Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ki Sudrun di Layar Beling

Stasiun televisi lokal menjamur. Sebagian besar merugi.

2 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka bukan penyiar, bukan pula artis ataupun politikus. Tapi kadang mereka tampil berdebat di layar televisi bak politikus, dan di lain waktu, berunjuk suara menyanyi seperti biduan ngetop.

Sehari-hari, mereka ini ada yang petani, sopir truk, guru, pensiunan, ada pula murid sekolah dasar. Tentu saja mereka tidak sedang tampil di RCTI atau manggung di SCTV, tapi di GrabakTV. Studionya juga bukan di Jakarta, melainkan di Dusun Ponggol, Desa Grabak, sebuah desa di bagian utara Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

GrabakTV ini stasiun televisi lokal komunitas. Menurut Hartanto, pelopor GrabakTV, ide membuat stasiun televisi ini terpantik kondisi daerah itu. Tidak ada satu pun siaran televisi yang bisa diterima. Dari bantuan pemerintah daerah, warga membangun stasiun relai. Stasiun inilah cikal GrabakTV.

Sebagian besar alat, kata Hartanto, bersumber dari sumbangan warga. Yang namanya alat ini jangan dibayangkan secanggih stasiun televisi besar di Jakarta. Hanya ada kamera digital dan pencahayaan ala kadarnya. Pemancarnya pun masih nebeng di kantor kecamatan. Dari segala perangkat itulah, setiap Senin, Rabu, Jumat, selama satu hingga dua jam, warga Grabak mejeng di televisi.

Acaranya rupa-rupa: dari arisan, diskusi pertanian, hingga peringatan tujuh belasan. Kalau ada yang mau menyanyi juga boleh. ”Yang suaranya jelek pun silakan. Nanti kalau nonton juga malu sendiri,” kata Hartanto, pekan lalu. Semua kru, produser, hingga pengisi acara menyumbang tenaga tanpa dibayar.

Sejak Undang-Undang Penyiaran disahkan pada 2002, stasiun televisi lokal ini merebak di sekujur negeri. Dari yang bermodal semangat seperti GrabakTV hingga yang ”kelas berat” seperti JTV milik Grup Jawa Pos. Dari televisi komunitas, publik, atau milik investor swasta. Direktur Eksekutif Asosiasi Televisi Lokal Indonesia, Jimmy Silalahi, memperkirakan ada sekitar 200 stasiun televisi lokal.

Bagaimana kondisi mereka, tak sepenuhnya terang. Sebab, hanya 28 stasiun yang bergabung di Asosiasi Televisi Lokal. Dan hanya 27 stasiun yang masuk ke Asosiasi Televisi Lokal Komunitas. Banyak yang keuangannya ”berdarah-darah”, tapi ada pula yang sudah menikmati laba.

”Bahkan, tiga tahun lalu ada dua anggota kami yang gulung tikar,” kata Jimmy. Rugi di awal usaha seperti ini sebenarnya wajar saja. ”Langsung untung pasti tidak bisa. Jangankan televisi lokal, wong televisi Jakarta saja tidak bisa,” Bimo Nugroho Sekundatmo, anggota Komisi Penyiaran Indonesia, menambahkan.

Di antara mereka yang disebut-sebut sudah mengeruk laba itu adalah JTV dan BaliTV milik Grup BaliPos. Beberapa acara di kedua stasiun itu memang mempunyai jumlah penggemar lumayan oke. Acara Hening Yang Ning di BaliTV, misalnya, berdasar survei AGB Nielsen Media Research, dalam tiga bulan awal 2008, dinikmati 21,4 persen penonton layar kaca di Bali. Di JTV, acara yang paling diminati adalah Pojok Kampung, program berita berbahasa Suroboyoan.

A.G.B. Satria Naradha, bos BaliTV, memilih merendah. Menurut dia, BaliTV masih merugi. Namun dia menolak menyebut angka. Baginya, yang penting bisa melayani warga Bali dengan siaran agama Hindu atau informasi bisnis lokal. ”Acara seperti itu kan tidak ada di televisi Jakarta. Soal untung, nanti sajalah,” ujarnya.

Direktur Utama PT Jawa Pos Televisi (JTV), Himawan Mashuri, lebih terbuka. Dia mengatakan, pada tahun ketiga, JTV yang mulai beroperasi pada November 2001 itu sudah mulai memetik laba. Pertumbuhan labanya terus bertahan 40 persen hingga 50 persen. Sayang, dia tidak ingat berapa angka persisnya.

Kunci sukses JTV dan juga BaliTV, menurut Himawan, sederhana saja. ”Asal tahu diri dan sadar diri. Jangan emosional dalam berbelanja,” katanya. Stasiun lokal tidak perlu kelewat ambisius, pintar-pintar mengukur skala ekonomi usahanya, sehingga bisa lebih irit dalam belanja peralatan dan jumlah personel. Yang juga tak kalah penting, mereka mesti punya ”hidung yang tajam” dalam mengendus selera lokal. ”Mereka yang berdarah-darah itu biasanya belum menemukan selera lokal.”

Soal selera lokal ini memang keunggulan stasiun daerah. Acara seperti Pojok Kampung atau Wayang Wali Ki Sudrun milik JTV; Prembon Kolaborasi Balingkang di BaliTV; dan Wayang Sasak-Dalang Lalu Nasib di LombokTV, membuat mereka lebih gampang merebut hati pemirsa lokal. Nah, kalau ada penonton, iklan lokal pasti bakal menguntit. ”Nilainya mungkin cuma recehan. Tapi, kalau jumlah iklannya banyak, duitnya kan banyak juga,” kata Jimmy Silalahi.

Potensi iklan lokal ini tidak boleh dianggap sepele. Himawan mengatakan, sekitar 58 persen pendapatan iklannya bersumber dari perusahaan di Jawa Timur. BaliTV, kata Satria, bahkan lebih mengandalkan iklan lokal ketimbang berharap dari biro iklan Jakarta. ”Biro iklan Jakarta hanya percaya rating-nya Nielsen,” kata Yogi Hadi Ismanto, Direktur Utama LombokTV (PT Lombok Nuansa Televisi). Problemnya, pemantauan AGB Nielsen tidak menjangkau semua stasiun lokal.

l l l

Selain menumbuhkan keberagaman isi siaran, semangat Undang-Undang Penyiaran lainnya adalah penyebaran kepemilikan stasiun televisi. Namun keterbukaan peraturan ini juga melahirkan raja-raja stasiun lokal. Dengan menggandeng sejumlah investor daerah, Grup Jawa Pos dan BaliPos memiliki sejumlah stasiun lokal.

Di barisan Jawa Pos, misalnya ada JTV, PalTV Palembang, RiauTV, FajarTV Makassar, dan PajajaranTV Bandung. Di Jakarta, menurut Himawan, Jawa Pos juga sedang dalam proses mengambil alih sebagian saham JakTV. Selain di BaliTV, Satria juga punya andil di CakraTV Semarang dan JogjaTV Yogyakarta.

Namun, menurut Bimo, kepemilikan seperti Jawa Pos dan BaliPos ini bukan masalah. ”Grup MNC atau Trans Corp. sekarang jadi punya pesaing,” katanya. Yang penting, persaingan para raksasa ini tidak lantas menggencet stasiun kecil atau menengah.

Tapi, seperti biasa, selalu ada yang mengail di tengah keriuhan stasiun lokal ini. Komisi Penyiaran sudah mencium ada praktek jual-beli stasiun lokal. Problemnya, kata Bimo, memang susah membuktikannya. Soekardi Wibisono, pemilik LombokTV, misalnya, mengaku pernah didatangi utusan salah satu pengelola stasiun televisi Jakarta yang berminat membeli perusahaannya. Satria Naradha juga punya pengalaman serupa. Jawaban keduanya sama: tidak dijual.

Sekretaris Perusahaan PT Media Nusantara Citra (MNC), Gilang Iskandar, mengatakan masih berkonsentrasi membesarkan RCTI, GlobalTV, dan TPI. Mereka belum menyentuh siaran televisi lokal. Soal kabar pembelian DeliTV di Sumatera Utara oleh Media Nusantara, dia menolak menjelaskan. Gilang malah meragukan kelangsungan stasiun televisi lokal. Menurut dia, perekonomian daerah tidak akan cukup menopang hidup stasiun televisi. Pendapatannya tidak akan mampu menopang biaya produksi.

Sapto Pradityo, Gabriel Wahyu Titiyoga, Supriyanto Khafid (Lombok)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus