ADA perkembangan yang menarik di pasar modal. Sukses Sucaco di BEJ (Bursa Efek Jakarta) membuktikan bahwa menjual saham bukan cuma identik dengan menghimpun modal, tapi juga meraup laba. Seperti diketahui, akhir April lalu, PT Supreme Cabel Manufacturing Corporation (Sucaco) menempatkan 5.8 juta lembar saham di BIJ. Bayangkan, saham bernilai nominal Rp 5,8 milyar itu habis terjual seharga Rp 35,96 milyar. Serta-merta Sucaco meraih laba modal (capital gain) Rp 30,1 milyar, tanpa mengucurkan keringat. Sukses "overnight" itu hampir dua kali lipat laba kotor penjualan kabel Supreme pada 1988, yang Rp 17,7 milyar. Ini berarti, apital gain, yang biasanya lari ke saku pembeli saham, kini malah direbut lebih dulu oleh perusahaan yang bersangkutan . Padahal, para pejabat di Bapepam (Badan Pelaksana Pasar Modal) dan PT Danareksa sempat khawatir karena harga saham Sucaco itu sudah cuku mahal. Ternyata, saham yang ditawarkan di pasar perdana seharga Rp 6.200 dalam tempo sebulan harganya langsung naik menjadi Rp 7.200 -- Rp 7.800 di pasar sekunder. Sewaktu dijual di pasar perdana, pesanan untuk saham Sucaco memang sudah mencapai 800%. Pemesan terbanyak (620%) berasal dari luar negeri. PT Danareksa, yang mengatur penjatahan saham-saham itu, memprioritaskan pemesan yang meminta 100 - 1.000 lembar. Akibatnya, investor asing cuma kebagian 6%. Mereka yang membawa modal lebih dari Rp 200 milyar, konon,. masih bernafsu membeli di pasar sekunder kendati harga mencuat Rp 8.500 per lembar. Dharmala Group adalah salah satu perusahaan yang juga sedang mengincar capital gain di BEJ. Pekan ini salah satu anak perusahaan Dharmala, yakni PT Asuransi Bina Dharma Arta (ABDA), menjual 900.000 lembar saham -- sekitar 16,7% dari total saham perusahaan. Saham-saham itu bernilai nominal Rp 1.000, tapi hendak dijual di BEJ Rp 3.800 per lembar. "Ini akan mengakibatkan laba modal sejumlah Rp 2.520.000.000 (bagi perusahaan)," demikian dilaporkan dalam prospektus PT ABDA. PT Indovest menjamin saham-saham ABDA bakal terjual habis. "Kami sudah didekati investor asing. Mereka berani membeli semua saham itu," kata Direktur Pelaksana PT Indovest, Lukman Nul Hakim. Selain itu, kata Lukman, PT ABDA adalah perusahaan asuransi umum papan atas yang menduduki peringkat ke-8, beberapa tingkat di atas perusahaan asuransi Pan Union, yang saham-sahamnya diperdagangkan di bursa dengan harga sekitar Rp 4.500 per lembar. ABDA bernaung di bawah panji-panji PT Dharmala Sakti Sejahtera (DSS) yang dipimpin Suyanto Gondokusumo. DSS sendiri adalah divisi keuangan dari Dharmala Group, milik Suhargo Gondokusumo. Dharmala kini mempunyai sekitar 60 perusahaan, yang dibagi dalam lima kelompok: perdagangan, agribisnis, real estate, internasional, dan keuangan. Suyanto Gondokusumo, M.B.A. lulusan University of Southern California (AS), adalah anak Suhargo, yang merintis keterbukaan perusahaan. Februari lalu, DSS menjual obligasi Rp 10 milyar. Dan kini Suyanto hendak go public dengan ABDA. "Ini baru sekadar tes. Kelak, ada perusahaan lain yang juga hendak dimasyarakatkan," kata Direktur Keuangan DSS, Micky Thio. Bisnis asuransi dewasa ini memang bersaing ketat. Dalam situasi demikian, ABDA masih bisa berkembang dengan baik. Di bawah pimpinan Presdir Eduard Sindal, ABDA tahun '88 berhasil mengumpulkan dana masyarakat (premi) sebesar Rp 12,5milyar. Tahun itu juga ABDA meraup laba bersih (setelah dipotong pajak) sekitar Rp 413 juta. Jika pasar jasa asuransi dan iklim ekonomi berjalan stabil, direksi memperkirakan premi tahun 1989 ini akan meningkat menjadi Rp 19,8 milyar. Sedangkan laba bersih tahun ini diperkirakan Rp 755 juta. Jadi, wajarlah bila ABDA menjanjikan dividen, minimal 50% dari keuntungan.Max Wangakar, Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini