BULAN Muharam (Syuro) tahun ini membawa kesibukan khusus bagi Tim SAR Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Sepanjang bulan "keramat" ini, mereka bersiaga di pos-pos strategis, di lereng-lereng Gunung Lawu, yang bertengger di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. "Kami menyediakan diri membantu para pendaki, dan sekaligus mengamankan kekayaan Lawu dari tangan jail," kata Agus Ngemplik, 27 tahun, dari Tim SAR UNS. Setiap bulan Syuro, sebagian gunung di Jawa Tengah dan Jawa Timur memang ramai dikunjungi orang. Ada yang niatnya berekreasi, olahraga, jalan-jalan, tapi tak sedikit yang mendaki gunung lantaran kepingin mendapatkan wangsit. Gunung Lawu tergolong yang paling ramai menerima tamu. Pada malam 1 Syuro (23 Juli) lalu, dalam taksiran Agus, "sekitar tujuh ribu orang mendaki Lawu." Mereka mendaki lewat beberapa pos. Yang terbanyak lewat pos Cemorokandang, yang pada 1 Syuro lalu dilewati empat ribu orang pendaki. Gunung Lawu yang menjulang sampai ketinggian 3.362 meter itu memang potensial untuk mencederai pendakinya. Namun selama musim pendakian Syuro 1411 H ini, justru para pendakilah yang "melukai" Gunung Lawu. "Mereka seenaknya merampok kembang flora dan fauna gunung," kata Agus. Keadaan itu membuat kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UNS geregetan, lantas menurunkan Tim SAR-nya untuk menertibkan ulah para pendaki. Maka, anak-anak muda itu mengambil prakarsa mengimbau para pendaki agar tidak mengusik hak milik Gunung Lawu. Bukan rahasia lagi, pendaki gunung sering iseng memetik kembang edelweis, menangkap kupu-kupu gunung yang warna-warni, memanen anggrek hutan, atau membongkar codo -- bonsai alam yang tumbuh di sela bebatuan gunung. Tim SAR UNS memberanikan diri untuk menyita barang-barang "curian" itu. Mereka mengakui, secara resmi tak ada larangan untuk mengambil kembang edelweis atau tumbuhan lain dari lereng-lereng Lawu. Sebab, Gunung Lawu memang bukan seperti Gunung Gede di Jawa Barat, yang resmi dilindungi oleh peraturan pemerintah agar flora dan fauna khasnya tak diusik. Kendati begitu, "tindak pencurian itu tak bisa didiamkan saja," kata Agus. Maka, Mapala UNS meminta restu pihak Perhutani, sebagai penguasa hutan Gunung Lawu, untuk melakukan pengamanan, termasuk merampas hasil jarahan para pendaki. Tampaknya, keinginan itu mendapat dukungan dari Perhutani. Maka, sejak 1 Syuro lalu, operasi penyitaan barang "curian" itu dilakukan. Pada hari pertama saja bisa dirampas satu Colt edelweis. "Tapi masih banyak juga yang lolos," kata Andika, anggota Tim SAR UNS. Pemilik tangan usil itu memang tak kekurangan akal untuk menyembunyikan hasil jarahannya. Ada yang disembunyikan di balik baju, dibungkus sarung, dalam rantang perbekalan, atau dimasukkan ke dalam termos. Bahkan sebagian pendaki wanita tak segan-segan menyembunyikan edelweis itu, "di balik baju dalamnya," tutur Andika. Sepekan setelah itu, Tim SAR UNS kembali menggelar operasinya. Kali ini mereka berhasil menyita satu karung edelweis. Hasil rampasan itu kini disimpan di dalam gudang Perhutani di Tawangmangu, 6 km dari pos Cemorokandang. Terus akan dikemanakan? "Mungkin nanti akan dibakar atau dibuang begitu saja," kata Joko Santoso, petugas Perhutani di Tawangmangu. Di antara barang berharga milik Gunung Lawu, edelweis memang paling gampang dijarah. Kembang ini -- berwarna merah, ungu, putih, kuning, dan kecokelatan tumbuh di pinggiran jalan setapak di atas ketinggian 2.700 meter. Dari kelima jenis itu, "yang berwarna merah yang paling rawan menjadi sasaran kejailan," kata Agus. PTH dan Siti Nurbaiti (Biro Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini