KUNO, tapi juara. Desa Tenganan Pageringsingan, Bali. Sabtu peka lalu mendapat Kalpataru kateyori Penyelamat Lingkungan. Desa Adat di Kecamatan Manggis, Karangasem, ini dari tahun ke tahun tidak banyak berubah. Permukimannya rapi. Deretan rumah memanjang, dan banjarnya dipisahkan jalan arteri. Itu semua karena awig-awig. Dengan demikian, pamor Pulau Dewata bertamhah lagi. Tahun lalu Ni Wayan Wiratni, 46 tahun dengan introduksi kentang berkulit merahnya meraih Kalpataru. Tahun ini, satu Kalpataru juga jatuh pada Achmad Ridwan. Ia mcngajak 1.900 kk di empat desa. Kecamatan Nusa Penida, mengembangkan sistem menanam tumpang sari -- padahal tanahnya berbatu kapur dan iklimny a kering. Sedangkan lingkungan di Desa Adat Tenganan, sebelum merebut Kalpataru, tahun lalu dinilai sebagai juara I tingkat provinsi. Sebelumnya, desa ini juara nasional dalam lomba Gatra Kencana di kala HUT TVRI 1987. Desa ini 80 km dari timur Denpasar. Kehebatan awig-awig di desa tersebut bukan baru. Pengaturan bersinambungnya tata pemanfaatan sumber daya alamnya sudah sejak abad ke-10. Tata caranya yang tertulis dalam bahasa Bali latin (58 halaman) itu mcngatur banyak hal. Misalnya soal air. Desa ini bahkan menyuplai air bersih untuk kawasan wisata Candi Tenganan. Hak milik tanah juga diatur ketat. Orang luar tidak bebas membelinya. Pohon seperti durian, nangka, boleh ditebang bila sepasang pengantin baru perlu kayu bangunan rumah. Selain untuk itu, penebangan kendati di kebun sendiri mesti ada izin lebih dulu dari kelian adat -- anggota inti lembaga yang tiap hari membahas pelaksanaan adat dan pengawasannya. Diskripsi pohon harus jelas: jenisnya, jumlah, dan lokasinya. Kelian adat lalu rapat, dan yang mau ditebang ditenggok dulu. Kalau pohon itu masih hidup, kendati cuma tinggal sepucuk daun, jangan harap permohonannya diluluskan. Memetik buah seperti durian, kemiri, taep, lada, dilarang pula. Larangan itu berlaku kepada semua orang, termasuk pemiliknya. "Buahnya itu milik masyarakat," tutur I Nengah Sukerta, 45 tahun. Buah-buahan itu baru bisa dinikmati penduduk kalau sudah jatuh dari pohonnya. "Bila ada yang melanggar aturan itu, kami perlakukan sanksi tegas," ujar Kepala Desa Adat itu. Di pasal 14 awig-awig disebut: denda menebang pohon 2.000 kepeng (sekepeng setara Rp 75) dan ditambah dua kali lipat nilai kerusakan. Masyarakatnya menaatinya. Mekanisme kontrol berjalan. Pada 1970-an terjadi pelanggaran. Seorang warga minta izin menebang sebatang pohon nangka yang sudah mati. Setelah dicek: ada tiga batang. Ia diganjar denda 400 kepeng. :Jika sekarang, yah, seperti dikeluarkan dari Kopri-lah," tambah ayah empat anak itu. Meski awig-awig disangka kono, masyarakat Bali Age (Bali asli) di Tenganan Pageringsingan itu mematuhinya turun- temurun. Dengan penduduk 581 jiwa (531 kk) pelaksanaan awig-awig tampaknya masih efektif mengawasi hutan sekitar 197 hektar dan 386 hektar tegalan. Desa ini dikaki bukit terjal yang rawan longsor. Ada tiga bukit yang mengelilinginya: Bukit Kangin, Bukit Kaja, Dan Bukit Kauh. Hutan-hutan yang mengelilingi desa wisata itu memang hijau. Tidak ada tanah longsor, tapi bukan bersih dari masalah. "Kami masih memiliki 45 hektar tanah gundul. Kini akan kami menghijaukan secara perlahan," bisik Nyoman Sadar, Kepala Desa Tenganan. Bedakan dengan Sukerta sebagai Kepala Desa Adat. Status Sadar secara stuktural ke Departemen Dalam Negeri. Tak terjadi dualisme biarpun kepala desa di Tenganan ada dua. Sadar selalu diundang bila ada rapat kelian adat. Ia tetap tertua desanya. Suhardjo Hs., Tri Budianto S., N. Wedja (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini