UNTUK menyalurkan listrik kepada - konsumen, PLN, dulu
mengandalkan organisasi Piket Distribusi. Cara kerja dan
fasilitas orginisasi itu hampir tak berubah sepanjang masa.
Jarinan distribusi dikontrol oleh petugas lapangan: Membuka
atau menutup sakelar penghubung di gardu-gardu dilakukan dengan
tangan. Tentu saja lapangan dan ulat berkomunikasi melalui
telepon tau belakangan ini via radio. Tapi kondisi jaringan
setiap waktu tidak bisa diketahui, jika petugas setempat
terlambat atau alpa melaporkannya. Data yang, terkumpul di pusat
sudah sering ketinggalan beberapa jam dari kenyataan di
lapangan.
Sementara itu jaringan distribusi PLN semakin meluas dan,
memadat misalnya, di Jakarta Raya tahun 1970-an pelanggan PLN
anya berjumlah sekitar 110 ribu. Tahun ini jumlahnya mencapai
630 ribu. Gardu distribusi di DKI dari tahun 1970 berlipar lebih
6 kali jumlahnya menjadi 3.442 tahun ini. Semua itu mampu
menyediakan lebih 1,65 juta KVA (kilo-volt-ampere) listrik yang
disalurkan melalui hampir 9.500 km kabel tegangan menengah dan
rendah.
Jaringan seluas itu tak lagi layak ditangani melalui sistem kuno
seperti Pikt Distribusi. Buktinya iistrik semakin sering padam,
dan lama kemudian baru ia menyala kembali. Wilayah yang
menderita pemadaman itu seperti tak terbatas luasnya. Bahkan
tahun 1980, tepat pada malam perayaan HUT DKI Jaya, seluruh
wilayah ibukota RI ini terkena pemadaman listrik.
Peristiwa itu mungkin teringat oleh Tjokropranolo ketika ia
menghadiri acara peresmian Pusat Pengatutan Distribusi PLN.
Dengan fasilitas baru PLN itu katanya, semoga berkurang orang
yang suka menggerutu akibat mati listrik. "Saya sebagai
gubernur tak bisa menggerutu."Dua pekan kemudian Tjokropranolo
sesudah 29 September, tak lagi jadi gubernur. "Jadi
perkenankanlah saya nanti juga menggerutu kalau listrik mati,"
ujarnya.
PLN kini memasuki zaman komputerisasi dan otomatisasi, yang
"lebih menjamin kelangsungan penyaluran aliran listrik," ujar
Ir. Prajitno. Kepala PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang
itu menjelaskan bahwa, walaupun ada fasilitas baru, soal mati
listrik sewaktu-waktu di suatu wilayah masih sulit di hindari.
Di Jakarta dan sekitarnya. masih banyak bagian jaringan yang
belum Sempat direhabilitasi. Tapi PLN akan biSil kini secepatnva
melokalisasi sumber gangguan serta inenghidupkan kembali listrik
di wilayah yang tak perlu terganggu.
Mulai tahun 1979 LN bekerjasama dengan pihak Prancis untuk
melaksanakan gagasan komputerisasi dan otomatisasi itu. Kini di
Jl. Medan Merdeka Utara, dalam gedung baru bertingkat empat
Pusat Pengaturan Distribusi PLN menempati seluruh lantai II.
Pada dinding, panjang dalam ruang pengatur terpasang papan
peragaan berukuran 10 x 2,5 m. Seluruh jaringan distribusi
tegangan menengah di Jakarta Raya dan Tangerang tergambar di
situ secara skematis. Lebih 3.500 lampu indikator setiap saat
menunjukkan keadaan kondisi jaringan. Warna merah tampil bila
sakelar penghubung di suatu gardu terbuka, sedang warna hijau
jika terhubungkan.
Pengaturan sebenarnya dilakukan dari balik dua meja penuh
tombol. Di atas meja masing-masing itu tergantung layar
televisi. Satu layar menyajikan diagram sebagian jaringan yang
dikehendaki operator, dan satu lagi memberikan informasi dalam
besaran angka tentang keadaan dan perubahan yang terjadi pada
bagian jaringan itu. Pada layar pertama itu juga terdapat sebuah
titik cahaya (cursor) yang bisa dikendalikan oleh operator dan
tombol berbentuk bola.
Jika operator hendak membuka sakelar penghubung di salah satu
gardu induk, misalnya ia menggerakkan titik cahaya itu menuju
lokasi sakelar di layar televisi. Kemudian ia menekan tombol
pelaksanaan dan sakelar di gardu--yang terletak sekian kilometer
jauhnya - segera terbuka. Seketika juga lampu indikaror gardu
itu di papan peragaan berubah dari hijau menjadi merah.
Sementara pelaksanaan proses itu. Langsung direkam oleh alat
terletak secara kronologis lengkap dengan jam, menit dan
detek terjadinya setiap langkah proses itu.
Inti peralatan yang memungkinkan ini semua tentunya sejumlah
komputer dan hampir 300 km kabel telepon yang menghubungkan
puluhan gardu induk, gardu hubung dan gardu distribusi
berfungsi khusus (gardu tengah). Di gardu masing-masing itu
terpasang sebuah mikrokomputer EPC 3200 yang berhubungan dengan
komputer sejenis di Pusat Pengaturan Distribusi.
Jaringan mikrokomputer itu --saat ini ada 64 buah -- menunjang 2
mini komputer MTS 30-60. Satu sebagai standby -- berkapasitas
65.536 kata @ 18 bit (bit=unit isyarat dasar komputer). Selain
itu masih banyak lagi berbagai jenis peralatan penunjang.
Antara lain sistem komunikasi dengan puluhan pesawat telepon dan
radio-telepon yang bisa menunjang dialog operator di pusat
dengan petugas di lapangan.
Secara otomatis kondisi jaringan distribusi dilaporkan oleh
unit komputer di lapangan kepada komputer di Pusat Pengatuan
Distribusi. Juga perintah rutin sesuai dengan program komputer
induk dikirimkan kepada terminal komputer itu. Setiap saat para
operator bisa memonitor dan jika perlu memodifikasi sesuai
dengan perkembangan kondisi di lapangan. Tapi Pusat Pengaturan
yang modern itu tak mungkin berfungsi jika tak ditopang oleh
sistem jaringan distribusi yang disebut spindle, atau unit
jaringan kabel suplai berganda.
Dulu kabel distribusi di Jakarta dari gardu induk menyebar ke
berbagai gardu hubung, selanjutnya ke gardu distribusi dan
konsumen. Jika terjadi gangguan, wilayah yang luas terpaksa
padam karena suplainya tergantung pada satu saluram Dengan
sistem spindle gardu induk dan gardu hubung dihubungi oleh
minimal dua kabel. Dalam sistem yang bebannya besar, bahkan ada
beberapa kabel. Satu kabel selalu bertindak sebagai cadangan.
Ir. Abi Sanroso, Kepala Urusan Operasi Pengatur Distribusi
kepada TEMPO menjelaskan bahwa PLN menggunakan "metoda
fifty-fifty" untuk cepat menemukan sumber gangguan dan
menghidupkan kembali listrik di wilayah pemadaman. Jika terjadi
gangguan di suatu wilayah, petugas lapangan tak perlu menyusuri
satu demi satu gardu di wilayah itu. Ia langsung menuju ke gardu
tengah, tempat ia mengukur kondisii saluran ke arah kiri maupun
ke arah kanan gardu itu. Itu asalnya nama "metoda 50%" itu.
"Waktu yang dibutuhkan sekarang dalam orde menit dan detik,"
ujar Ir. Abi. "Dulu dihitung dalam orde jam-jaman." Bagi
konsumen yang terpenting ialah listrik di rumahnya tidak
byarpet, dan ini juga harapan PLN.
Biaya pembangunan Pusat Pengaturan Distribusi itu sekitar Rp 7
milyar. Pemerintah Prancis memberi bantuan sebesar Rp. 62,4 juta
(Rp 5,8 milyar) sedang Indonesia menyediakan Rp 1,2 milyar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini