REAKTOR Westinghouse berkekuatan 620 megawatt sedang dibangun di
semenanjung Bataan, tempat bersejarab dalam Perang Dunia 11.
Proyek ini dengan biaya US$1, 1 milyar (mungkin lebib) akan
menjadi PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) pertama di
kawasan ASEAN tabun 1981 dan kebanggaan Pilipina. Tapi apa
pengarubnya pada lingkungan setempat? Wartawan TEMPo George Y.
Adicondro baru saja kembali dari sana. Laporannya:
DUA tahun lalu, penduduk barrio (desa) Nagbalayong, 4 km dari
lokasi proyek nuklir itu belum sadar apa yang sedang berlangsung
di sebelah pemukiman mereka. Mereka cuma heran, mengapa
pemerintah pusat di Manila tiba-tiba begitu baik hati membangun
jalan semen sepanjang 27 km dari ibukota propinsi, Balanga,
sampai ke Morong, kota yang paling terpencil di semenanjung
Bataan. Tapi pelan-pelan desa nelayan yang berpenduduk sekitar
3000 itu mulai melek, ketika National Power Corporation (PLN-nya
Pilipina) mulai membuka tanah seluas 200 Ha dengan meratakan
tiga gunung sekitar Napot, suatu statio (dukuh) dekat
Nagbalayong.
Sebagian besar sawah-ladang penduduk Nagbalayong ikut tergusur.
Beberapa km jalan raya dipagari di sekitar proyek. Pengurukan
tanah di situ mulai mengganggu aliran sungai dan selokan yang
tadinya mengairi tanah pertanian mereka yang tersisa. Lumpur
yang hanyut ke laut serta-merta mengocok dan mengeruhkan tempat
pembiakan bangus (bandeng) yang alamiah. Populasi nener (bibit
bandeng) pun merosot secara drastis. Maka mengeluhlah Francisco
Magtanong, seorang nelayan Nagbalayong di sana "Juga ikan-ikan
lain pada minggat dari sini, semenjak konstruksi proyek nuklir
itu dimulai. Akibatnya, hasil tangkapan kami jadi merosot. "
Pemukiman manusia pun akan terancam. Seluruh desa nelayan itu
nanti harus pindah. Begitu pula separuh kota Morong, yang
letaknya cuma 11 km dari PLTN. "Tapi, ke mana kami harus pindah?
tanya Rex Valdez, seorang pemuda desa Nagbalayong. Agak naik ke
darat, tanah gunung kapur dan padas tak cocok untuk bertani.
Kalau mau bertahan di pantai, mereka harus menghindar sejauh
mungkin dari PLTN. Sebab ribuan meter kubik air laut yang
dipakai untuk mendinginkan reaktor kelak akan ditumpahkan
kembali ke laut pengaruh panasnya akan terasa sampai belasan km
dari situ.
Penduduk Nagbalayong sama sekali tidak bersikap bahala na
(terserah saja). Secara perorangan maupun berkelompok, mereka
pernah menyusun petisi dan mengirim surat protes ke alamat NPC.
Bahkan ada juga yang langsung mengirim protes ke alamat Presiden
Marcos di Istana Malacanang, Manila. Penduduk kota Morong juga
ikut menandatangani petisi itu. Ternyata banyak dokumen itu
hanya beredar di lingkungan gereja, biara, dan asrama mahasiswa
akibat ketatnya sensor pers d Pilipina.
Namun ketika oposisi di Morong dar Nagbalayong menghangat,
aparat keamanan bertindak. Rapat umum dilarang dan tidak sedikit
pentolan oposisi ditahan. Mereka dipulangkan setelah
'dijinakkan' di pos-pos PC (Philippine Constabulary). Ernesto
Nazareno, 24 tahun, yang 4« bulan silam ditahan polisi untuk
kedua kalinya, malah sudah dinyatakan "hilang".
Kini, oposisi terbuka penduduk Morong sudah kendor. Bukan cuma
lantaran takut, tapi juga karena banyak pemuda Morong telah
mendapat pekerjaan di proyek nuklir itu. Atau kecipratan rezeki
nomplok, seperti dialami putera Walikota Morong yang menjadi
rekanan batako terbesar untuk proyek itu. Morong, yang tadinya
kota perikanan (80% penghasilannya berasal dari tangkapan para
nelayan Nagbalayong dan barrio lainnya), mulai berubah menjadi
kota pekerja dan industri jasa.
Keadaan ini mungkin berlangsung sampai 1981. Sesudah proyek itu
selesai, cukup 200 tenaga ahli saja yang melayaninya, sementara
sebagian penduduk kabupaten itu harus pindah ke luar sejauh
radius 15 km dari PLTN. Buat mereka yang hidup bertetangga
dengan proyek nuklir itu sulit merasa aman 100%.
"Tahun 1971, gelombang pasang (tsunami) pernah menghancurkan
tiga rumah beton di desa Mabayo, 19 km dari proyek reaktor
nuklir. Nah, siapa dapat menjamin lain kali bukan Nap yang
mendapat giliran? Dan kalau ini terjadi lagi, berapa luas daerah
yang bakal terkena radiasi radioaktif" tannya Ny. Rosario
Albalgade, guru sekolah di Morong. Dikuatirkan pula bahaya gempa
bumi secara langsung, atau kambuhnya Gunung Natib, gunung berapi
yang kini non-aktif hanya beberapa mil dari Morong.
Di Manila, 180 km dari PLTN yang sedang dibangun, kaum
cendekiawan dan gerejawan kritis mempersoalkan: bagaimana
mengamankan ribuan ton ampas uranium yang bakal tertimbun tiap
tahun. Lebih-lebih dengan risiko kebocoran radio-aktif yang
bukan tak mustahil di negeri kepulauan yang hampir seanteronya
selalu terancam gempa, taufan, atau letusan gunung berapi.
Pemimpin Gereja Katolik Pilipina,Uskup Leonardo Z. Legaspi dalam
sebuah simposium Agustus lalu bertanya: "Beranikah kita
mengambil risiko ini, yang sudah dapat kita perkirakan
sebelumnya?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini