Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Garut Yang "Merah" Dekat Galunggung

Tidak hanya di tasikmalaya, di garut pun terancam banjir lahar dingin dari gunung galunggung apabila musim hujan tiba, gejala rawan sudah terlihat di beberapa desa sejak sebulan yang lalu.(ling)

9 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAUH mata memandang hanya hamparan pasir. Di sana-sini terlihat gundukan tanah, bekas pematang sawah, menandakan daerah itu dulunya persawahan. Semburan pasir dan debu Gunung Galunggung selama enam bulan ini menimbun sawah, kolam ikan, atau sumber air penduduk. Maka di Desa Sukaratu, misalnya, setiap sore terlihat rombongan perempuan dan anak-anak dngan wajah berdebu memikul jeriken berisi air yang diambil dari lembah, sejauh 2 km. Dan pohon-pohon jeruk yang merangas dengan daun-daun kering layu seperti jadi saksi betapa beratnya bencana ini. Sukaratu dan beberapa desa lainnya di Kecamatan Wanaraja, Karangpawitan, dan Sukawening di Kabupaten Garut termasuk daerah paling parah menerima semburan debu dan pasir. Daerah yang terletak 20-an km di sebelah barat gunung yang amuk itu seperti bernasib sial. Setiap Galunggung meletus seringkali angin berhembus ke arah barat. "Timbunan debu dan pasir di daerah itu sudah 50 cm tebalnya," kata Drs Muhamad Muchlis, Pjs. Bupati Garut, kepada TEMPO, "apalagi yang bisa tumbuh di sana." Ternyata bukan hanya Kabupaten Tasikmalaya dan ibukotanya yang tersiksa oleh amarah Galunggung, tapi juga tetangganya, Kabupaten Garut. Bupati Garut melaporkan kepada Gubernur 87.000 jiwa penduduknya di Kecamatan Wanaraja, Banyuresmi, Karangpawitan. dan Sukawening terancam bahaya lahar dingin di musim penghujan yang diduga mulai Oktober ini. Sebagian penduduk daerah itu sudah diungsikan ke bedeng-bedeng penampungan, atau mengungsi sendiri ke daerah yang mereka rasa aman. Terutama mereka yang dari tepi kali Cisangkan, Cimalaka, dan Cibeureum. Tempat itu disebut juga daerah merah. Tapi debu dan pasir Galunggung tak hanya menyergap lahan pertanian didaerah merab Garut. Ceritanya begini: Timbunan debu dan pasir yang menybabkan 37.808 ha sawah hancur 1.341 ha kebun jeruk mati, dan ribuan ha tanaman jagung dan ubi kayu rusak. Itu saja sudah menimbulkan kerugian Rp 10 milyar lebih. Juga banyak domba mati karena sulit mencari rumput segar yang tak berdebu, dan kolam ikan jadi kering. Karena itu tak berlebihan kalau bupati menyebutkan, sejak sebulan yang lalu gejala rawan pangan sudah terlihat di 38 desa di tiga kecamatan tadi (berpenduduk 83.400). Menurut Mahuddin, seorang Ketua RI di Desa Sukaratu, sejak Agustus banyak penduduk yang makan hanya sekali sehari. Dan, katanya, sudah 62 orang desa itu menderita bengkak kaki seperti gejala penyakit biri-biri. "Penyakit itu karena mereka kekurangan protein," kata dr. Nori, pemimpin Puskesmas di situ. Memang penyakit seperti pilek dan sesak napas yang paling meluas. Mcnurut catatan Puskesmas Wanaraja,di tiga kecamatan tadi tak kurang 1.800 orang menderita penyakit disebabkan debu gunung itu. Begitupun, menurut dr. Nori adalah penyakit KKP (Kekurangan Kalori Protein) yang merenggut nyawa penduduk . Inilah problem bagi Pemda Garut. Sejak Galunggung meletus, hanya Tasikmalaya yang letaknya lebih dekat ke pusat bencana dianggap menderita (TEMPO, 2 Oktober). Dan sumbangan lebih mengalir ke Tasikmalaya dibanding ke Kabuparen Garut. Untuk menampung 1.800-an pengungsi dari daerah merah saja Pemda Garut sudah kalang-kabut. Apalagi untuk menghadapi daerah non-merah yang begitu luas tapi juga merana. Pemda Garut memanfaatkan proyek padat karya. "Penduduk bekerja membersihkan halaman rumahnya atau jalan dari debu, upahnya 300 gram beras sendiri," kata Drs Muchlis. Proyek seperti itu diserak di tiga kecamatan rawan tadi dan tentu jumlahnya tak memadai. SEJUMLAH penduduk Sukaratu, misalnya bekerja membangun cekdam untuk menghadang lahar. Seoran digaji kontraktornya Rp 1.500 sehari. Untuk sementara dengan gaji itu Djaka (42 tahun) bisa menghidupi keluarganya. Sekitar 100 pohon jeruknya sudah mati dan seperempat ha sawahnya sudah tertimbun pasir. Tapi Djaka dan banyak teman sedesanya masih bertahan di situ karena, katanya, musim penghujan sudah dekat. "Mudah-mudahan air hujan menghanyutkan debu dan pasir itu, sehingga sawah kami bisa lagi diusahai." Besar pula kemungkinan di darah meral dan sekitarnya seperti di tepi tepi sungai, baik di Garut maupun Tasikmalaya, "hujan" sama dengan "kiamat". Masih musim kemarau pekan lalu baru sekali hujan di puncak Galunggung, banjir lahar sudah menghanyutkan satu jembatan dan hampir 30 rumah di Tasikmalaya. Abidin, pengusaha di Desa Sukamanah, Tasikmalaya, sudah mengungsikan semua hartanya yang berharga ke rumah familinya di Ciamis. Selain itu sebuah mobil kolt sudah disiapkannya untuk mengungsikan keluarga dalam menyongsong musik hujan. Ciamis, 14 km dari Tasikmalaya dianggap aman. Banyak pedagang yang berduit di sana mengontrak rumah antara lain di Bandung atau Ciamis. Mereka panik. Dulloh Abdullah (37 tahun) bahkan telah membeli sebuah perahu kayu dari Kalipucang, Cilacap, seharga Rp 300.000. Pedagang daging sapi itu penduduk Desa Kalangsari, Tasikmalaya, yang rumahnya hanya 100 meter dari Kali Ciloseh. "Bila banjir datang saya dan keluarga akan menyelamatkan diri dengan perahu itu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus