PERNAH diributkan orang masalah pencemaran Teluk Jakarta oleh
merkuri. Sejak tahun lalu beritanya sepi kembali. Dilupakan?
Ternyata penelitian atas pengaruh zat kimia beracun itu terhadap
kesehatan penduduk sekitar teluk itu berlangsung terus. Secara
diam-diam sejumlah ahli meluangkan sebagian waktu mereka untuk
itu. Tentu dengan imbalan honorarium, sebab tim itu dibentuk
(Badan Penelitian dan Pengembangan) Departemen Kesehatan. Awal
Juni, tim itu mencapai kesimpulan yang cukup melegakan. Tak
ditemui gejala klinis maupun laboratoris, katanya, tentang
keracunan merkuri pada penduduk sekitar Teluk Jakarta.
"Bersyukur (kita) bahwa keadaan tidak segawat yang diduga
semula," ucap George Y. Adicondro, koordinator KSPL (Kelompok
Studi Pencemaran Lingkungan). Adapun kelompok itu tahun lalu
yang mengumumkan bahwa di Teluk Jakarta, ikan dan air ketika itu
sudah menunjukkan kadar merkuri jauh di atas batas aman.
Sejumlah penduduk, menurut penelitian KSPL, sudah diracuni
merkuri itu. Kesimpulan itu cukup menggegerkan, malah banyak
orang berhenti makan ikan, setidaknya yang berasal dari Teluk
Jakarta.
Hasil penelitian Depkes justru tidak menemui pengaruh merkuri
pada kesehatan penduduk. Adicondro cenderung melihat hasilnya
itu kurang serius. Namun ia gembira bahwa penelitian KSPL, sudah
menggugah kesadaran masyarakat, bahkan mendorong penelitian
Depkes itu.
Memang "penelitian Litbang Depkes diadakan untuk memberi jawaban
tuntas terhadap sinyalemen KSPL," ujar Ny. Ir. Sri Soewasti
Soesanto, anggota tim itu. Ia tidak menyangkal ada pengaruh
pencemaran oleh merkuri, "tapi tidak sebesar yang diumumkan
KSPL," tukasnya.
Kepala Puslit Ekologi Kesehatan, Dr. Setiady, yang mendampingi
Sri Soewasti menambahkan bahwa hasil penelitian KSPL itu "kurang
ilmiah". Tapi seorang staf PSL-UI (Pusat Studi Lingkungan
Universitas Indonesia), yang tak mau disebut namanya, justru
berkata, "KSPL lebih ilmiah, lengkap penelitiannya."
Biaya Terlalu Tinggi
Penelitian KSPL itu dulu menilai kadar merkuri dalam berbagai
contoh air serta ikan, udang dan tiram. Nilai bagi contoh air
berkisar antara 5 sampai 62 kali Nilai Ambang Batas (NAB).
Sedang nilai kadar merkuri dalam tubuh berbagai biota laut
ditemukan sampai 2 atau 3 kali di atas NAB. Sen-ua nilai ini
diperoleh melalui pemeriksaan di laboratorium PT Superintending
Company af Indonesia (PT Sucofindo). Semua data ini hanya
mengukuhkan hasil penelitian sebelumnya oleh LON-LIPI (Lembaga
Oseanologi Nasional) yang bekerjasama dengan BATAN (Badan Tenaga
Atom Nasional). Tim Depkes tidak mengulang penelitian itu.
"Litbang Depkes memang hanya meneliti efek sampingan merkuri
bagi manusia sekitar teluk itu," ujar Sri Soewasti.
Juga dilakukan penelitian oleh KSPL melalui wawancara dengan
sejumlah penduduk. Dan KSPL mengamati gejala klinis. Tidak
diadakan pemeriksaan laboratoris. "Biayanya terlalu tinggi,"
ujar seorang angota KSPL. Pengamatan itu menunjukkan hasil yang
mencurigakan. Misalnya, angka kematian yang tinggi serta banyak
gejala yang mirip dengan penderita penyakit Minamata di Jepang.
Maka KSPL bertanya: "Tidakkah ini disebabkan keracunan merkuri?"
Penelitian tim Depkes dilakukan melalui wawancara 3178 orang.
Tim itu juga mengamati gejala klinis. Dari-jumlah ini
berdasarkan berbagai parameter, diseleksi 77 orang. Pemeriksaan
klinis diadakan lebih teliti lagi. Contoh rambut orang ini
diperiksakan ke laboratorium. Kadar merkuri dalam rambut
merupakan suatu indikator teliti tentang tingkat keracunan
seseorang oleh merkuri.
Hasil analisa seperti terungkap dalam laporan tim Depkes itu
ialah kadar merkuri secara umum rendah dan jauh di bawah nilai
bahaya. Hanya pada satu contoh ditemui kadar merkuri yang
melampaui sedikit standar itu. Namun pada orang ini tidak
ditemukan gejala klinis yang diakibatkan keracunan oleh merkuri.
Kesimpulan tim Depkes ialah belum ditemukan pengaruh keracunan
merkuri.
Penelitian tim Depkes dilakukan di wilayah sekitar Teluk Jakarta
yang juga diteliti oleh tim KSPL pimpinan dr. Meizar B. Syafei.
Tidak jelas apakah di antara penduduk yang diteliti tim Depkes
terdapat mereka yang juga diteliti tim KSPL. Adicondro
mempertanyakan mengapa tim Depkes memeriksakan contoh rambut ke
Universitas Kobe di Jepang. "Padahal expertise tentang pengaruh
merkuri tidak di Kobe tapi di Universitas Kumamoto, pada tim
pimpinan dr. Harada," kata Adicondro.
Dr. Meizar Syafei amat yakin pengaruh zat racun itu sudah
menjangkiti penduduk sekitar Teluk Jakarta. Lebih lagi ia
dibekali pengalaman langsung ketika masih jadi dokter perusahaan
Union Carbide Indonesia, pabrik baterai di Cimanggis (TEMPO, 15
September 1979). "Litbang Depkes tidak dapat bertanggungjawab
terhadap keadaan setelah 5 atau 10 tahun kemudian," ujarnya
serius. Wanita yang berprofesi dokter itu menunjuk kasus
keracunan merkuri di Minamata Jepang. Di sana hanya satu pabrik
yang mencemarkan, terutama merkuri. Pengaruhnya baru dirasakan
15 tahun kemudian dengan sangat mengerikan. "Sedang Teluk
Jakarta tercemar campuran segala bahan yang berasal dari
(buangan) puluhan pabrik, "kata dr. Meizar.
Dalam penelitiannya tim Depkes mengundang wakil KSPL agar turut
serta, terutama dr. Meizar. Dia menolak. "Kalau saya turut, saya
tak akan punya hak suara seperti di KSPL," ujarnya.
Bahwa persoalannya serius, Drs. Poertomo, anggota KSPL, menunjuk
pada penelitian LON-BATAN tadi. Dijumpai di daerah Tanjungpriok,
Marunda, Angke dan Cisadane, kadar merkuri yang terus meningkat.
Juga di daerah Pulau Seribu kadarnya terbukti cukup tinggi.
Menurut ukuran standar aman dari WHO, kadar merkuri dalam air
maksimum diperkenankan mencapai 0,005 ppm. "Padahal di daerah
Belubuk Selatan, misalnya, sudah menunjuk angka 0,028 ppm," ujar
Poertomo. Ini dibandingkannya dengan nilai yang ditemukan KSPL
dalam contoh air dari dasar Muara Angke -- sebesar 0,31 ppm atau
62 kali NAB.
Namun sampai saat ini belum ada kesamaan metode penelitian
pencemaran lingkungan. Ada kemungkinan terjadi selisih dalam
berbagi pengukuran. Dalam hal ini Dr. Apriliani Soegiarto,
Kepala LON-LIPI, berkata, "Karena kita teliti sesuatu dengan
kadar yang sangat rendah, mungkin saja timbul perbedaan dalam
hasil penelitian." Ini bisa timbul karena perbedaan metodologi
analitik, juga karena pengambilan contoh di tempat yang berbeda
serta pada waktu berlainan.
"LON menyampaikan hasil penelitiannya kepada PPLH agar kita
mulai waspada," ujar Apriliani, "tapi LON masih belum puas
dengan hasil penelitian itu." la maksudkan penelitian yang
dilakukan LON bersama BATAN di tahun 1977-1978 di Teluk
Jakarta. "Kami masih belum tahu secara pasti dari mana sumber
merkuri itu," kata Apriliani lagi.
Melampaui Standar
Semula hampir semua pihak menuding pabrik di wilayah Jabotabek
sebagai biang keladi pencemaran Teluk Jakarta, terutama kawasan
industri Pulogadung. Tapi agaknya tidak sesederhana itu. Tahun
1980, sebuah tim Litbang Depkes melakukan penelitian terhadap 88
pabrik di wilayah Jabotabek. "Kami lakukan penelitian terhadap
pembuangan zat kimia pada pabrik itu," ujar Sri Soewasti.
Hasilnya membingungkan. Dalam laporannya, tim peneliti
berkesimpulan bahwa kadar berbagai logam berat dalam limbah
pabrik itu melampaui standar.
"Tapi standar apa?" tanya seorang pejabat PT JIEP (Jakarta
Industrial Estate Pulogadung). Semua badan air di Jabotabek
ditetapkan peruntukannya, sedang standar kualitas airnya
disesuaikan dengan peruntukan itu. Misalnya, pada badan air yang
juga digunakan sebagai sumber air minum, standar batas
pencemaran tentu sangat ketat. Sebaliknya untuk pertanian, atau
buangan industri, standar itu bisa lebih longgar.
Khusus untuk merkuri, sukar dicari industri yang membuan,, zat
itu, menurut pejabat tadi. Tapi kalau peranan industri bisa
diabaikan sebagai sumber pencemaran, terutama merkuri, apakah
tidak mungkin terjadi akumulasi dalam jangka waktu yang cukup
lama di Teluk Jakarta sebagai wadah penampung? "Teoritis itu
mungkin," jawab pejabat tadi. "Itu bisa dihitung dengan bantuan
komputer." Tapi ini belum pernah dilakukan. Ia lebih cenderung
mengatakan sumber merkuri itu ialah alamiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini