PRESTASI Nyonya Eroh belum ada taranya. Kalpataru kategori Perintis Lingkungan, yang tahun lalu diterimanya, tahun ini nihil. Tak ada calon seperkasa Eroh. Selama enam tahun ia berkutat menatah cadas, menaklukkan delapan bukit. Impiannya membuahkan saluran air desanya di Pasir Kadu. Kehebatan Eroh dari Kecamatan Cisayong, 17 km barat Tasikmalaya, Jawa Barat, ini satu di antara 113 yang berprestasi luar biasa di bidang lingkungan hidup . Pekan ini ia menerima Global 500 dari United Nations Environment Program. Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia itu dipusatkan PBB di Brussel, Belgia. "Penduduk Indonesia 178 juta. Apa tidak ada mutiara lain yang cukup hebat?" tanya Emil Salim, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Tahun ini yang diajukan 204 calon. Tahun lalu 156 calon. Walau 21 peserta yang diteliti di lapangan, yang men- dapat Kalpataru pilihan dewan juri yang diketuai Prof. Otto Soemarwoto itu enam peserta. Kalpataru yang diberikan Presiden Soeharto di Istana Negara, Sabtu pekan silam, sebagai Peringatan Hari Lingkungan Hidup 1989. Setelah laporan Menteri KLH, disusul penyerahan Neraca Kepen- dudukan dan Lingkungan Hidup Daerah (NKLD) terbaik kepada Presiden. Kali ini yang menyerahkannya Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Timor Timur, dan Gubernur Jawa Timur. Kemudian pemberian Adipura pada 13 kota terbersih di Indonesia . Penerima Kalpataru -- kendati untuk kategori Perintis Lingkungan kosong sama dengan tahun lalu. Kali ini ditambah dengan kategori Pembina Lingkungan. Dua Kalpataru Penyelamat Lingkungan diraih Kelompok Tani Tukul Makmur Dusun Guntur, Wonogiri Ja-Teng, dan Krama Desa Adat Tenganan Pageringsingan di Bali (lihat Awig-Awig Kuno Juara). Dua Kalpataru Pengabdi Lingkungan diraih Achmad Ridwan dari Bali, dan Nurdai dari Desa Mannanti, Kecamatan Sinjai Selatan, Sul-Sel. Dua Kalpataru Pembina Lingkungan untuk Dr. Ir. Oemi Hani'in Suseno dari Desa Sekip, Sleman, Yogyakarta, dan S. Santoso, S.H., Kejaksaan Negeri Kuningan, Ja-Bar. Santoso, 41 tahun, berjasa karena pertama kali ia menegakkan Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup No. 4 tahun 1984. Sebagai jaksa, ia berhasil meyakinkan majelis hakim Pengadilan Negeri Sorong, atas terdakwa yang menyelundupkan 163 burung cenderawasih. Hakim memvonis terdakwa 4 tahun 6 bulan penjara, dan denda Rp 20 juta. Tatkala banding ke Pengadilan Tinggi Irian Jaya, vonis melompat ke 6 tahun. Dan itu dikukuhkan Mahkamah Agung ketika terhukum kasasi. Kalpataru untuk Oemi, 58 tahun, sudah diusulkan dua kali. Baru sekarang terpilih. Janda Almarhum Suseno itu sejak kecil memang mencintai tanaman. Hobi itu menggiring dia masuk Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Tamat 1961, ia mengajar di UGM. Tapi jiwanya sebagai "orang hutan" membaja, sampai muncul tekad menghutankan daerah Gunungkidul yang kritis itu. "Tanahnya tererosi, tinggal batu kapur. Tanamannya gundul. Penghasilan masyarakat dari mengolah tanah di situ juga jadi kritis," tutur Oemi. Pada 1964 ia mulai berkarya. Kendati ada yang meragukan tekadnya, 4-5 orang yang mau mendukungnya. Ia memperoleh hak 10 hektar dari Departemen Kehutanan. Murbei dipilih untuk penghijauan karena tumbuhnya cepat dan daunnya bisa dimakan ulat sutera. "Setiap penduduk yang menanam murbei boleh menanam palawija di sela-selanya. Hasilnya untuk petani," ujar Wagiyo, 50 tahun. Warga Desa Banaran ini dijatahi 1.000 m2 di areal murbei itu. Nama Oemi lalu tak asing. Hutan itu diberinya nama Wanagama, Hutan Gadjah Mada. Banyak petani menerima upah setelah menanam murbei, apalagi pada tanah diterasering. Ulat sutera juga dipelihara di hutan itu. Hasilnya berdaya guna meluaskan penghijauan. Setelah instansi UGM dan Pemda setempat ikut turun tangan, luas Wanagama menjadi 600 hektar. Makin alami. Burung-burung terbang dan datang. Lebah madu yang bersarang dimanfaatkan penduduk. Rumput-rumput menghidupi ternak. Di tengah Wanagama ada bangunan, kini. Anak-anak muda camping dekat-dekat situ, dan penduduk mendapat hasil dari berjualan. Hutan Wanagama kemudian sebagai tempat praktek mahasiswa UGM, juga dari perguruan tinggi lain di Yogyakarta. Hutan itu bahkan dimanfaatkan untuk konservasi plasma nutfah. Kerja doktor yang disandangnya tahun silam itu memang sebuah kiat: pantang menyerah. Kini ia disebut-sebut, "Wanagama Oemi, Oemi ...Ibu."Suhardjo Hs., Diah Purnomowati, Slamet Soebagyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini