Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Diam-Diam Di Teluk Jakarta

Masalah pencemaran teluk jakarta oleh merkuri dan perbedaan hasil penelitian yang dilakukan oleh kspl dan litbang departemen kesehatan atas pengaruh merkuri terhadap penduduk sekitarnya. (ling).

11 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERNAH diributkan orang masalah pencemaran Teluk Jakarta oleh merkuri. Sejak tahun lalu beritanya sepi kembali. Dilupakan? Ternyata penelitian atas pengaruh zat kimia beracun itu terhadap kesehatan penduduk sekitar teluk itu berlangsung terus. Secara diam-diam sejumlah ahli meluangkan sebagian waktu mereka untuk itu. Tentu dengan imbalan honorarium, sebab tim itu dibentuk (Badan Penelitian dan Pengembangan) Departemen Kesehatan. Awal Juni, tim itu mencapai kesimpulan yang cukup melegakan. Tak ditemui gejala klinis maupun laboratoris, katanya, tentang keracunan merkuri pada penduduk sekitar Teluk Jakarta. "Bersyukur (kita) bahwa keadaan tidak segawat yang diduga semula," ucap George Y. Adicondro, koordinator KSPL (Kelompok Studi Pencemaran Lingkungan). Adapun kelompok itu tahun lalu yang mengumumkan bahwa di Teluk Jakarta, ikan dan air ketika itu sudah menunjukkan kadar merkuri jauh di atas batas aman. Sejumlah penduduk, menurut penelitian KSPL, sudah diracuni merkuri itu. Kesimpulan itu cukup menggegerkan, malah banyak orang berhenti makan ikan, setidaknya yang berasal dari Teluk Jakarta. Hasil penelitian Depkes justru tidak menemui pengaruh merkuri pada kesehatan penduduk. Adicondro cenderung melihat hasilnya itu kurang serius. Namun ia gembira bahwa penelitian KSPL, sudah menggugah kesadaran masyarakat, bahkan mendorong penelitian Depkes itu. Memang "penelitian Litbang Depkes diadakan untuk memberi jawaban tuntas terhadap sinyalemen KSPL," ujar Ny. Ir. Sri Soewasti Soesanto, anggota tim itu. Ia tidak menyangkal ada pengaruh pencemaran oleh merkuri, "tapi tidak sebesar yang diumumkan KSPL," tukasnya. Kepala Puslit Ekologi Kesehatan, Dr. Setiady, yang mendampingi Sri Soewasti menambahkan bahwa hasil penelitian KSPL itu "kurang ilmiah". Tapi seorang staf PSL-UI (Pusat Studi Lingkungan Universitas Indonesia), yang tak mau disebut namanya, justru berkata, "KSPL lebih ilmiah, lengkap penelitiannya." Biaya Terlalu Tinggi Penelitian KSPL itu dulu menilai kadar merkuri dalam berbagai contoh air serta ikan, udang dan tiram. Nilai bagi contoh air berkisar antara 5 sampai 62 kali Nilai Ambang Batas (NAB). Sedang nilai kadar merkuri dalam tubuh berbagai biota laut ditemukan sampai 2 atau 3 kali di atas NAB. Sen-ua nilai ini diperoleh melalui pemeriksaan di laboratorium PT Superintending Company af Indonesia (PT Sucofindo). Semua data ini hanya mengukuhkan hasil penelitian sebelumnya oleh LON-LIPI (Lembaga Oseanologi Nasional) yang bekerjasama dengan BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional). Tim Depkes tidak mengulang penelitian itu. "Litbang Depkes memang hanya meneliti efek sampingan merkuri bagi manusia sekitar teluk itu," ujar Sri Soewasti. Juga dilakukan penelitian oleh KSPL melalui wawancara dengan sejumlah penduduk. Dan KSPL mengamati gejala klinis. Tidak diadakan pemeriksaan laboratoris. "Biayanya terlalu tinggi," ujar seorang angota KSPL. Pengamatan itu menunjukkan hasil yang mencurigakan. Misalnya, angka kematian yang tinggi serta banyak gejala yang mirip dengan penderita penyakit Minamata di Jepang. Maka KSPL bertanya: "Tidakkah ini disebabkan keracunan merkuri?" Penelitian tim Depkes dilakukan melalui wawancara 3178 orang. Tim itu juga mengamati gejala klinis. Dari-jumlah ini berdasarkan berbagai parameter, diseleksi 77 orang. Pemeriksaan klinis diadakan lebih teliti lagi. Contoh rambut orang ini diperiksakan ke laboratorium. Kadar merkuri dalam rambut merupakan suatu indikator teliti tentang tingkat keracunan seseorang oleh merkuri. Hasil analisa seperti terungkap dalam laporan tim Depkes itu ialah kadar merkuri secara umum rendah dan jauh di bawah nilai bahaya. Hanya pada satu contoh ditemui kadar merkuri yang melampaui sedikit standar itu. Namun pada orang ini tidak ditemukan gejala klinis yang diakibatkan keracunan oleh merkuri. Kesimpulan tim Depkes ialah belum ditemukan pengaruh keracunan merkuri. Penelitian tim Depkes dilakukan di wilayah sekitar Teluk Jakarta yang juga diteliti oleh tim KSPL pimpinan dr. Meizar B. Syafei. Tidak jelas apakah di antara penduduk yang diteliti tim Depkes terdapat mereka yang juga diteliti tim KSPL. Adicondro mempertanyakan mengapa tim Depkes memeriksakan contoh rambut ke Universitas Kobe di Jepang. "Padahal expertise tentang pengaruh merkuri tidak di Kobe tapi di Universitas Kumamoto, pada tim pimpinan dr. Harada," kata Adicondro. Dr. Meizar Syafei amat yakin pengaruh zat racun itu sudah menjangkiti penduduk sekitar Teluk Jakarta. Lebih lagi ia dibekali pengalaman langsung ketika masih jadi dokter perusahaan Union Carbide Indonesia, pabrik baterai di Cimanggis (TEMPO, 15 September 1979). "Litbang Depkes tidak dapat bertanggungjawab terhadap keadaan setelah 5 atau 10 tahun kemudian," ujarnya serius. Wanita yang berprofesi dokter itu menunjuk kasus keracunan merkuri di Minamata Jepang. Di sana hanya satu pabrik yang mencemarkan, terutama merkuri. Pengaruhnya baru dirasakan 15 tahun kemudian dengan sangat mengerikan. "Sedang Teluk Jakarta tercemar campuran segala bahan yang berasal dari (buangan) puluhan pabrik, "kata dr. Meizar. Dalam penelitiannya tim Depkes mengundang wakil KSPL agar turut serta, terutama dr. Meizar. Dia menolak. "Kalau saya turut, saya tak akan punya hak suara seperti di KSPL," ujarnya. Bahwa persoalannya serius, Drs. Poertomo, anggota KSPL, menunjuk pada penelitian LON-BATAN tadi. Dijumpai di daerah Tanjungpriok, Marunda, Angke dan Cisadane, kadar merkuri yang terus meningkat. Juga di daerah Pulau Seribu kadarnya terbukti cukup tinggi. Menurut ukuran standar aman dari WHO, kadar merkuri dalam air maksimum diperkenankan mencapai 0,005 ppm. "Padahal di daerah Belubuk Selatan, misalnya, sudah menunjuk angka 0,028 ppm," ujar Poertomo. Ini dibandingkannya dengan nilai yang ditemukan KSPL dalam contoh air dari dasar Muara Angke -- sebesar 0,31 ppm atau 62 kali NAB. Namun sampai saat ini belum ada kesamaan metode penelitian pencemaran lingkungan. Ada kemungkinan terjadi selisih dalam berbagi pengukuran. Dalam hal ini Dr. Apriliani Soegiarto, Kepala LON-LIPI, berkata, "Karena kita teliti sesuatu dengan kadar yang sangat rendah, mungkin saja timbul perbedaan dalam hasil penelitian." Ini bisa timbul karena perbedaan metodologi analitik, juga karena pengambilan contoh di tempat yang berbeda serta pada waktu berlainan. "LON menyampaikan hasil penelitiannya kepada PPLH agar kita mulai waspada," ujar Apriliani, "tapi LON masih belum puas dengan hasil penelitian itu." la maksudkan penelitian yang dilakukan LON bersama BATAN di tahun 1977-1978 di Teluk Jakarta. "Kami masih belum tahu secara pasti dari mana sumber merkuri itu," kata Apriliani lagi. Melampaui Standar Semula hampir semua pihak menuding pabrik di wilayah Jabotabek sebagai biang keladi pencemaran Teluk Jakarta, terutama kawasan industri Pulogadung. Tapi agaknya tidak sesederhana itu. Tahun 1980, sebuah tim Litbang Depkes melakukan penelitian terhadap 88 pabrik di wilayah Jabotabek. "Kami lakukan penelitian terhadap pembuangan zat kimia pada pabrik itu," ujar Sri Soewasti. Hasilnya membingungkan. Dalam laporannya, tim peneliti berkesimpulan bahwa kadar berbagai logam berat dalam limbah pabrik itu melampaui standar. "Tapi standar apa?" tanya seorang pejabat PT JIEP (Jakarta Industrial Estate Pulogadung). Semua badan air di Jabotabek ditetapkan peruntukannya, sedang standar kualitas airnya disesuaikan dengan peruntukan itu. Misalnya, pada badan air yang juga digunakan sebagai sumber air minum, standar batas pencemaran tentu sangat ketat. Sebaliknya untuk pertanian, atau buangan industri, standar itu bisa lebih longgar. Khusus untuk merkuri, sukar dicari industri yang membuan,, zat itu, menurut pejabat tadi. Tapi kalau peranan industri bisa diabaikan sebagai sumber pencemaran, terutama merkuri, apakah tidak mungkin terjadi akumulasi dalam jangka waktu yang cukup lama di Teluk Jakarta sebagai wadah penampung? "Teoritis itu mungkin," jawab pejabat tadi. "Itu bisa dihitung dengan bantuan komputer." Tapi ini belum pernah dilakukan. Ia lebih cenderung mengatakan sumber merkuri itu ialah alamiah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus