"AMERIKA sangat kooperatif dan Jerman sangat akomodatif," Menteri KLH Emil Salim mengungkapkan suasana sidang tingkat menteri Kamis malam pekan lalu. Topik pembicaraan adalah manajemen kehutanan satu dari tiga masalah, selain Deklarasi Rio dan Agenda 21 yang sedianya sudah tuntas malam itu. Tapi berkas PrinsipPrinsip Kehutanan terbentur jalan buntu di tingkat komite karena tiga hal. Pertama, paragraf pada mukadimah, yang merujuk pada kemungkinan bahwa aspek hukum manajemen hutan kelak bisa dibicarakan lagi. Kedua, ayat yang menetapkan bahwa hasil hutan yang merupakan komoditi perdagangan internasional harus produk yang dibuat dari hutan yang dikelola tanpa merusak lingkungan. Ketiga, paragraf 17 yang mengakui bahwa hutan adalah sarana penyerap karbondioksida rumusan yang ditolak kelompok negara berkembang (G77). Sampai Kamis malam masalah hutan jadi isu politis yang diperdebatkan seru oleh kedua kubu: G77 vs G7 (negara industri). Kedua pihak sejak awal bersikukuh dengan posisi masing-masing India dan Malaysia malah hampir tidak melihat ada jalan tengah. Malaysia, misalnya, tegastegas menyatakan bahwa hutan berada di bawah kedaulatan negara-negara pemiliknya. Ini berarti Malaysia tidak bisa menerima bahwa hutan juga mengemban tugas global, yaitu sebagai penyerap karbondioksida. Sedangkan India melihat bahwa hutan seharusnya tidak sematamata merupakan sumber uang dan komoditi global. Untuk menggolkan gagasan hutan milik dunia, Amerika telah menggalang dukungan dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika yang mengalami perluasan gurun pasir. Hal itu dilakukan Amerika agar hutan tropis diakui sebagai sarana penampung dan penyerap karbondioksida. Maka Amerika berupaya agar manajemen hutan tropis diterima sebagai peraturan yang mengikat secara hukum. Dua usul mengenai pengaturan hutan tropis itu ditentang keras oleh negara berkembang. Itulah salah satu penyebab jalan buntu perundingan. Di luar dugaan, Amerika kemudian tidak lagi memaksakan manajemen hutan tropis diatur dalam konvensi yang mengikat secara hukum setelah Indonesia mengingatkan mereka tentang penolakan Konvensi Perubahan Iklim dan Konvensi Keanekaan Hayati. Pada jamjam akhir perundingan, konsensus antara kubu G77 dan G7 telah bisa merumuskan formulasi yang bisa diterima kedua pihak. Ada empat butir prinsip yang oleh Menteri Emil Salim dinilai sebagai kemenangan setidaknya menguntungkan negara berkembang. Pengakuan bahwa hutan adalah esensial untuk pembangunan ekonomi dan sangat bernilai, baik untuk kepentingan masyarakat setempat maupun kepentingan lingkungan secara global, adalah butirbutir yang dianggap bermanfaat bagi negara berkembang. Yang juga penting ialah pengakuan akses ke sumber genetik harus berada di bawah kedaulatan negara pemilik hutan dan pemanfaatannya harus berdasarkan kesepakatan bersama, baik menyangkut sisi teknologi maupun keuntungannya. Di atas semua itu, butir yang utama bagi G77 ialah bahwa prinsipprinsip kehutanan tersebut tidak mengikat secara hukum. Satu-satunya butir yang dimenangkan G7 adalah Ayat 2 b, yang menyebutkan hutan sebagai sumber alam harus dikelola secara berkesinambungan agar bisa memenuhi kebutuhan untuk menghasilkan kayu, barang jadi kayu, air, bahan makanan, bahan obatobatan, lapangan kerja, habitat untuk binatang langka, dan juga untuk penyerapan karbondioksida. Dengan dicantumkannya kata hutan juga untuk penyerapan karbondioksida, Amerika setidaknya punya pijakan untuk tuntutannya agar hutan tropis dilestarikan demi fungsinya sebagai penyerap gas buangan industri. Padahal Amerika, sebagai penghasil emisi karbon terbesar, sampai kini tidak mengacuhkan Konvensi Perubahan Iklim. Singkatnya, Amerika tidak bersedia mengurangi emisi karbonnya pada tahun 2000 (sebatas emisi tahun 1900), tapi pada saat yang sama menuntut agar hutan tropis dipelihara agar bisa terus menyerap emisi karbon yang 40% berasal dari negara itu. Sepintas terkesan Amerika telah mendiktekan kemauannya dengan mudah. Tapi secara bilateral mungkin sekali Amerika tidak segansegan membantu usaha pelestarian hutan dengan bantuan dana bagi Dunia Ketiga seperti yang dilakukannya untuk Brasil dan India belum lama ini. Presiden Bush bahkan menjanjikan alokasi dana US$ 150 juta tiap tahun akan disalurkan ke negara-negara berkembang untuk keperluan pelestarian hutan. Satu hal lain yang merupakan setengah kemenangan bagi negara maju adalah proteksi mereka terhadap ekspor barang jadi kayu dari negara berkembang. Kelompok G77 menginginkan penghapusan proteksi dalam bentuk apa pun juga, namun formulasi konsensus para menteri agak mendua. Di ayat 14 b disebutkan tentang pengurangan atau penghapusan bea masuk bagi barang jadi kayu dalam perdagangan internasional. Ini berarti, masih akan ada proteksi. Ini juga harus ditafsirkan sebagai isyarat bahwa negara-negara maju tidak akan segan-segan menolak ekspor plywood atau mebel Indonesia, kecuali barang itu merupakan produk dari hutan yang dikelola secara tidak merusak lingkungan. Namun, pihak-pihak yang berkepentingan masih menyimpan optimisme bahwa konsensus global dalam manajemen hutan kelak bisa mempertemukan kepentingan negara maju dan negara berkembang secara berimbang. I.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini