Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Habis Pasir, Galian Ditinggal

Perusahaan penambang pasir tidak mereklamasi bekas galian. Peraturan daerah yang eksploitatif jadi pintu masuk.

2 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yuswanto terus mengamati elang jawa (Spizaetus bartelsi) yang sedang mengitari cekungan tanah di Desa Wotanmas Jedong, Ngoro, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Sesekali elang hinggap di dahan kecil yang tumbuh di tebing dari cekungan seluas 25 hektare. ”Belum tentu sebulan sekali elang mampir ke desa kami,” kata guru sekolah menengah umum negeri di Mojokerto itu.

Tidak hanya elang jawa yang kini menghilang. Burung kepodang, cendet, dan ayam alas juga tak pernah lagi mampir ke Wotanmas Jedong. Padahal sebelumnya desa yang terletak di kaki Gunung Penanggungan ini menjadi habitat hewan-hewan tersebut. Pohon jambu mete, yang pernah menjadi kebanggaan warga desa, juga lenyap tak berbekas.

Selain jambu mete, ribuan pohon lain yang sebelumnya menjadi rumah bagi para burung juga ditebang habis. Semuanya berubah menjadi cekungan sedalam 25 sampai 70 meter dengan diameter hampir satu kilometer. ”Baskom raksasa” yang berada di Dukuh Sekantong, Desa Wotanmas Jedong, ini adalah bekas lokasi penambangan pasir, batu, dan kerikil, atau dikenal sebagai galian C.

Lubang raksasa juga terdapat di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Ada dua desa yang wilayahnya bopeng-bopeng, yakni Bulusari dan Jerukpurut. Dua desa ini berjarak lima kilometer. ”Saat ini kami harus menggali sumur lebih dalam untuk mendapatkan air,” kata Sutahan, tokoh masyarakat Bulusari, kepada Tempo, Senin dua pekan lalu.

Kualitas pasir dan batu dari Ngoro dan Gempol memang jempolan. Banyak proyek pembangunan jalan, gedung, dan perumahan di Jawa Timur menggunakan bahan dari dua kecamatan itu. Bahkan proyek pembuatan tanggul penahan semburan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo juga menggunakan pasir dan batu dari Ngoro dan Gempol.

Setelah diprotes warga, Pemerintah Provinsi Jawa Timur akhirnya tidak memperpanjang izin puluhan perusahaan pengeruk pasir dan batu di Pasuruan dan Mojokerto. Namun pemerintah gagal meminta perusahaan mereklamasi lubang raksasa yang membuat carut-marut tersebut. Bahkan sampai pertengahan bulan lalu Tempo masih menyaksikan warga menggunakan cangkul memuat galian ke atas belasan truk.

Gegap-gempita penambangan pasir juga terdapat di Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten. Akibatnya, puluhan rumah warga yang terletak di bibir pantai hancur oleh terjangan ombak. Komisi Lingkungan Hidup Dewan Perwakilan Rakyat Serang meminta pemerintah kabupaten tak lagi memperpanjang izin penambangan itu.

Apa yang terjadi di Serang, Mojokerto, dan Pasuruan hanya sebagian kasus hancurnya lingkungan di Jawa setelah industri keruk galian C beroperasi. Di Bogor, Cirebon, dan daerah lainnya juga terdapat kasus serupa. Selama ini pemerintah menilai pertambangan pasir, batu, dan kerikil tidak strategis, sehingga menyerahkan pengelolaannya ke daerah. Bagi para bupati dan wali kota, kondisi ini seperti pucuk dicinta ulam tiba. Mereka lantas bergegas menerbitkan puluhan izin untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.

Alih-alih memperoleh tambahan fulus, yang terjadi malah hancurnya lingkungan. ”Kerusakan lingkungannya sangat parah, tidak sebanding dengan uang yang disetor para pengusaha,” kata Muhammad Najib Hamas, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Serang. Maklum, perusahaan cuma menyetor Rp 500 juta dari Rp 1 miliar yang dijanjikan.

Tidak hanya itu, penambangan galian C ternyata menjadi salah satu dari tujuh penyebab kehancuran ekologi Jawa. Hal tersebut terekam dalam penelitian yang dilakukan tim pengkaji daya dukung dan kebijakan pembangunan Pulau Jawa bentukan Kementerian Lingkungan Hidup. Tim yang dipimpin Hariadi Kartodihardjo ini bulan lalu menyelesaikan tugasnya dan telah mempresentasikan hasilnya di depan Menteri Koordinator Perekonomian Boediono.

Selain galian C, kasus lain yang mencuat adalah soal pupuk dan pencemaran tanah, konflik di hutan dan perkebunan, sumber daya air, dan pencemaran di perairan. Khusus kasus galian C, Hariadi menilai pemerintah daerah sering tidak menghitung biaya pemulihan lingkungan akibat penambangan pasir. ”Padahal hampir setiap kabupaten di Jawa mengisi kasnya dari industri pengerukan pasir ini,” ujarnya.

Maka, banyak daerah aliran sungai yang hancur dan mengalami kekeringan ketika musim kemarau. Tidak hanya itu, sebagian dari 175 daerah aliran sungai beralih fungsi menjadi permukiman, lahan pertanian, atau perkebunan. Tak ayal, setiap musim hujan, banjir bandang selalu melanda permukiman yang berada di sepanjang tepian sungai.

Menurut Hariadi, kerap terjadi persaingan antara penambang tradisional dan yang menggunakan peralatan modern. Selain itu, muncul keluhan dari masyarakat sekitar karena rusaknya jalan dan prasarana lain oleh alat berat dan truk yang kelebihan beban. Belum lagi persoalan limbah yang ditimbulkan.

Di Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Subang, Jawa Barat misalnya, ada tujuh lokasi galian pasir sedot di lahan perkebunan. Selain itu, ada satu lokasi yang sangat berdekatan dengan sekolah dan permukiman. Limbah dari galian pasir sedot yang dibuang langsung ke sungai menyebabkan airnya keruh sehingga tak dapat digunakan masyarakat. Lumpur itu juga membuat sungai jadi dangkal, sehingga mengganggu pasokan air untuk persawahan.

Meskipun pemerintah pusat menilai izin menambang galian C telah sesuai dengan peraturan daerah, menurut Hariadi, aturan tersebut cenderung eksploitatif dan tidak mengindahkan daya dukung lingkungan. ”Ini jadi pintu masuk rusaknya lingkungan hidup di Jawa,” kata Hariadi, dosen di Institut Pertanian Bogor. Tim pengkaji itu memang meneliti 176 dari 278 peraturan yang dikeluarkan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Jawa. Selain tentang galian C, aturan itu mencakup juga soal hutan, perkebunan, air, dan tanah.

Ternyata, kata Hariadi, peraturan itu cuma digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya alam melalui perizinan. Aturan itu juga belum mempertimbangkan pentingnya proses kolaborasi dan pelaksanaan bersama dengan daerah lain.

Tak hanya itu, terdapat 125 peraturan atau 45 persen dari seluruh peraturan daerah yang tidak mempedulikan daya dukung lingkungan. Pejabat di pemerintah daerah beralasan ingin memperoleh pendapatan yang besar dalam jangka pendek. Akibatnya, semua aturan yang dikeluarkan tidak melalui konsultasi dengan masyarakat luas. Bayangkan, dari 278 peraturan, cuma 2 persen yang keluar setelah mendengarkan masukan masyarakat. Maka, banyak aturan yang disahkan tapi ditolak ramai-ramai warga ketika akan diterapkan.

Pemerintah daerah terus mengklaim pertumbuhan ekonomi wilayah mereka tinggi. Namun klaim ini jadi bias di tengah banyaknya aturan yang tidak ramah lingkungan. ”Semestinya setiap klaim pertumbuhan dikurangi 2 sampai 3,4 persen untuk biaya pemulihan lingkungan,” kata Hariadi.

Dari data yang dimiliki Dinas Pertambangan Jawa Timur, ternyata Bupati Mojokerto dan Pasuruan telah mengeluarkan izin bagi 63 perusahaan galian C. Kini, sebagian besar izin itu habis masa berlakunya. Malangnya, hanya satu perusahaan yang sedang melakukan reklamasi. Sisanya membandel. ”Kasihan, rehabilitasi itu sukar,” ujar Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Timur, Tutut Herawati. Pihaknya masih memberikan waktu bagi puluhan perusahaan itu untuk menunaikan kewajibannya. Sesukar apa pun, bekas galian itu harus direklamasi. Jangan habis pasir, galian ditelantarkan.

Untung Widyanto, I G.G. Maha Adi, Adi Mawardi (Mojokerto), Abdi Purnomo (Pasuruan), dan Mabsuti I. Marhas (Serang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus