Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUSAHA mebel bermodal cekak di Jepara, Jawa Tengah, sedang resah pekan-pekan ini. Mereka kesulitan menembus pasar luar negeri karena sejumlah konsumen hanya mau membeli mebel berstempel "ecolabel". Label "eco" itu diberikan untuk mebel yang kayunya berasal dari hutan lestari, bukan dari hutan yang dibabat serampangan tanpa memperhatikan ekologinya.
Masalahnya, untuk mendapat sertifikat, si pengusaha harus merogoh kocek cukup dalam. "Saya sudah menghabiskan uang Rp 60 juta, tapi sertifikatnya enggak jadi-jadi," keluh Arifin Mubarok, pengusaha mebel dari Jepara. Keluhan itu terlontar dalam seminar "Ecolabelling: Tantangan Baru Ekspor Indonesia", yang berlangsung dua pekan lalu di Jepara. Arifin dan pengusaha lain mengeluh ekspor mebel jati mereka terpuruk gara-gara persyaratan sertifikat itu.
Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jepara menunjukkan, nilai ekspor mebel tahun lalu mencapai US$ 201 juta. "Ekspor kami turun 50 persen dibanding tahun sebelumnya," Arifin melanjutkan. Di Jepara sendiri, kini terdapat 7.000 perusahaan mebel besar dan kecil, tapi hanya lima perusahaan yang mengantongi sertifikat ecolabel (ekolabel). "Sudah biayanya mahal, yang mengeluarkan malah LSM (lembaga swadaya masyarakat), bukan lembaga resmi pemerintah," ucap Jamhari, kolega Arifin.
Di Indonesia, lembaga yang memberikan ekolabel antara lain adalah Lembaga Ekolabel Indonesia dan Lembaga Alam Tropika Indonesia (Latin). Mereka mengaudit manajemen hutan dan hasil hutan. Dari sisi manajemen, hutan harus dikelola dengan memperhatikan masalah sosial, ekologi, dan kemampuan produksi. Mereka hanya menebang pohon yang cukup umur, dan menyiapkan benih penggantinya. Sementara itu, sertifikat untuk industri hanya diberikan bagi yang memakai kayu (hasil hutan) dari hutan bersertifikat juga.
Padahal, saat ini di Indonesia baru lima hutan jati milik Kuasa Pemangkuan Hutan (KPH) Perhutani yang mengantongi ekolabel untuk manajemen hutan. Empat KPH berada di Jawa Tengah, yaitu KPH Kendal, Cepu, serta KPH Kebun Harjo dan Mantingan di Rembang. Satu lagi, KPH Madiun di Jawa Timur. Sedangkan pemegang ekolabel industri mebel baru sekitar 40 perusahaan.
Karenanya, pemilikan sertifikat sangat penting. Sementara ini, yang memegang hak mengeluarkan sertifikat adalah Rainforest Alliance (RA) dari Amerika Serikat, yang memiliki lembaga sertifikasi bernama Smartwood. Di Indonesia, Smartwood memilih Latin sebagai rekanannya. Dalam pengurusan ekolabel, menurut pantauan LSM lingkungan, Help Indonesia, Smartwood bisa mengutip sampai US$ 20 ribu. Belum lagi iuran tahunan sebesar US$ 1.000. Karena itu, Help Indonesia menuduh RA tak lebih dari tukang catut.
Namun, tuduhan Help ditampik Dwi Rahmad Muhtaman, Direktur Sertifikasi dan konsultan ecolabelling di Latin, Jakarta. Biaya sertifikasi mahal karena Latin dan RA harus mengaudit dan memastikan bahwa kayu yang dipakai bersertifikat. Pengurusan sertifikat ini membutuhkan biaya US$ 3.000 sampai US$ 4.000, yang berlaku selama lima tahun, plus biaya audit tahunan sekitar US$ 1.700. "Tergantung besar-kecilnya perusahaan," kata Rahmad.
Selain itu, menurut Dwi, banyak perusahaan mebel yang memiliki manajemen amburadul sehingga sulit diaudit sah-tidaknya kayu yang dipakai. Tetapi perusahaan yang gagal dalam sertifikasi bisa mengajukan verifikasi lanjutan dengan biaya US$ 700 hingga US$ 1.000. "Toh, konsumen di luar negeri rela membayar lima sampai sepuluh persen lebih mahal untuk mebel bersertifikat," tutur Dwi.
Pemberian ekolabel bagi industri mebel juga dibatasi. "Tahun ini paling banyak tambah sepuluh perusahaan lagi," kata Dwi. Pertimbangannya, kemampuan hutan menyuapi industri ini sangat terbatas. Jika label diberikan melebihi kemampuan hutan, susah mengatasi pembantaian kayu jati besar-besaran.
Dengan biaya sebesar itu, tak semua pengusaha mampu membayar. Selain itu, "Sebenarnya ada atau tidak ekolabel, hutan Indonesia sama hancurnya," kata Adang Gumilar, Ketua Help Indonesia. Sertifikasi, menurut dia, malah menggenjot pencurian kayu. Sebab, pemasangan label dilakukan sendiri oleh perusahaan kayu yang mengantongi sertifikat. Makanya, Help menuntut agar sertifikasi ini hanya diwajibkan bagi Perhutani sebagai pengelola hutan.
Sementara itu, tuntutan pengusaha agar sertifikasi dikeluarkan oleh pemerintah ditolak oleh Departemen Kehutanan. Menurut Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Wahjudi Wardojo, pemberian ekolabel harus dilakukan oleh lembaga independen. "Nanti kalau pemerintah (Departemen Kehutanan) yang mengeluarkan, bisa enggak independen," tutur Wahjudi. Selain itu, tentu Wahjudi tahu, sertifikasi bisa menjadi ajang kolusi dan korupsi baru.
Agung Rulianto dan Bandelan Amarudin (Jepara)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo