti sebagai pemecah batu. Ia menggugat, "Mengapa aku tidak boleh membunuh anak-anak perempuanku bila aku tidak mampu memelihara mereka? Mengapa orang lain harus mencegah?" Tetapi pertanyaan yang lantang itu layu berhadapan dengan dedikasi Nagammal sebagai ibu. Kultur merendahkan perempuan dan anak-anak perempuan mengalir deras dalam darah orang-orang Kallar. Seorang suami Kallar tak akan mengunjungi istrinya di rumah sakit bila yang dilahirkan istri itu bayi perempuan. Kamar-kamar bersalin di rumah sakit Usilampatti menjadi saksi bisu. Rani, dari Desa Arogyapatti yang baru saja melahirkan bayi laki-laki, sangat bersukacita. Ia bicara tentang tinggal seminggu di rumah sakit untuk meyakinkan bahwa segalanya beres dengan anak laki-lakinya yang baru lahir. Katanya, "Suami saya Jayaraman bekerja di pabrik tekstil di Dindigul, dan ia sedang bergegas menuju kemari untuk melihat anaknya." Di pihak lain, Chinnakaruppan, 33, dari Kattathevanpatti, berdiri murung di samping istrinya Kondaiammal. Ia tak mampu tersenyum. Istrinya baru saja memberinya anak ketujuh, dan merupakan anak perempuan yang keenam. Kondaiammal mengeluh, "Saya harap dokter paling tidak akan mengizinkan kami membawa bayi itu segera, sehingga kami bisa membunuhnya. Kejahatan apa yang telah kulakukan sehingga aku dihukum dengan enam anak perempuan ?" Santosham dari desa yang sama, dan Ramakkal dari Ayodyapatti, tampak sama kalahnya, setelah melahirkan anak pertama, perempuan. Dan Yelakkal dari Doraisamypudur dekat Kalloothu, yang menunggu kelahiran anak ketiganya -- yang pertama perempuan, yang kedua laki-laki -- sangat cemas memikirkan apakah yang lahir nanti laki-laki atau perempuan. "Kalau yang lahir perempuan, suamiku Chinniah pasti akan menyuruhku membunuhnya, atau mengusirku dari rumah," katanya. Jika seorang ayah Kallar tidak memaksa istrinya membunuh anak perempuannya yang kedua, biasanya karena anak perempuannya yang pertama sudah meninggal secara wajar. Misalnya Rosammal dari Chokkadevapatti melahirkan anak keempatnya, perempuan, dan mengherankan karena anak itu masih hidup. Suaminya, Raman, menjelaskan, "Dua anak perempuan kami meninggal, dan kami cuma punya seorang anak laki-laki dan bayi ini." Praktek pembunuhan anak-anak perempuan bertambah banyak secara merata di kalangan orang-orang Kallar, dan cara pembunuhan itu sendiri beragam. Salah satunya adalah dengan menyumpalkan sejumput biji padi yang kasar ke dalam mulut si bayi. Biji-biji itu masuk ke dalam saluran napas dan si bayi tersedak sampai mati. Tapi dalam beberapa kasus padi tidak membawa hasil. Kasus Annammal (Paraipatti) adalah sebuah contoh. Katanya, ia sampai harus membuat cairan ekstrak dari tanaman madar (calotropis gigantea). Madar, tanaman beracun itu, memang oleh banyak suami Kallar telah mereka siapkan, ditanam di sekitar rumah. Seluruh budaya membunuh anak-anak perempuan ini, secara brilyan dan mengharukan, teringkas dalam kata-kata seorang wanita setengah baya, Annamayakkal dari Singarasapuram. "Dalam masyarakat kami, bila anak laki-laki meninggal karena suatu sebab, kami tidak makan bubur selama setahun. Kematian ini sama artinya kami kehilangan harta. Dan bila kami gagal membunuh anak perempuan, kami berpuasa sehari dalam kesedihan, dengan demikian kami juga menghemat sejumlah uang untuk perkawinannya kelak." Dan, sungguh ironis. Tradisi yang memandang perempuan sebagai beban disebabkan oleh emas kawin mereka hidup berakar di negara bagian yang diperintah oleh seorang menteri besar yang bersumpah demi kemuliaan wanita. Dan bukanlah orang-orang Kallar dan Trevan yang menganut adat ini, adalah juga warga negara yang memiliki perdana menteri wanita selama hampir dua dekade, di abad kebebasan wanita? Seorang perempuan harus menjadi sebungkah tanah liat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini