Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERJUANGAN Yosefa Alomang akhirnya sampai juga ke masyarakat internasional, terutama bagi penggiat lingkungan dan pemerhati hak asasi manusia. Wanita asli suku Amungme di Timika, Irianjaya, yang menghabiskan hampir separuh hidupnya untuk membela hak suku Amungme melawan raksasa tambang PT Freeport Indonesia di Timika itu Senin pekan lalu menerima penghargaan lingkungan dari The Goldman Environmental Prize.
Goldman, dari lembaga yang bermarkas di San Francisco, Amerika Serikat, merupakan hadiah terbesar yang diberikan kepada aktivis lingkungan. Wanita berusia 54 tahun yang biasa dipanggil Mama Yosefa itu menerima uang sebesar US$ 125 ribu (sekitar Rp 1,5 miliar).
Hadiah Goldman pertama kali diberikan 12 tahun lalu. Tahun ini, bersama Yosefa ada tujuh pemenang lain dari berbagai negara yang dipilih oleh juri internasional. "Perjuangan mereka menggambarkan bagaimana lingkungan terpengaruh oleh perang, bisnis internasional, kebijakan ekonomi, dan kecenderungan untuk menggantikan pemecahan jangka panjang dengan kepentingan jangka pendek," kata Richard N. Goldman, pendiri Goldman Environmental Prize. Richard Goldman adalah pimpinan Goldman Insurance Services, yang bermarkas di San Francisco, dan merupakan keturunan Levi Strauss, pendiri perusahaan pakaian dunia.
Tentang Mama Yosefa, Goldman menghargai perjuangannya merebut kembali hak suku Amungme atas sumber alam dan budayanya. Bahkan dalam upayanya itu Yosefa menjadi korban kebrutalan aparat keamanan, sejak beroperasinya Freeport Indonesia, anak perusahaan Freeport McMoRan Copper & Gold, Inc. dari New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat.
"Dia berhasil menjadi pemimpin di masyarakat yang didominasi pria," kata Emmy Hafild, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Selain di bidang lingkungan, pengakuan atas Yosefa juga diberikan di bidang hak asasi manusia. Dua tahun lalu, ia menerima penghargaan Yap Thiam Hien Award. Namun, saat itu ia menolak hadir ke Jakarta untuk menerima hadiah tersebut. "Saya berjuang untuk rakyat Irian. Wajar jika saya menerimanya di sini agar rakyat Irianjaya tahu betapa pentingnya penghargaan ini," kata wanita yang sempat mengenyam pendidikan hingga kelas empat sekolah dasar itu.
Dua penghargaan itu memang layak bagi Yosefa. Mama suku Amungme ini memulai perlawanannya saat PT Freeport Indonesia menggusur tanah rakyat di tahun 1970-an. Sepuluh tahun lalu, Freeport membuang hak suku Amungme memasok sayur dan buah untuk perusahaan. Mereka menggantinya dengan sayuran dari Australia dan Pulau Jawa. Bahkan kebun sayur seluas 850 hektare di sekitar bandara dirampas untuk pembangunan hanggar pesawat, Hotel Sheraton, dan sejumlah perkantoran.
Masyarakat Amungme yang kecewa mencacah sayuran dan menebarkannya di landasan Bandar Udara Timika. Selain itu, mereka membuat tungku api besar-besaran di tengah bandara. Aksi ini mengakibatkan pesawat sayur tak bisa mendarat, bahkan semua penerbangan mati. Adalah Yosefa yang dianggap sebagai otak berbagai aksi tersebut.
Pada suatu malam tujuh tahun lalu, rumahnya disergap aparat militer bersenjata. Bersama suaminya, ia ditarik dari dalam kelambu, lalu ditendang dan dipukul berulang-ulang. "Kami disiksa seperti binatang, dipukul, dan dicaci-maki," kata Yosefa seperti dikutip dalam laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia di Timika yang ditulis Uskup Jayapura, Mgr. Herman Munninghoff O.F.M. Selama dua pekan, istri Markus Kwalik ini disekap dalam kamar yang penuh kotoran manusia, tanpa proses hukum. Ia dicurigai sebagai ibu dari Kelly Kwalik, pemimpin Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Apa kata Yosefa? "Semua masyarakat Amungme adalah anak saya. Mereka semua menyusu pada saya, tanpa membedakan ia jahat atau tidak, karena saya adalah ninggok (ibu) bagi semua anak Amungme," katanya.
Perlawanan Yosefa berlanjut ke pengadilan. April 1998, bersama Tom Beanal, Kepala Suku Amungme, ia menggugat Freeport melalui Pengadilan Federal dan Negara Bagian New Orleans, Amerika Serikat. Mereka menuntut Freeport membayar US$ 6 miliar untuk kerusakan lingkungan dan pembasmian etnis. Jalan mencari keadilan itu ternyata masih panjang. Pertengahan tahun ini, mereka akan meneruskan banding ke Louisiana Fourth Circuit Court of Appeal. Mereka berharap mendapat kesempatan menyampaikan argumen secara lisan.
Berangkat dari kepahitan yang dialaminya, tahun lalu Yosefa juga mendirikan organisasi Hak Asasi Manusia Anti-Kekerasan (HAMAK). Selain masalah hak asasi, mereka juga bergerak dalam pelestarian lingkungan hidup dan budaya tradisional. Sebuah upaya yang juga berharga.
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo