Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Diintai Tsunami Dan Gempa

Filipina membangun PLTN di Morong, kota terpencil di semenanjung bataan. Penduduk protes, tapi reda akibat ketatnya sensor pers dan tekanan polisi. Di Manila pemuka gereja mulai turut mempermasalahkan.

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REAKTOR Westinghouse berkekuatan 620 megawatt sedang dibangun di semenanjung Bataan, tempat bersejarab dalam Perang Dunia 11. Proyek ini dengan biaya US$1, 1 milyar (mungkin lebib) akan menjadi PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) pertama di kawasan ASEAN tabun 1981 dan kebanggaan Pilipina. Tapi apa pengarubnya pada lingkungan setempat? Wartawan TEMPo George Y. Adicondro baru saja kembali dari sana. Laporannya: DUA tahun lalu, penduduk barrio (desa) Nagbalayong, 4 km dari lokasi proyek nuklir itu belum sadar apa yang sedang berlangsung di sebelah pemukiman mereka. Mereka cuma heran, mengapa pemerintah pusat di Manila tiba-tiba begitu baik hati membangun jalan semen sepanjang 27 km dari ibukota propinsi, Balanga, sampai ke Morong, kota yang paling terpencil di semenanjung Bataan. Tapi pelan-pelan desa nelayan yang berpenduduk sekitar 3000 itu mulai melek, ketika National Power Corporation (PLN-nya Pilipina) mulai membuka tanah seluas 200 Ha dengan meratakan tiga gunung sekitar Napot, suatu statio (dukuh) dekat Nagbalayong. Sebagian besar sawah-ladang penduduk Nagbalayong ikut tergusur. Beberapa km jalan raya dipagari di sekitar proyek. Pengurukan tanah di situ mulai mengganggu aliran sungai dan selokan yang tadinya mengairi tanah pertanian mereka yang tersisa. Lumpur yang hanyut ke laut serta-merta mengocok dan mengeruhkan tempat pembiakan bangus (bandeng) yang alamiah. Populasi nener (bibit bandeng) pun merosot secara drastis. Maka mengeluhlah Francisco Magtanong, seorang nelayan Nagbalayong di sana "Juga ikan-ikan lain pada minggat dari sini, semenjak konstruksi proyek nuklir itu dimulai. Akibatnya, hasil tangkapan kami jadi merosot. " Pemukiman manusia pun akan terancam. Seluruh desa nelayan itu nanti harus pindah. Begitu pula separuh kota Morong, yang letaknya cuma 11 km dari PLTN. "Tapi, ke mana kami harus pindah? tanya Rex Valdez, seorang pemuda desa Nagbalayong. Agak naik ke darat, tanah gunung kapur dan padas tak cocok untuk bertani. Kalau mau bertahan di pantai, mereka harus menghindar sejauh mungkin dari PLTN. Sebab ribuan meter kubik air laut yang dipakai untuk mendinginkan reaktor kelak akan ditumpahkan kembali ke laut pengaruh panasnya akan terasa sampai belasan km dari situ. Penduduk Nagbalayong sama sekali tidak bersikap bahala na (terserah saja). Secara perorangan maupun berkelompok, mereka pernah menyusun petisi dan mengirim surat protes ke alamat NPC. Bahkan ada juga yang langsung mengirim protes ke alamat Presiden Marcos di Istana Malacanang, Manila. Penduduk kota Morong juga ikut menandatangani petisi itu. Ternyata banyak dokumen itu hanya beredar di lingkungan gereja, biara, dan asrama mahasiswa akibat ketatnya sensor pers d Pilipina. Namun ketika oposisi di Morong dar Nagbalayong menghangat, aparat keamanan bertindak. Rapat umum dilarang dan tidak sedikit pentolan oposisi ditahan. Mereka dipulangkan setelah 'dijinakkan' di pos-pos PC (Philippine Constabulary). Ernesto Nazareno, 24 tahun, yang 4« bulan silam ditahan polisi untuk kedua kalinya, malah sudah dinyatakan "hilang". Kini, oposisi terbuka penduduk Morong sudah kendor. Bukan cuma lantaran takut, tapi juga karena banyak pemuda Morong telah mendapat pekerjaan di proyek nuklir itu. Atau kecipratan rezeki nomplok, seperti dialami putera Walikota Morong yang menjadi rekanan batako terbesar untuk proyek itu. Morong, yang tadinya kota perikanan (80% penghasilannya berasal dari tangkapan para nelayan Nagbalayong dan barrio lainnya), mulai berubah menjadi kota pekerja dan industri jasa. Keadaan ini mungkin berlangsung sampai 1981. Sesudah proyek itu selesai, cukup 200 tenaga ahli saja yang melayaninya, sementara sebagian penduduk kabupaten itu harus pindah ke luar sejauh radius 15 km dari PLTN. Buat mereka yang hidup bertetangga dengan proyek nuklir itu sulit merasa aman 100%. "Tahun 1971, gelombang pasang (tsunami) pernah menghancurkan tiga rumah beton di desa Mabayo, 19 km dari proyek reaktor nuklir. Nah, siapa dapat menjamin lain kali bukan Nap yang mendapat giliran? Dan kalau ini terjadi lagi, berapa luas daerah yang bakal terkena radiasi radioaktif" tannya Ny. Rosario Albalgade, guru sekolah di Morong. Dikuatirkan pula bahaya gempa bumi secara langsung, atau kambuhnya Gunung Natib, gunung berapi yang kini non-aktif hanya beberapa mil dari Morong. Di Manila, 180 km dari PLTN yang sedang dibangun, kaum cendekiawan dan gerejawan kritis mempersoalkan: bagaimana mengamankan ribuan ton ampas uranium yang bakal tertimbun tiap tahun. Lebih-lebih dengan risiko kebocoran radio-aktif yang bukan tak mustahil di negeri kepulauan yang hampir seanteronya selalu terancam gempa, taufan, atau letusan gunung berapi. Pemimpin Gereja Katolik Pilipina,Uskup Leonardo Z. Legaspi dalam sebuah simposium Agustus lalu bertanya: "Beranikah kita mengambil risiko ini, yang sudah dapat kita perkirakan sebelumnya?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus