SETELAH Pilipina, Muangthai mungkin akan menjadi negara ASEAN
kedua yang mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir.
Agustus 1977, pemerintah di Bangkok memberikan lampu hijau bagi
EGAT, PLN-nya Muangthai untuk membangun reaktor nuklir
berkapasitas 600 megawatt. Order telah dijatuhkannya pada
General Electric, dengan perkiraan biaya satu milyar dollar.
Juga RRC, yang di masa jayanya 'Komplotan Empat' menolak impor
teknologi asing, kini membanting setir secara drastis. Seperti
diberitakan Washngton Post, Peking dan Paris sedang menanti
lampu hijau Presiden AS untuk melaksanakan transaksi reaktor
nuklir Westinghouse buatan Perancis ke RRC. Apabila disetujui
Jimmy Carter, RRC akan membeli dua reaktor masing-masing
berkapasitas 900 megawatt dan berharga $ 500 juta -- satu untuk
menerangi kantor, rumah para pejabat dan diplomat di Peking, dan
satu lagi untuk memutar roda industri di Shanghai.
Bagaimana dengan Indonesia? Jangankan untuk membangkitkan
listrik, malah untuk program nuklir yang lebih murah dan
sederhana saja Indonesia masih jauh ketinggalan dibanding dengan
tetangganya. BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional), demikian
Menteri Ristek B.J. Habibie, "selama 10 tahun terakhir ini hanya
mampu memprodusir rata-rata 70 Curie isotop Chroom setahun."
Transfer teknologi nuklir ke Indonesia dari negeri maju seperti
AS, Kanada, dan Eropa Barat telah berjalan sangat lambat. Salah
satu kerikil pengganjalnya, menurut Habibie, adalah kelambatan
ratifikasi Perjanjian Pencegahan Penyebaran Senjata Nuklir
(Non-proliferation Teaty) yang notabene diparaf wakil
pemerintah Rl di London, 8 tahun berselang. Itu sebabnya,
Agustus lalu, pemerintah cq Menteri Ristek mengajukan RUU P3SN
ke DPR. Menjelang akhir Nopember, DPR menyetujuinya tanpa rewel.
Apakah itu berarti Indonesia akan segera mencari bantuan luar
negeri untuk membangun PLTN juga -- seperti Pilipina (lihat
Lingkungan) dan Muangthai? Mengingat adanya rencana BATAN
membangunnya di Teluk Rembang, Jawa Tengah?
Dr Habibie, dalam suatu wawancara TEMPO, tak menyangkal adanya
minat ke situ. Namun sebelumnya, "ada tiga langkah persiapan
yang harus ditempuh terlebih dahulu. " Yakni penyelidikan
teknologi nuklir non-enerji -- ini sekaligus merupakan ajang
latihan bagi awak reaktor PLTN nantinya. Kemudian penambangan
uranium, lalu pengolahan bahan bakar nuklir. "Kalau cadangan
uranium ternyata terlalu sedikit, 'kan lebih baik diekspor? Atau
kalau sumber enerji lain sudah memadai, mungkin tak perlu
membangun PLTN."
Pemerintah tampaknya akan mendahulukan pembangunan reaktor
nuklir riset berkapasitas 30 megawatt di Serpong, Jawa Barat.
Ini saja sudah merupakan loncatan jauh ke depan setelah BATAN
bertahun-tahun lamanya hanya bekerja dengan reaktor Triga Mark
berkekuatan 1 megawatt di Bandung, dan reaktor di Gajah Mada,
Yogya, yang hanya 0,1 megawatt.
Para wakil rakyat juga meminta agar pemerintah tidak serta-merta
meloncat ke proyek nuklir raksasa. Husni Thamrin dari F-PP,
umpamanya, mengingatkan agar dipertimbangkan skala prioritas
pembangunan nasional, dan jangan membawa malapetaka bagi rakyat
Sementara Soelomo dari F-PDI mengharapkan agar pemerintah
terlebih dahulu mengawasi penambangan uranium di Irian Jaya dan
Kalimantan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini