INILAH nasib seorang petani miskin di Desa Pulau Gambar, Galang, Deliserdang, Sumatera Utara. Ia percaya pada pendapat yang sering dilontarkan orang berduit, "Dengan uang, seseorang bisa menjadi kebal hukum." Ia mencobanya. Tapi apa daya, seperti umumnya orang desa, ia tidak cukup kaya. Abdul Rahman, petani itu, kini sedang diburu kecemasan. "Mungkin, pekan depan surat panggilan akan datang lagi," katanya pada TEMPO, Rabu dua pekan lalu. Kakek 78 tahun yang sedang digerogoti berbagai penyakit kronis ini terlihat menderita, baik fisik maupun mental. Pada 20 Mei lalu ia terpaksa digotong untuk memasuki ruang sidang Pengadilan Negeri Lubukpakam dekat Medan. Untung, majelis hakim yang diketuai Nyonya Enni Sinaga tak tega mengadilinya. Namun, Jaksa Syamsul Bahri ngotot dan minta terdakwa diperiksa. Hasil pemeriksaan RSU Lubukpakam menunjukkan kondisi si kakek memang gawat. Ketika dikunjungi TEMPO di rumahnya, Abdul Rahman tergolek di ranjang berkelambu kusam di rumah anaknya. Ia menderita komplikasi penyakit ginjal dan paruparu. "Ini saya bocor terus," katanya, menyibak sarungnya. Tampak kemaluannya terbungkus kantong plastik yang separuhnya telah berisi air seni. Kasus Rahman bermula pada pembelian sepetak sawah milik Rejo Murtam, seharga Rp 2.000, pada tahun 1967 lalu. Tak dinyana, 24 tahun kemudian tanah ini digugat. Pada awal 1991, Saniman, kepala desa di situ, menganggap jualbeli tanah tersebut tidak sah. Saniman, menantu Rejo Murtam, menuduh Rahman memalsu tanda tangan mertuanya. Rahman diadili dan dituntut 1 tahun penjara. Sampai 26 Februari lalu, Rahman masih menghadiri persidangan. Namun, setelah itu ia sakit. Pada 20 Mei lalu itu, berdasar perintah pengadilan, ia dipaksa menghadiri sidang. Tak ada pilihan lain, Rahman berangkat dengan dibonceng anak angkatnya, Abdul Hamid, naik sepeda melewati jalan setapak sejauh lima kilometer. Kemudian naik rakit sampai ke Galang. Dari sini naik bus lagi 15 kilometer. Ketika akhirnya mencapai pengadilan, tubuhnya melemah, dan ia langsung tergolek di halaman gedung pengadilan. Hamid buruburu meminjam bangku bambu dari warung terdekat. Dengan bangku ini Rahman digotong ke ruang sidang. Rahman telah berupaya, ketika Jaksa Syamsul meminta uang Rp 500 ribu kepada istrinya, Marni, 67 tahun. Berharap perkaranya tidak disidangkan, keluarga Rahman berusaha meminjam uang dari para tetangga. Terkumpul Rp 100 ribu, dan langsung diserahkan pada Syamsul. Namun, sisanya tak bisa mereka penuhi kendati Syamsul berulang kali menagih. Syamsul menyangkal menerima uang suap. Ia berdalih, uang itu jaminan status tahanan luar, dan diserahkan kepada panitera pengadilan. Namun, ketika TEMPO mengeceknya, Humas Pengadilan Negeri Lubukpakam, M. Hatta Ali, menyatakan bahwa uang tersebut tak pernah disetorkan. Bersihar Lubis dan Munawar Chalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini