Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERKEMBANGNYA budaya lisan sangat mempengaruhi kemampuan berkomunikasi politik dan prasyarat menuju negosiasi, kompromi, dan konstruksi wacana. Sayangnya, arah yang sinergis jarang muncul di arena politik nasional. Indikasi yang tampak adalah lemahnya konsistensi dalam tindak lanjut dari ungkapan lisan. Pada saat kampanye, misalnya, para juru kampanye dengan mudah melontarkan ide dan seabrek janji, tapi begitu menikmati kursi legislatif ataupun eksekutif, ia hilang ditelan "sejarah" dan waktu.
Konsistensi para pemilik kuasa dan legitimasi dalam perilakunya begitu tipis sehingga sering kali memperdaya massa. Di sini bisa dikatakan, kemampuan para aktor politik kita hanya sebatas pada "kreativitas mengolah kata" (baca: pendongeng jenaka). Akhirnya, yang mencuat di permukaan adalah tokoh-tokoh yang kaya konstruksi lisan, "sloganis", pemain watak, dan pencerita. Sementara itu, "diam" diartikan sebagai subordinasi ketokohan, yang walaupun demikian susah juga memberikan makna kepadanya.
Bagaimanapun, ketokohan bisa dibentuk oleh kemampuan melontarkan gagasan dengan kronologis lisan yang sistematis. Ini telah dibuktikan oleh sejarah. Sukarno dikenal sebagai juru pidato ulung dan heroik. Ketokohan yang terbentuk dari konstruksi individual ini makin berkembang dengan dukungan yang luas dari media massa.
Bagaimanapun, budaya lisan memang seperti "dunia dongeng", hanya cocok untuk dijadikan prolog menuju tidur. Ketika kita susah berimajinasi, dongeng diperdengarkan untuk menggapai romantisme yang kadang hilang. Anak-anak dengan sukacita dikasih dongeng tentang si kancil yang pemberani di hadapan para mangsanya sang buaya. Ada semangat bersama untuk mengamini dan menyetujui dongeng itu tanpa penolakan sedikit pun.
Dunia negeri ini memang dunia kata-kata bermula. Tapi, toh rasionalitas pasar dan masyarakat harus terseret dalam pertarungan lisan ini. Rupiah rontok, inflasi meninggi, IHSG anjlok, semua gara-gara perang pernyataan yang tak memiliki misi yang jelas. Masihkah ini akan menjadi tema menarik di masa depan? Bagi saya, saatnya kini memasuki rasionalitas kita masing-masing.
BUDIANTO
Jalan Pemuda 33-37, Surabaya
[email protected]
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo