Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GENDERANG perang terhadap penjahat tampaknya ditabuh keras oleh polisi. Buktinya, selama sebulan ini di Bandung sedikitnya 15 tersangka kejahatan didor polisi. Lima di antara korban penembakan itu dikabarkan tewas. Di Jakarta setahun ini bahkan sudah 82 tersangka didor mati.
Memang, kriminalitas belakangan ini semakin gila. Tapi tepatkah aksi dor polisi selaku penyidik, yang dianggap sebagian masyarakat tak beda dengan mengambil alih peran penuntut, hakim, sekaligus eksekutor? Kriminolog Mulyana W. Kusuma mengaku merasa skeptis dengan alasan klasik polisi tentang aksi dor mati itu, yakni tersangka melawan atau mau kabur.
Agaknya, kesangsian Mulyana tak berlebihan. Tilik saja aksi dor yang menimpa Rudy P. Singgih, Senin malam pekan lalu, di Bandung. Rudy, 42 tahun, kabarnya telah dijadikan target buruan polisi sejak empat bulan lalu. Menurut Kepolisian Daerah Jawa Barat, Rudy terlibat kasus pencurian mobil. Senin pagi dan siangnya, polisi telah menangkap empat orang kawanan Rudy.
Malamnya, 10 polisi pun memburu Rudy di rumah istri keduanya, Kenny, di daerah Buahbatu, Bandung. Empat polisi menggedor pintu rumah yang terkunci dan berteriak-teriak memanggil Rudy. Sementara itu, enam polisi lainnya menunggu di mobil Kijang di halaman rumah itu. Rudy, yang baru sehari tiba dari Jakarta, masih berada di lantai dua rumah tersebut.
Merasa yang diburu lama muncul, polisi lantas memecahkan kaca jendela rumah. Akhirnya, Kenny membukakan pintu. Rudy, yang sehari-hari menjadi redaktur foto sebuah majalah dwimingguan di Jakarta, segera menyerahkan diri. Tak secarik pun surat tugas ataupun surat penangkapan ditunjukkan polisi.
Dua anak Rudy dan Kenny, yang masih di bawah lima tahun, tak henti-hentinya menangis menyaksikan sang ayah digelandang polisi. Kenny berusaha menenangkan kedua anaknya. Ketika itulah, sekitar pukul 23.00, terdengar suara tembakan di halaman depan rumah.
Ternyata, polisi menembak betis kanan Rudy. Pria berkulit putih, berkaca mata minus, dan gampang bergaul itu jatuh terkulai. Toh, polisi terus menyeret tersangka yang cuma mengenakan kaus oblong dan celana pendek itu. Rudy, yang pernah menjadi periset foto di majalah ini, diboyong ke mobil Kijang berwarna gelap.
Sampai pukul 05.00, Kenny menerima kabar bahwa Rudy meninggal dan jenazahnya ada di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Dari catatan rumah sakit, Rudy meninggal pada pukul 23.48 dan jasadnya diantarkan oleh polisi ke rumah sakit. Di dada kirinya ada luka bekas tembakan yang tembus dari jantung dan punggung kiri.
Kontan Kenny histeris menghadapi kenyataan itu. "Suami saya sudah menyerah. Ia juga berhak untuk dibuktikan kesalahannya di pengadilan. Kenapa dibunuh?" tuturnya tanpa bisa meredam derai air mata pedih. Dari sebuah sumber, Kenny memperoleh informasi bahwa Rudy ditembak dari belakang oleh polisi tatkala menuju ke mobil Kijang di halaman rumahnya.
Namun, Kepala Direktorat Reserse Kepolisian Daerah Jawa Barat, Komisaris Besar Sarjono, menyatakan bahwa Rudy ditembak karena hendak melarikan diri dan melawan petugas. "Ia menggunakan senjata tajam semacam parang, hingga dahi seorang anggota polisi terluka," ujar Sarjono. Pada kesempatan lain Sarjono mengatakan bahwa senjata yang digunakan Rudy adalah belati ataupun sangkur. Akibatnya, tambah Sarjono, petugas menembak perut Rudy, yang kemudian meninggal saat dalam perjalanan ke rumah sakit.
Giliran Kenny yang berang dengan dalih polisi. "Sangkur dari mana? Tak ada barang yang sempat diambil Rudy saat ditangkap," kata Kenny. Karena itu, pihak keluarga Rudy kini menyiapkan tuntutan hukum untuk menuntaskan kasus penembakan tersebut. Sayang, pagi-pagi pihak rumah sakit enggan memberikan hasil otopsi mayat Rudy. Alasannya, hanya kepolisian yang berwenang meminta salah satu bukti tentang dari jarak dekat-tidaknya Rudy ditembak.
Menurut Mulyana, aksi dor polisi terhadap Rudy harus diproses secara hukum. Dengan demikian, tindakan polisi sudah memenuhi standar profesi atau belum jadi bisa dibuktikan. Tampaknya, Rudy yang sudah ditembak kakinya tak mungkin mampu melarikan diri. Kalaupun ia melakukan perlawanan dengan senjata tajam--bukan senjata api--mungkinkah itu mengancam jiwa polisi yang terlatih dan waktu itu berjumlah 10 orang?
Happy S., Rinny Srihartini (Bandung), dan Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo