Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ketika bumi makin panas

Konvensi perubahan iklim ditandatangani. Tapi target pengurangan emisi co2 belum disepakati sepenuhnya.

20 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah suara-suara pro dan kontra terhadap isu kenaikan panas bumi, Presiden Brasil Fernando Collor de Mello tampil sebagai penanda tangan pertama Konvensi Perubahan Iklim. Konvensi ini adalah hasil kerja sidang praKTT Rio 3 Juni lalu. Melalui Konvensi tersebut diletakkan prinsipprinsip dasar yang merupakan patokan untuk mengawasi emisi gas rumah kaca yang dianggap sebagai sumber utama kenaikan panas bumi. Kesepakatan mengenai pembatasan emisi CO2 dan pasalpasal yang menyangkut kewajiban negara maju untuk menekan produksi karbondioksida dari industri dan pemakaian bahan bakar minyak pada tingkat awal banyak mengundang sikap enggan negara-negara industri. Setelah melalui serangkaian negosiasi panjang, tidak kurang dari 15 bulan, pasalpasal konvensi itu akhirnya bisa dirumuskan. Namun, teks kesepakatan tadi bernada sangat lunak karena ditentang keras oleh Amerika. Amerika, penghasil terbesar emisi CO2 (40% dari emisi CO2 sedunia), menolak tahun 2.000 sebagai batas waktu untuk menekan emisi CO2 ke tahap emisi tahun 1900. Alasannya, mengurangi emisi CO2 berarti menciutkan kegiatan industri mereka dan akan merugikan Amerika secara ekonomis. Dikhawatirkan, garagara mengurangi emisi CO2, industri Amerika terpaksa melakukan PHK besarbesaran, sesuatu yang ditentang keras oleh rakyat dan bisa menjatuhkan citra Presiden George Bush, terutama menjelang pemilu November depan. Selain itu kenaikan panas bumi akibat gas rumah kaca diragukan kebenarannya oleh sebagian ilmuwan. Bagi mereka, kenaikan panas bumi 0,3 derajat Celsius per sepuluh tahun dan mendorong permukaan air laut 6 cm per sepuluh tahun tidak mutlak disebabkan oleh emisi CO2. Singkatnya, sejak awal terciptanya planit bumi, suhu bumi telah naik turun tanpa bisa dibuktikan secara ilmiah sebabmusababnya. Terlepas dari sikap menentang Amerika dan keraguraguan sejumlah ilmuwan, beberapa negara kecil di Afrika dan Samudra Pasifik telah lama menyatakan keprihatinan mereka. Negaranegara tersebut secara geografis berada pada deretan pertama yang terancam perubahan cuaca. Perdana Menteri Bikenbau Paeniu dari Tuvalu telah mengimbau KTT Rio bisa merumuskan keputusan mengenai perubahan iklim. Tuvalu, berpenduduk 10.000 orang, dan tersebar di sembilan pulau kecil, terletak hanya lima kaki di atas muka laut Pasifik. Penduduknya selama 20 tahun terakhir khawatir bahwa pulau mereka lenyap sewaktuwaktu garagara kenaikan permukaan air laut. Sementara itu, Jeremy Leggett, aktivis Greenpeace, dalam keterangan pers yang diedarkan di sidang praKTT Rio 4 Juni, menyatakan kekecewaannya atas pasalpasal Konvensi Perubahan Iklim. "Konvensi ini tidak menentukan target pembatasan emisi gas rumah kaca, tidak menetapkan komitmen spesifik untuk dana dan teknologi yang harus ditransfer ke negara berkembang, dan tidak mengakui pentingnya efisiensi pemakaian energi dan daur ulang," tulisnya. Seakan lebih mempertajam adu kepentingan, negara-negara penghasil minyak dari kelompok Dunia Ketiga ikut pula meramaikan "polemik" rumah kaca. Dalam pandangan mereka, konvensi perubahan iklim dianggap tidak saja bisa mengguncangkan pasar minyak, tapi lebih dari itu, bisa menaikkan harga minyak. Mengapa? "Negaranegara penghasil minyak terpaksa menaikkan harga, sebagai kompensasi untuk kerugian yang diakibatkan oleh konvensi itu," kata Anibal Rosales, seorang pakar minyak dari Venezuela. Apa pun risiko emisi gas rumah kaca itu, Amerika sebegitu jauh tampaknya tidak mau bergeser sedikit pun dari sikapnya yang masih memilih untuk berada di luar konvensi. "Kendati isi pasalpasal Konvensi Perubahan Iklim sudah ideal, dokumen itu akan lemah karena tidak didukung negara-negara kunci," ujar Sekjen PBB BoutrosBoutros Ghali. Sementara menunggu ratifikasi, negara-negara penanda tangan konvensi Brasil, Belgia, Norwegia, Lichtenstein, Australia, Eslandia, Finlandia, Israel, New Zealand, Austria, Belanda, dan Swiss telah mempertimbangkan pengaturan lain tentang iklim bersama negara-negara sealiran. Soalnya, Konvensi Perubahan Iklim yang kontroversial itu baru sah berlaku bila sudah diratifikasi seluruh negara peserta KTT. Proses ini diperkirakan bisa berlangsung sampai dua tahun. I.S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus