SEJAUH mata memandang hanya hamparan pasir. Di sana-sini
terlihat gundukan tanah, bekas pematang sawah, menandakan
daerah itu dulunya persawahan. Semburan pasir dan debu Gunung
Galunggung selama enam bulan ini menimbun sawah, kolam ikan,
atau sumber air penduduk. Maka di Desa Sukaratu, misalnya,
setiap sore terlihat rombongan perempuan dan anak-anak dngan
wajah berdebu memikul jeriken berisi air yang diambil dari
lembah, sejauh 2 km. Dan pohon-pohon jeruk yang merangas dengan
daun-daun kering layu seperti jadi saksi betapa beratnya bencana
ini.
Sukaratu dan beberapa desa lainnya di Kecamatan Wanaraja,
Karangpawitan, dan Sukawening di Kabupaten Garut termasuk daerah
paling parah menerima semburan debu dan pasir. Daerah yang
terletak 20-an km di sebelah barat gunung yang amuk itu seperti
bernasib sial. Setiap Galunggung meletus seringkali angin
berhembus ke arah barat. "Timbunan debu dan pasir di daerah itu
sudah 50 cm tebalnya," kata Drs Muhamad Muchlis, Pjs. Bupati
Garut, kepada TEMPO, "apalagi yang bisa tumbuh di sana."
Ternyata bukan hanya Kabupaten Tasikmalaya dan ibukotanya yang
tersiksa oleh amarah Galunggung, tapi juga tetangganya,
Kabupaten Garut. Bupati Garut melaporkan kepada Gubernur 87.000
jiwa penduduknya di Kecamatan Wanaraja, Banyuresmi,
Karangpawitan. dan Sukawening terancam bahaya lahar dingin di
musim penghujan yang diduga mulai Oktober ini. Sebagian penduduk
daerah itu sudah diungsikan ke bedeng-bedeng penampungan, atau
mengungsi sendiri ke daerah yang mereka rasa aman. Terutama
mereka yang dari tepi kali Cisangkan, Cimalaka, dan Cibeureum.
Tempat itu disebut juga daerah merah.
Tapi debu dan pasir Galunggung tak hanya menyergap lahan
pertanian didaerah merab Garut. Ceritanya begini:
Timbunan debu dan pasir yang menybabkan 37.808 ha sawah hancur
1.341 ha kebun jeruk mati, dan ribuan ha tanaman jagung dan ubi
kayu rusak. Itu saja sudah menimbulkan kerugian Rp 10 milyar
lebih. Juga banyak domba mati karena sulit mencari rumput segar
yang tak berdebu, dan kolam ikan jadi kering.
Karena itu tak berlebihan kalau bupati menyebutkan, sejak
sebulan yang lalu gejala rawan pangan sudah terlihat di 38 desa
di tiga kecamatan tadi (berpenduduk 83.400).
Menurut Mahuddin, seorang Ketua RI di Desa Sukaratu, sejak
Agustus banyak penduduk yang makan hanya sekali sehari. Dan,
katanya, sudah 62 orang desa itu menderita bengkak kaki seperti
gejala penyakit biri-biri. "Penyakit itu karena mereka
kekurangan protein," kata dr. Nori, pemimpin Puskesmas di situ.
Memang penyakit seperti pilek dan sesak napas yang paling
meluas. Mcnurut catatan Puskesmas Wanaraja,di tiga kecamatan
tadi tak kurang 1.800 orang menderita penyakit disebabkan debu
gunung itu. Begitupun, menurut dr. Nori adalah penyakit KKP
(Kekurangan Kalori Protein) yang merenggut nyawa penduduk .
Inilah problem bagi Pemda Garut. Sejak Galunggung meletus, hanya
Tasikmalaya yang letaknya lebih dekat ke pusat bencana dianggap
menderita (TEMPO, 2 Oktober). Dan sumbangan lebih mengalir ke
Tasikmalaya dibanding ke Kabuparen Garut. Untuk menampung
1.800-an pengungsi dari daerah merah saja Pemda Garut sudah
kalang-kabut. Apalagi untuk menghadapi daerah non-merah yang
begitu luas tapi juga merana.
Pemda Garut memanfaatkan proyek padat karya. "Penduduk bekerja
membersihkan halaman rumahnya atau jalan dari debu, upahnya 300
gram beras sendiri," kata Drs Muchlis. Proyek seperti itu
diserak di tiga kecamatan rawan tadi dan tentu jumlahnya tak
memadai.
SEJUMLAH penduduk Sukaratu, misalnya bekerja membangun cekdam
untuk menghadang lahar. Seoran digaji kontraktornya Rp 1.500
sehari. Untuk sementara dengan gaji itu Djaka (42 tahun) bisa
menghidupi keluarganya. Sekitar 100 pohon jeruknya sudah mati
dan seperempat ha sawahnya sudah tertimbun pasir. Tapi Djaka dan
banyak teman sedesanya masih bertahan di situ karena, katanya,
musim penghujan sudah dekat. "Mudah-mudahan air hujan
menghanyutkan debu dan pasir itu, sehingga sawah kami bisa lagi
diusahai."
Besar pula kemungkinan di darah meral dan sekitarnya seperti
di tepi tepi sungai, baik di Garut maupun Tasikmalaya, "hujan"
sama dengan "kiamat". Masih musim kemarau pekan lalu baru
sekali hujan di puncak Galunggung, banjir lahar sudah
menghanyutkan satu jembatan dan hampir 30 rumah di Tasikmalaya.
Abidin, pengusaha di Desa Sukamanah, Tasikmalaya, sudah
mengungsikan semua hartanya yang berharga ke rumah familinya di
Ciamis. Selain itu sebuah mobil kolt sudah disiapkannya untuk
mengungsikan keluarga dalam menyongsong musik hujan.
Ciamis, 14 km dari Tasikmalaya dianggap aman. Banyak pedagang
yang berduit di sana mengontrak rumah antara lain di Bandung
atau Ciamis. Mereka panik. Dulloh Abdullah (37 tahun) bahkan
telah membeli sebuah perahu kayu dari Kalipucang, Cilacap,
seharga Rp 300.000. Pedagang daging sapi itu penduduk Desa
Kalangsari, Tasikmalaya, yang rumahnya hanya 100 meter dari Kali
Ciloseh. "Bila banjir datang saya dan keluarga akan
menyelamatkan diri dengan perahu itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini