DARI mana datangnya pasir? "Dari pantai Muara Bengkulu," kata seorang mandor bangunan di Kota Bengkulu. Dia tak mengada-ada. Kawasan pantai di dekat muara sungai memang dikenal sebagai tempat penambangan pasir. Tapi itu berakibat buruk, bibir pantai yang dulu elok itu kini berubah drastis, porak-poranda seperti lahan uang baru disapu prahara. Pantai berpasir itu telah terkikis. Pohon-pohon bakau, nipah, cemara, dan pandan laut, tumbang satu demi satu. Semak dan pepohonan yang menjadi benteng pantai itu dipukul mundur. Garis pantai pun makin menjorok ke arah darat. Di beberapa tempat, mundurnya garis pantai mencapai 100 nleter, bahkan lebih. Penambangan pasir itu telah berlangsung pula di muara Sungai Bengkulu-Air Hitam. Selama berpuluh tahun, mungkin berabad-abad, kedua sungai itu bergabung persis pada satu muara. Tapi oleh para penambang, kedua sungai tadi dipaksa bercerai, dengan timbunan plastik berisi pasir. Alasannya, agar badan sungai bergeser, dan pasir mudah dikeruk dari bekas lantai sungai itu. Aksi nenambangan itu berlangsung secara besar-besaran sejak 2-3 tahun lalu. Bahkan pada puncaknya beberapa bulan lalu, konon tak kurang dari 100 rit truk hilir-mudik mengangkut pasir keluar dari kawasan itu. Intrusi air laut pun, dalam jumlah yang terbatas, telah menjamah sumur-sumur penduduk Desa Beringin Jaya dan Pasar Bengkulu, tak jauh dari pantai itu. Akhirnya Gubernur Bengkulu Razie Yahya turun tangan. Dia memerintahkan agar penambangan pasir itu dihentikan secara total. Tapi aksi pengerukan pasir masih terus berlangsung, bahkan hingga pekan lalu. Para penambang tetap merasa yakin, Wali Kota Bengkulu dan Camat Muara Bengkulu, yang menguasai daerah penambangan itu, belum mengeluarkan larangan. Lihatlah Mansyuri, 50 tahun. Dia masih terus asyik mengais pasir dan menimbunnya menjadi bukit kecil. Lewat pekerjaan ini dia bisa mengantungi Rp 3.000 sehari, dan digunakan untuk menghidupi keluarganya yang terdiri dari tujuh kepala. Soal pelarangan itu, Mansyuri mengaku tak tahu-menahu. Dia pun akan kalang-kabut kalau penambangan pasir itu ditutup. "Anak-anak saya mau makan apa," ujarnya. Di pantai Muara Bengkulu itu ada sekitar 100 manusia sejenis Mansyuri. Para penambang pasir itu merasa harus terus hidup, kendati harus menggusur hak hidup cemara, bakau, nipah, dan pandan laut, yang tumbuh di pesisir. Kenyataan itulah yang membuat Camat Muara Bengkulu, Amandeka Amir, tak tega buru-buru menutup daerah penambangan itu. "Kalau penambangan ditutup, mau dikemanakan para penambang itu," kata Amandeka. "Untuk mereka semestinya dicarikan alternatif pekerjaan." Pelarangan itu pun berdampak negatif terhadap pasokan material pasir di pasar Kodya Bengkulu. "Sebab, satu-satunya sumber pasir di Kodya Bengkulu ya hanya dari sana," kata Wali Kota Madya Bengkulu Achmad Rusli. Kesulitan itulah, menurut Achmad Rusli, yang membuat instruksi gubernur agak terlambat dilaksanakan. Keruan saja, sampai pekan lalu, truk warna kuning milik Dinas Pekerjaan Umum Kodya Bengkulu masih terlihat di kawasan penambangan untuk mengangkut pasir. Lepas dari soal pro atau kontra atas instruksi pelarangan itu, Achmad Rusli melihat bahwa pengambilan pasir itu sebetulnya diimbangi dengan pemasokan pasir dari laut. "Begitu lubang digali, ombak laut akan membawa pasir untuk menutupnya kembali," ujarnya. Dia mengaku tahu betul proses alam itu. "Sebab saya menyaksikannya di lapangan," tambahnya. Dr. Sukotjo, ahli geografi yang menjabat rektor Universitas Bengkulu, sependapat dengan Achmad Rusli, bahwa penambangan pasir di pantai itu bisa diganti oleh penimbunan pasir dari laut. Dan lautan, menurut Sukotjo, memperoleh pasir dari gunung, yang dialirkan lewat sungai. Namun, Sukotjo tak berani memberikan angka taksiran tentang ambang batas yang perlu ditetapkan, agar Pengambilan itu setara dengan penimbunan kembali. Adanya sedimentasi pasir di sekitar muara sungai memang dibuktikan oleh tim dari PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup) Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembano di Sungai Musi. Pasokan pasir gunung itu diukur di pelbagai titik pada ruas sungai Musi. Hasilnya? "Setiap tahunnya ada 12,5 juta ton pasir terangkut lewat Sungai Musi," ujar Dr. Fachrurozie, Kepala PPLH Unsri. Jauh dari Bengkulu, di pantai Desa Bondo, 20 km sebelah timur laut Jepara, Ja-Teng, pengikisan pantai juga terjadi. Gara-garanya, di situ pasir dan batu karang digali untuk dijual sebagai material bangunan. "Satu rit harganya Rp 7.000," tutur Markum, penambang di situ. Maka, intrusi air laut pun menjarah sawah-sawah di dekat pantai, dan para petani mogok menanam padi. Sebagai gantinya, mereka menyewakan tanah sawahnya kepada penambang, untuk diobrak-abrik dan diambil pasir serta karangnya. Dan Syukur, seorang penambang di situ, kini mengontrak 2 ha sawah penduduk. "Kontraknya Rp 1,25 juta untuk 2 tahun," ujar Syukur. Keadaan yang lebih serius terjadi di Sungai Brantas yang melewati Mojokerto, Ja-Tim. Penambangan pasir telah mengakibatkan lantai sungai turun, dan permukaan airnya pun ikut menyurut. Akibatnya, 3.500 ha sawah kelas satu, yang biasa menerima irigasi sepanjang tahun, terpaksa turun menjadi kelas tiga, yang praktis pengairannya tergantung air hujan. Namun, tindakan keras yang dilakukan pihak keamanan dan Kejaksaan Negeri Mojokerto sedikit mengerem laju penggerusan sungai itu. Tapi tak cuma dengan tindakan keras, pihak Pemda Mojokerto pun menyalurkan para penambang itu ke daerah lain, yakni di daerah Kediri puluhan kilometer dari tempat itu. Setelah itu, menurut Suhardi, Kajari Mojokerto, baru diambil tindakan tegas: para pelanggar diancam dengan pasal KUHP. "Tuntutannya 2 bulan penjara," ujar Suhardi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini