NASIB planet bumi dan masa depan umat manusia harihari ini sedang dipertaruhkan di pertemuan puncak United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil. Tak kurang 64 kepala negara, 46 kepala pemerintahan, dan 8 wakil presiden berduyun ke Rio membawa pendapat, harapan, dan strategi masing-masing. Para pemimpin itu bermaksud menyukseskan sebuah upaya global dalam menciptakan dunia yang lebih baik, lingkungan lebih sehat, dan alam yang tetap utuh. Hampir 50 tahun lalu, usai Perang Dunia II, upaya global telah dirintis untuk membuka babak baru dalam sejarah kemanusiaan. Waktu itu, dunia berusaha bangkit dari puing-puing kehancuran perang. Kini, dunia juga terpanggil untuk bangkit dan berjuang, agar tidak terjerumus dalam gejala kehancuran alam. Dengan kesadaran akan malapetaka ini, KTT Rio melihat satu sasaran utama, yakni tata ekologi baru bagi dunia. Tatanan ini akan ditegakkan dengan harapan bisa menjamin kelestarian lingkungan dalam pembangunan yang berkesinambungan. Lingkungan dan pembangunan kini laksana satu mata uang dengan dua muka tak lagi bisa dipisahkan. Atas keyakinan itu, KTT Rio, antara lain, harus menggariskan pedoman dasar agar lingkungan terpelihara tanpa menghambat pembangunan. Satu hal pasti, tidak mungkin mencari jalan keluar bagi kondisi lingkungan yang parah, tanpa kesejahteraan manusia ditingkatkan. Banyak pakar secara tajam menyimpulkan bahwa pada dasarnya masalah lingkungan adalah masalah kemiskinan, kepadatan penduduk, urbanisasi, dan kesenjangan ekonomi Utara-Selatan. Akankah KTT Rio berhasil? Sampai Sabtu pekan lalu, hari kedua pertemuan para kepala negara dan kepala pemerintahan, masih tersisa beberapa pasal yang belum disepakati rumusannya. Masalah yang tetap mengganjal ialah mekanisme pendanaan untuk pelestarian alam dan bab mengenai atmosfer tepatnya tentang energi dan teknologi. Secara umum sudah disepakati bahwa negara-negara maju (Utara), yang merupakan sumber pencemaran, berkewajiban membantu negara berkembang (Selatan) dalam upaya menyelamatkan planet bumi dari kerusakan lebih parah. Bagaimana implementasinya? Di situ letak kerikilnya. Sementara itu, mengenai hak dan kewajiban setiap negara untuk pelestarian lingkungan, yang tertuang dalam 27 prinsip Deklarasi Rio, lolos tanpa perubahan berarti. Tentang Agenda 21 tertuang dalam 40 bab setebal 700 halaman action programme untuk melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan ternyata beberapa isu tetap memancing silang pendapat. Misalnya, rumusan mengenai teknologi yang sehat dan aman. Predikat "sehat dan aman" dipertanyakan, karena beberapa pihak kurang mendukung energi yang mengandalkan daur ulang. Begitu pula energi yang efisien, dikhawatirkan kelak dalam implementasinya menjelma menjadi energi nuklir. Banyak negara berkembang menilai, biar pun energi nuklir sangat efisien, tapi belum tentu aman. Masalah yang juga tak mudah diformulasikan dalam Agenda 21 adalah mengenai mekanisme pendanaan. Atas usul G77 (kelompok negara berkembang), G7 (kelompok negara maju) setuju agar GEF (global environment facility) tidak merupakan satusatunya lembaga yang mengelola dan menyalurkan dana lingkungan. G77 juga menghendaki agar dalam prakteknya GEF bisa lebih transparan dan demokratik. Bahkan, lebih jauh disepakati bahwa akses dan pencairan dana GEF harus dilakukan atas dasar kriteria yang disepakati bersama. Namun, masih belum jelas, berapa besar tambahan dana yang direlakan Utara untuk Selatan. Titik ganjalannya terpaku pada batas waktu: apakah 0,7 GNP negara maju disepakati untuk disalurkan pada negara berkembang pada tahun 2000, atau secepat mungkin, atau setelah tahun 2000. Yang pasti Inggris dan Jerman sudah menyatakan mendukung program keuangan Agenda 21. Sementara Jepang, lewat pidato tertulis Perdana Menteri Kiichi Miyasawa yang dibagikan di Rio Centro, tempat KTT berlangsung, bahkan mencantumkan angka-angka bantuan yang cukup meyakinkan. Sampai akhir 1992, Jepang akan mencairkan bantuan US$ 50 milyar. Alokasi dana lingkungan dalam rangka ODA (official development assistance), sebesar US$ 3,1 milyar. Jepang, yang mengutamakan pelestarian hutan, air, dan atmosfer, juga berjanji akan meningkatkan bantuannya. Komitmen Miyazawa selama lima tahun, terhitung mulai 1992, Jepang akan menyalurkan bantuan lingkungan (melalui ODA) dari US$ 3,1 milyar menjadi US$ 7,7 milyar. Selain ODA, Jepang memastikan bahwa sektor swastanya akan sangat berperan dalam transfer teknologi, sumber daya manusia, dan juga dukungan finansial bagi mitra mereka di negara berkembang. Sementara itu, Amerika, salah satu yang dikecam perusak lapisan ozon, belum menyebutkan angka rinci mengenai bantuan mereka. Presiden Bush dalam pidatonya hanya menyatakan, "Bila Kongres setuju, Amerika akan meningkatkan bantuan lingkungan sebesar 66% dibandingkan dana lingkungan tahun 1990." Dengan tambahan 66% jadi seberapa besar? Friends of the Earth (FOE) sebuah NGO (NonGovernmental Group) dengan jaringan internasional dan berpusat di Amsterdam menyodorkan jawaban atas pertanyaan itu lewat surat edarannya. Tambahan 66% itu, menurut FOE, cuma senilai US$ 291 juta. Bantuan lingkungan Amerika untuk 1990 adalah US$ 441 juta sepersepuluh bantuan lingkungan Jepang. Sebelum berangkat ke Rio, Presiden Bush sudah menyatakan bahwa hari untuk membuka buku cek sudah lewat. Artinya: Amerika menolak memberi tambahan bantuan bagi dana lingkungan dunia ketiga. Mungkin karena pernyataan Bush sangat mengecewakan FOE, lembaga ini menyatakan seharusnya Amerika menjanjikan tambahan US$ 27,28 milyar per tahun agar memenuhi target Agenda 21, yakni 0,7 GNP. FOE juga menilai, Bush hanya bicara nonsens ketika menyerukan harus ada rencana kongkret untuk menyelamatkan planet bumi. "Sikap Bush yang mendukung kepentingan bisnis Amerika menjadi rintangan utama ke arah tercapainya pembangunan yang berkesinambungan di dunia," tulis FOE. Keberatan Amerika mengalokasikan "dana hijau" sebesar 0,7 dari GNP diulangi Presiden Bush pada jamuan makan siang bagi sejumlah menteri lingkungan hidup, termasuk Menteri Negara Kepndudukan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim, yang diadakannya di Rio, Jumat lalu. "Terhadap AS sebaiknya tidak ditetapkan batas waktu (tahun 2000)," katanya. Mengapa Amerika kurang siap? Alasannya, selama ini dana lingkungan yang dikucurkan mereka sudah US$ 11 milyar. Bila harus menyisihkan 0,7 dana GNP berarti Amerika harus merelakan dana hampir US$ 40 milyar tiap tahun. Ini memang bukan jumlah yang kecil, kendati kurang 15% dari anggaran tahunan militer mereka. Mengapa Amerika tetap memprioritaskan dana militer ini kendati perang dingin sudah lewat? "Itu adalah dividen perdamaian yang kami bayar agar tuan-tuan bisa tidur nyenyak," kelakar Bush seperti dituturkan kembali oleh Menteri Emil Salim. Bila FOE melancarkan protes lewat surat edaran, sejumlah pemuda melakukannya lewat unjuk rasa di halaman Rio Centre. Mereka menyatakan KTT Rio gagal. Aksi unjuk rasa ini segera dihentikan petugas keamanan PBB dari New York, yang selama KTT Rio berwenang dan bertanggung jawab atas kelancaran pertemuan puncak tersebut. Untung pihak-pihak lain tidak berdiam diri mengenai bantuan keuangan bagi pelestarian lingkungan. United Nations Development Program (UNDP) bersama Kanada mengambil inisiatif untuk menghimpun dana hijau. Kerja sama yang diberi nama Capacity 21 Initiative itu menyediakan US$ 8 juta untuk program percontohan. Langkah awal ini akan ditingkatkan UNDP hingga mencapai target US$ 100 juta pada akhir 1992. Sementara itu, anggota parlemen dan tokoh-tokoh berpengaruh yang bersidang juga di Rio, dua pekan silam, memutuskan untuk membentuk Green Cross, yang kelak juga akan menghimpun dana bagi pelestarian lingkungan di negara berkembang. Masyarakat Eropa yang dianggap lumpuh dalam komitmen pendanaan sudah menyatakan kesediaan menyalurkan US$ 4 milyar tahun depan. Andai kata komitmen ini tidak tercapai, sementara AS sudah tegastegas menolak menyisihkan 0,7 GNP mereka untuk dana hijau, katakata muluk dalam Deklarasi Rio dan rencana besar yang tercantum dalam Agenda 21 kelak hanya tinggal dokumen tidak berharga. Sampai akhir pekan silam, dua hari sebelum KTT Rio ditutup, belum tampak tandatanda bahwa negara maju akan membuat komitmen dana yang paling lunak sekalipun. Pasal yang menyangkut keringanan utang ataupun pembebasan utang masih dibicarakan lagi. Negara maju kabarnya khawatir daftar negara-negara berkembang yang menuntut keringan utang akan menjadi panjang sekali. Menilai perkembangan KTT Rio, sampai akhir pekan ini, kelompok negara berkembang tampaknya kurang puas dengan hasil yang dicapai. Memang dua konvensi telah ditetaskan: Deklarasi Rio sudah pasti diresmikan tanpa perubahan, berikut beberapa hal yang tidak disepakati sementara Agenda 21 sebagai rencana implementasinya masih dibicarakan. Namun, pihak Utara yang menjadi pelaku pencemaran belum tampak menunjukkan political will yang diharapkan. Isuisu besar, seperti masalah kepadatan penduduk di negara berkembang, gaya hidup konsumtif di negara maju, anggaran militer pihak Utara, kekerasan, dan perdagangan obat bius di Selatan, semua itu belum diperhatikan secara proporsional. Apa pun hasil akhir KTT Rio barulah sebuah permulaan. Apakah batu pertama yang diletakkan akan menjadi jembatan UtaraSelatan yang ampuh kelak? Nasib bumi dan umat manusia memang sedang dipertaruhkan dan agaknya terlalu kejam untuk meramalkan sebuah malapetaka, kehancuran global, kiamat, atau apa pun namanya. Isma Sawitri (Rio de Janeiro)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini