Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGI itu, sebagaimana hari-hari yang lain, kemacetan menyergap hampir semua jalan protokol Jakarta. Raungan mesin kendaraan bermotorroda dua dan empatmenjejali telinga.
Dari knalpot ribuan kuda besi ini mengepul asap racun ke angkasa. Selain karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), ozon (O3), sulfur dioksida (SO2), dan partkel halus, kandungan timbeltimah hitamyang memiliki daya rusak terhadap kesehatan manusia juga ikut dalam gas buangan itu.
Tingkat pencemaran udara di Jakarta dan kota besar di Indonesia memang cukup besar. Dan asap knalpot adalah salah satu biangnya. Menurut Bank Dunia, tingginya tingkat pencemaran udara di kota-kota besar dunia 70 persen disebabkan oleh asap buangan kendaraan bermotor.
Dari hari ke hari bahaya itu terus menumpuk. Karenanya, bertepatan dengan Hari Bumi, 22 April lalu, para aktivis lingkungan kembali berkampanye untuk mewujudkan Jakarta bebas timbel. Aksi yang dilakukan di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, itu menegaskan agar program Jakarta bebas timbel pada Juni 2001 dan Indonesia pada 2003 harus terwujud. Tenggat itu sudah dikampanyekan pula oleh Pertamina, satu-satunya produsen bensin yang menjual produknya di Indonesia.
Timbel, logam berat ini, jika terhirup akan menimbulkan peradangan pada saluran napas. Jika sudah mencemari darah, timbel akan menggantikan haemoglobin dalam mengikat oksigen. Efeknya, tekanan darah cenderung naik, cepat marah dan stres. Sebagai neurotoxinracun saraftimbel dapat menghambat pertumbuhan otak, terutama pada anak-anak. Akibatnya, tingkat kecerdasan (IQ) anak akan menurun. Menurut Ari Muhammad dari Swiss Contact Jakarta, setiap kenaikan 10 mikrogram per desiliter timbel dalam darah akan menurunkan kecerdasan anak hingga 2,5 poin.
Di Jakarta, menurut Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Ahmad Safrudin, kadar timbel di udaraberdasarkan pengukuran dari tahun 1994 hingga 1998mencapai 0,2-1,8 mikrogram per meter kubik. Jelas, ini melampaui standar baku mutu udara WHO, yang sama sekali tidak menoleransi adanya kandungan logam berat di udara. Siapkah Indonesia menikmati kemewahan itu?
Menurut Adiatma Sardjito, Staf Humas Pertamina, pihaknya sudah siap. Bahkan Pertamina telah mengurangi kadar timbel dalam bensin secara bertahap. Penggunaan timbel dalam bensin di Jakarta sudah berkurang dari 0,5 cc per galon Amerika Serikat menjadi 0,3 cc per galon AS per 1 April lalu. Mulai 15 Mei nanti, kadar timbel akan kembali dipangkas menjadi 0,2 cc tiap galon AS. Hingga akhirnya 15 Juni nanti, dari kilang Balongan, Pertamina akan menghentikan injeksi timbel. Dengan cadangan bensin di Jakarta yang berada pada kisaran 15-18 hari, awal Juli 2001 nanti Pertamina berjanji siap menyuplai kawasan Jabotabek dengan bensin tanpa timbel.
Bukan hanya soal ketersediaan bensin "bersih" yang dijanjikan Pertamina. Menurut Adiatma, bensin yang mereka hasilkan kelak sama kualitasnya dengan yang bertimbel. Sebab, mereka mengganti fungsi timbel, yakni menaikkan bilangan oktan, yang bermanfaat bagi akselerasi kendaraan, dengan HOMC (high octane mogas component) yang ramah lingkungan, meskipun untuk saat ini mereka harus mengimpor HOMC dan terbebani biaya tambahan US$ 206,4 juta tiap tahunnya.
Adanya tambahan biaya ini sebetulnya memberi alasan bagi Pertamina untuk menaikkan harga bensin tanpa timbel sebesar Rp 120 tiap liter. Tapi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ternyata sudah memutuskan tidak menaikkan harga. "Harganya akan tetap sama dengan bensin sekarang," kata Ahmad Safrudinbiasa dipanggil Puputdari Walhi. Alasannya, seperti diketahui Puput, adalah untuk menghindari disparitas harga dan memberikan insentif kepada pengguna bensin tanpa timbel.
Dengan janji kualitas bensin bersih tadi, Ari dan Puput juga menepis kekhawatiran bahwa bensin tanpa timbel akan merusak mesin kendaraan. Menurut hasil penelitian Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pengausan katup cuma terjadi pada level laboratorium. Pengausan hanya akan terjadi jika mobil dipacu pada kecepatan 100 kilometer per jam selama satu jam terus-menerus. "Satu hal yang mustahil bisa dilakukan di kawasan padat dan macet seperti Jakarta," kata Puput.
Menggunakan bensin tanpa timbel memang baru sebuah langkah kecil dalam menyelesaikan persoalan pencemaran udara. Selama ini, secara nasional permintaan bensin sebagai bahan bakar untuk kendaraan bermotor hanya 55 persen dari kebutuhan bahan bakar. Kebutuhan akan solar sebanyak 44 persen, dan kurang dari 1 persen adalah gas.
Persoalan buangan solar jelas merupakan masalah lingkungan yang juga besar setelah bensin bertimbel. Apalagi solar adalah bahan bakar utama kendaraan angkutan umum. Sedangkan kadar belerang (sulfur) dalam solar Indonesia tinggi, sekitar 0,5 persen. Karenanya, pembenahan buangan solar ini tengah menjadi diskusi intensif antara Walhi Jakarta, Swiss Contact, dan aktivis lain dalam Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), Gaikindo, Dirjen Migas, Pertamina, dan Bapedal. Walaupun baru sebatas diskusi, mereka sudah sepakat perlu menurunkan kadar belerang dalam solar supaya lebih ramah lingkungan.
"Yang masih menjadi kendala penanganan buangan solar bersulfur tinggi adalah penegakan hukum," kata Puput. Selama ini Dirjen Perhubungan Darat dinilai Puput kurang tegas dalam melakukan uji laik jalan. Dari 12 poin untuk melakukan uji laik jalan, salah satu poin yang harus lolos adalah uji emisi. Nyatanya, hingga kini masih banyak berkeliaran kendaraan bermotor yang dinyatakan laik jalan tapi dengan asap hitam mengepul dari knalpotnya. "Kalau uji laik jalan dilakukan dengan benar, tidak akan ada lagi bus kota yang mengeluarkan asap hitam. Law enforcement-nya masih kurang," kata Puput. Itu tantangan berikutnya menuju kualitas lingkungan hidup yang lebih segar.
Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo