WAJAHNYA aneh-aneh dan menyeramkam Mata membelalak dengan taring
dan misai compang-camping. Bermata raksasa dengan telinga
serigala. Itulah topeng-topeng kayu yang dapat disaksikan di
Muzium Negara Malaysia di Kuala Lumpur, atau di kedai-kedai
kerajinan rakyat hingga Kota Bharu, nun jauh di Kelantan di
Utara sana.
Juga patung-patung kayu yang eksotik. Manusia gajah yang punya
hidung dan telinga di atas belalainya. Manusia kepiting, manusia
kera, siamang, dan 1001 bentuk lain yang satu sama lain tak ada
yang serupa, hadir berdampingan dengan ukir-ukiran Dayak
Sarawak di museum dan artshops di Semenanjung Malaysia.
Siapakah senimannya? Seperti umumnya kesenian rakyat, nama
pengukirnya tak sepenting fungsinya. Kebanyakan patung dan
topeng kayu dengan corak yang sarna sekali bebas dari yengaruh
India atau Barat, adalah karya puak-puak Orang Asli di
Semenanjung Melayu. Penduduk asli Semenanjung Melayu yang sudah
bermukim di hutan dan pantai Malaysia Barat sebelum orang Melayu
hijrah ke sana, boleh dikata hidup semasa dengan orang Kubu atau
Sakai yang masih hidup setengah liar di pedalaman Sumatera
sekarang. Jumlahnya tak banyak lagi: tinggal 50 ribu orang dan
tersebar di berbagai tempat di ke-11 negara bagian Malaysia
Barat.
Meskipun hampir semuanya masih hidup dalam kultur animis yang
kaya dengan mitos dan legenda dewadewa, hanya dua kumpulan Orang
Asli yang masih tetap sibuk mengukir patung dan topeng kayu
tersebut. Yakni suku Jah Hut yang hidup terpencil dekat
Jerantut, Pahar Tengah. Dan suku Mah Meri yang tinggal di
pesisir Negeri Selangor, tak jauh dari Kuala Lumpur. Mungkin
karena mereka bermukim di Pantai Barat Semenanjung yang relatif
lebih maju, orang Mah Meri yang jumlahnya hanya 1300 orang,
lebih terbuka terhadap pembaharuan. Seperti ditulis Anthony
Ratos dalam brosur Muzium Negara Kuala Lumpur, banyak orang Mah
Meri telah memiliki kebun getah, kelapa sawit, kopi, kelapa dan
berladang padi huma. Radio, televisi, sepeda motor bahkan mobil
pun sudah tak asing bagi mereka.
Nyireh Batu
Kendati demikian, orang-orang Mah Meri tak kehilangan hubungan
spirituil mereka dengan laut, pelangi, guruh, angin,
kekuatan-kekuatan adi-kodrati (super natural) serta manusia
dengan 1001 kelemahannya. Alam gaib dan nyata itulah sumber
inspirasi patung dan topeng mereka, yang umumnya diukir dari
sejenis kayu paya, Nyireh Batu namanya.
Orang Jah Hut yang jumlahnya sedikit lebih banyak -- 1700 orang,
menurut sensus resmi -- lebih tertutup hidupnya. Mereka masih
juga berburu, memancing dan menanam padi paya dan keladi secara
kecil-kecilan di kawasan hutan. Hutan dan bukit, merupakan sumber
penghidupan mereka - dan sekaligus sumber ilham ukiran Jah Hut.
Kayu yang digunakan urnumnya kayu keras seperti merbau, meranti,
rengas, cengal, sena, kemuning dan rui. Di samping itu, baik
orang Jah Hut maupun orang Mah Meri suka mengukir topengtopeng
dari kayu pulai yang lembut.
Lingkungan hidup yang berbeda, tak hanya melahirkan perbedaan
surnber inspirasi dan media ukiran kedua suku itu. Juga coraknya
agak berbeda. Ukiran Jah Hut lebih bercorak geometris, meski tak
menggunakan bantuan alat-alat mekanis. Sedang corak ukiran Mah
Meri lebih selaras dengan bentuk dan urat kayu yang mau
diukir.
Ukiran kayu orang Asli itu pada muIanya tak dibuat dengan tujuan
komersiil. Bahkan sampai sekarang, setelah seni rupa primitif
mendapat pasaran luas di negeri-negeri kaya, tujuan komersiil
mungkin baru mulai menonjol di kaiangan suku Mah Meri yang sudah
lebih terjerat dalam kebudayaan uang. Seperti juga kesenian
primitif Dayak atau Irian, patung-patung dan topeng-topeng
Orang Asli Malaysia itu merupakan dokumentasi silsilah mereka,
mitos dan legenda zaman lampau, serta ekspresi ketakutan kepada
kuasa-kuasa ghaib yang dianggapnya tetap berpengaruh dalam
kehidupan masa kini.
Penyembuhan
Bagi orang Mah Meri maupun Jah Hut -- dua suku Orang Asli yang
paling banyak diteliti dan diterbitkan hasil penelitiannya -
patung dan topeng kayu itu juga mempunyai fungsi penyembuhan.
Pawang atau bomoh (dukun), acap kali mencoba menyembuhkan
pasiennya dengan jalan membuat patung atau topeng yang
melambangkan penyakit atau roh jahat yang dianggapnya sedang
merasuk tubuh si penderita. Kemudian, dengan kesaktiannya, sang
bomoh mengeluarkan penyakit dari tubuh si sakit, barang gaib itu
dipindahkannya ke dalam patung yang selanjutnya dibuang ke laut
atau hutan.
Itu sebabnya, patung-patung Jah Hut itu ada yang punya nama-nama
penyakit seperti Bes Sejuk Panas (roh malaria), Kemoit Kurus
(roh batuk kering, tbc).
Selain itu, patung dan topeng Orang Asli itu juga menggambarkan
hirarki dewa-dewa dan kuasa-kuasa gaib yang mereka percayai
sebagai penguasa langit dan bumi. Dewa Tertinggi orang Jah Hut
yang datang bersama matahari terbit, Peruman, digambarkan dengan
lidah menjulur, daun telinga memanjang dan mata sipit bak
dewa-dewa Cina. Bes, adalah roh Jah Hut yang melayang-layang di
atas bumi dan lebih tinggi kedudukannya dari pada Jin-Jin yang
bermukim di perut gunung dan di dalam tanah. Pada umumnya, roh
jahat bagi orang Mah Meri disebut Moyang, sedang orang Jah Hut
menyebutnya Kemoit. Baik benda mati maupun mahluk hidup
dipercayai punya sukma, makanya ada Jin Batu, Moyang Siamang,
Moyang Gajah, Jin Danau, dan 1001 moyang dan jin lainnya. Itu
juga yang menyebabkan setiap ukiran Orang Asli itu sangat
subyektif, dan hampir tak ada pakem stereotipe seperti pada
orang India atau Cina.
Kini, perburuan patung dan topeng kayu primitif itu, tak hanya
memberikan tambahan penghasilan bagi Orang Asli. Sebab juga para
juru ukir lainnya yang bukan Orang Asli dan menganut agama Islam
yang melarang segala bentuk berhala -- menyibukkan diri dengan
mengukir patung dan topellg kayu bercorak Orang Asli. Misalnya
pengukir-pengukir muda di Kelantan yang diorganisir oleh Abdul
Latif dan Abdul Rachman Long di Kota Bharu dalam Pakatan Juru
Ukir Tradisional.
Di samping menukir perabot dan daun pintu dengan motif-motif
Kelantan - bunga tanjung, garis-garis geometris, dan dekorasi
huruf Arab - anak-anak muda itu sudah mahir membuat patung dan
topeng yang aneh dan menyeramkan itu. "Senang (maksudnya mudah -
Penulis) juga menjualnya," tutur Abdul Rachman Long kepada
wartawan TEMPO Adicondro. Kalau ada rombongan orang putih ke
Kelantan, acap kali mereka marnpir di bengkel pakatan (guild)
itu, dan memborong patung-patung kecil sampai lusinan. Tapi
apakah itu bukan hasil plagiat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini