Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Jin gentayangan di semenanjung

Kerajinan patung dan topeng-topeng kayu karya suku jahhut dan suku mah meri, malaysia, dapat disaksikan di museum negara di kuala lumpur atau di kedai-kedai kerajinan rakyat.

24 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAHNYA aneh-aneh dan menyeramkam Mata membelalak dengan taring dan misai compang-camping. Bermata raksasa dengan telinga serigala. Itulah topeng-topeng kayu yang dapat disaksikan di Muzium Negara Malaysia di Kuala Lumpur, atau di kedai-kedai kerajinan rakyat hingga Kota Bharu, nun jauh di Kelantan di Utara sana. Juga patung-patung kayu yang eksotik. Manusia gajah yang punya hidung dan telinga di atas belalainya. Manusia kepiting, manusia kera, siamang, dan 1001 bentuk lain yang satu sama lain tak ada yang serupa, hadir berdampingan dengan ukir-ukiran Dayak Sarawak di museum dan artshops di Semenanjung Malaysia. Siapakah senimannya? Seperti umumnya kesenian rakyat, nama pengukirnya tak sepenting fungsinya. Kebanyakan patung dan topeng kayu dengan corak yang sarna sekali bebas dari yengaruh India atau Barat, adalah karya puak-puak Orang Asli di Semenanjung Melayu. Penduduk asli Semenanjung Melayu yang sudah bermukim di hutan dan pantai Malaysia Barat sebelum orang Melayu hijrah ke sana, boleh dikata hidup semasa dengan orang Kubu atau Sakai yang masih hidup setengah liar di pedalaman Sumatera sekarang. Jumlahnya tak banyak lagi: tinggal 50 ribu orang dan tersebar di berbagai tempat di ke-11 negara bagian Malaysia Barat. Meskipun hampir semuanya masih hidup dalam kultur animis yang kaya dengan mitos dan legenda dewadewa, hanya dua kumpulan Orang Asli yang masih tetap sibuk mengukir patung dan topeng kayu tersebut. Yakni suku Jah Hut yang hidup terpencil dekat Jerantut, Pahar Tengah. Dan suku Mah Meri yang tinggal di pesisir Negeri Selangor, tak jauh dari Kuala Lumpur. Mungkin karena mereka bermukim di Pantai Barat Semenanjung yang relatif lebih maju, orang Mah Meri yang jumlahnya hanya 1300 orang, lebih terbuka terhadap pembaharuan. Seperti ditulis Anthony Ratos dalam brosur Muzium Negara Kuala Lumpur, banyak orang Mah Meri telah memiliki kebun getah, kelapa sawit, kopi, kelapa dan berladang padi huma. Radio, televisi, sepeda motor bahkan mobil pun sudah tak asing bagi mereka. Nyireh Batu Kendati demikian, orang-orang Mah Meri tak kehilangan hubungan spirituil mereka dengan laut, pelangi, guruh, angin, kekuatan-kekuatan adi-kodrati (super natural) serta manusia dengan 1001 kelemahannya. Alam gaib dan nyata itulah sumber inspirasi patung dan topeng mereka, yang umumnya diukir dari sejenis kayu paya, Nyireh Batu namanya. Orang Jah Hut yang jumlahnya sedikit lebih banyak -- 1700 orang, menurut sensus resmi -- lebih tertutup hidupnya. Mereka masih juga berburu, memancing dan menanam padi paya dan keladi secara kecil-kecilan di kawasan hutan. Hutan dan bukit, merupakan sumber penghidupan mereka - dan sekaligus sumber ilham ukiran Jah Hut. Kayu yang digunakan urnumnya kayu keras seperti merbau, meranti, rengas, cengal, sena, kemuning dan rui. Di samping itu, baik orang Jah Hut maupun orang Mah Meri suka mengukir topengtopeng dari kayu pulai yang lembut. Lingkungan hidup yang berbeda, tak hanya melahirkan perbedaan surnber inspirasi dan media ukiran kedua suku itu. Juga coraknya agak berbeda. Ukiran Jah Hut lebih bercorak geometris, meski tak menggunakan bantuan alat-alat mekanis. Sedang corak ukiran Mah Meri lebih selaras dengan bentuk dan urat kayu yang mau diukir. Ukiran kayu orang Asli itu pada muIanya tak dibuat dengan tujuan komersiil. Bahkan sampai sekarang, setelah seni rupa primitif mendapat pasaran luas di negeri-negeri kaya, tujuan komersiil mungkin baru mulai menonjol di kaiangan suku Mah Meri yang sudah lebih terjerat dalam kebudayaan uang. Seperti juga kesenian primitif Dayak atau Irian, patung-patung dan topeng-topeng Orang Asli Malaysia itu merupakan dokumentasi silsilah mereka, mitos dan legenda zaman lampau, serta ekspresi ketakutan kepada kuasa-kuasa ghaib yang dianggapnya tetap berpengaruh dalam kehidupan masa kini. Penyembuhan Bagi orang Mah Meri maupun Jah Hut -- dua suku Orang Asli yang paling banyak diteliti dan diterbitkan hasil penelitiannya - patung dan topeng kayu itu juga mempunyai fungsi penyembuhan. Pawang atau bomoh (dukun), acap kali mencoba menyembuhkan pasiennya dengan jalan membuat patung atau topeng yang melambangkan penyakit atau roh jahat yang dianggapnya sedang merasuk tubuh si penderita. Kemudian, dengan kesaktiannya, sang bomoh mengeluarkan penyakit dari tubuh si sakit, barang gaib itu dipindahkannya ke dalam patung yang selanjutnya dibuang ke laut atau hutan. Itu sebabnya, patung-patung Jah Hut itu ada yang punya nama-nama penyakit seperti Bes Sejuk Panas (roh malaria), Kemoit Kurus (roh batuk kering, tbc). Selain itu, patung dan topeng Orang Asli itu juga menggambarkan hirarki dewa-dewa dan kuasa-kuasa gaib yang mereka percayai sebagai penguasa langit dan bumi. Dewa Tertinggi orang Jah Hut yang datang bersama matahari terbit, Peruman, digambarkan dengan lidah menjulur, daun telinga memanjang dan mata sipit bak dewa-dewa Cina. Bes, adalah roh Jah Hut yang melayang-layang di atas bumi dan lebih tinggi kedudukannya dari pada Jin-Jin yang bermukim di perut gunung dan di dalam tanah. Pada umumnya, roh jahat bagi orang Mah Meri disebut Moyang, sedang orang Jah Hut menyebutnya Kemoit. Baik benda mati maupun mahluk hidup dipercayai punya sukma, makanya ada Jin Batu, Moyang Siamang, Moyang Gajah, Jin Danau, dan 1001 moyang dan jin lainnya. Itu juga yang menyebabkan setiap ukiran Orang Asli itu sangat subyektif, dan hampir tak ada pakem stereotipe seperti pada orang India atau Cina. Kini, perburuan patung dan topeng kayu primitif itu, tak hanya memberikan tambahan penghasilan bagi Orang Asli. Sebab juga para juru ukir lainnya yang bukan Orang Asli dan menganut agama Islam yang melarang segala bentuk berhala -- menyibukkan diri dengan mengukir patung dan topellg kayu bercorak Orang Asli. Misalnya pengukir-pengukir muda di Kelantan yang diorganisir oleh Abdul Latif dan Abdul Rachman Long di Kota Bharu dalam Pakatan Juru Ukir Tradisional. Di samping menukir perabot dan daun pintu dengan motif-motif Kelantan - bunga tanjung, garis-garis geometris, dan dekorasi huruf Arab - anak-anak muda itu sudah mahir membuat patung dan topeng yang aneh dan menyeramkan itu. "Senang (maksudnya mudah - Penulis) juga menjualnya," tutur Abdul Rachman Long kepada wartawan TEMPO Adicondro. Kalau ada rombongan orang putih ke Kelantan, acap kali mereka marnpir di bengkel pakatan (guild) itu, dan memborong patung-patung kecil sampai lusinan. Tapi apakah itu bukan hasil plagiat?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus