KARAWANG ribut lagi dengan kasus polusi racun hama. Kejadiaunya
mulai 13 Agustus lalu, sebelum Lebaran.
Sore itu, Endang, seorang penduduk Babakan Sereh Desa Dawuan,
Kecamatan Cikampek, pergi melongok kolam-kolam ikan di belakang
rumahnya Orang ini punya tujuh kolam ikan yang baru saja
ditaburi benih ikan tiga bulan sebelumnya. Namun pemandangan
yang menyambut Endang, kontan membuat dia ternganga. Ikan-ikan
tawes, nila, mas dan jenis-jenis lain di kolamnya megap-megap
mengambil udara ke permukaan, berkelojotan seperti mabuk, lalu
diam. Mati. Tak ada yang sisa.
Nasib itu tak cuma menimpa Endang. Juga penghuni balong-balong
lainnya di kampung Babakan Sereh, yang memang terletak persis di
pinggir saluran irigasi Kali Kamojing. Penduduk kampung itu jadi
tercengang dan gemetar melihar ikanikan air tawarnya punah
semua. Lebih-lebih setelah penduduk Desa Dawuan dan Desa
Purwasari yang biasa mandi-cuci-berak di Kali Kamojing juga
merasakan gangguan yang tak enak. "Air kali mendadak terasa
dingin dan gatal," tutur seorang penduduk. Ini dibenarkan oleh
Kepala Desa Dawuan, Abdul Sukur.
Di sore hari yang naas itu, bangkai-bangkai ikan langsun
dinaikkan ke darat. Dari 46 kolam yang keracunan menjelang
Lebaran itu terangkat 250 ribu ekor bangkai ikan. Besar-besar
lagi ada yang hampir 3 kg beratnya. Lurah Abdul Sukur kemudian
memerintahkan agar ikan itu segera dimusnahkan, dengan jalan
ditanam saja. Maksudnya jangan sampai ada manusia dan hewan yang
ikut kcracunan lantaran memakannya.
Penduduk kampung memang setuju. Cuma begitu kata 26 pemilik
kolam, "kami minta ganti rugi." Harganya setelah mufakat dipukul
rata Rp 10 tiap ekor. Tapi itu "masih harus ditambah biaya
pemeliharaan dan biaya penaburan benih," ujar Aedy, seorang
pemilik kolam yang sampai sekarang menganggur karena tak punya
penghasilan lain kecuali dari balongnya itu.
Aldrin Dari Mana?
Tapi kepada siapa mau minta ganti rugi? Aedy dan kawan-kawannya
kontan saja mengajukan permintaan ganti rugi kepada PT Pupuk
Kujang di Dawuan, yang pabriknya tak jauh dari kolam mereka.
Soalnya, saluran irigasi Kali Kamojing mengalir persis di
belakang pabrik itu. IIingga tak pelak lagi, "penyebabnya pasti
dari sana," kata mereka serentak. Mereka menduga, mungkin ada
amoniak atau urea yang bocor dari pabrik ke kali -- padahal
pabrik yang baru dibangun itu baru akan diresmikan 10 Nopember
mendatang.
Tuduhan para pemilik balong itu segera saja ditangkis oleh pihak
pabrik. Kata seorang pejabat pabrik "Air limbah pabrik
disalurkan ke luar lewat pipa-pipa bawah tanah. Itupun setelah
air kotor tadi dinetralkan dengan separator. Di situ minyak
dipisahkan dari air. Minyaknya dibakar, sedang airnya diendapkan
lagi dalam dua kolam, baru dialirkan ke luar melalui saluran
pembuangan bawah tanah itu. Pembuangannya pun bukan ke Kali
Kamojing, melainkan ke Kali Karanggelam yang tak ada hubungannya
dengan saluran irigasi itu."
Biar jelas duduk perkaranya, PT Pupuk Kujang esok harinya segera
mengirim tim meninjau kolam-kolam ikan itu, dan memboyong
sampel air kolam dan air saluran irigasi Kamojing untuk
diperiksa oleh Lembaga Ekologi Unpad di Bandung.
Hasilnya? Air tadi mengandung 0,35 ppm aldrin -- sejenis racun
hama, yang lebih kuat dari pada endrin. Hasil penelitian Lembaga
Ekologi Unpad itu memhuat para pimpinan Pupuk Kujang bernafas
lega. "Di tempat kami tak pernah ada aldrin," kata seorang
pejabat pabrik itu.
Kalau betul begitu, boleh jadi hujan besar beberapa hari sebelum
musibah ikan balong itu telah menghanyutkan racun hama tadi dari
sawah turun ke kolam. Namun tak urung pimpinan pabrik pupuk
Kujang mencoba juga mengecilkan kerugian para petani.
Jumlahnya masih sedang ditaksir. Tapi, tuntutan Rp 10/ekor
--apalagi untuk jumlah bangkai ikan sampai 250 ribu ekor -- tak
dapat diterima oleh pimpinan pabrik. Kata seorang pejabat Pupuk
Kujang: "Bagaimana bisa diterima, kalau yang kami lihat hanya
beberapa puluh ekor saja?"
Tuduhan Ahmad Suta
Untuk menjelaskan 'ketidakterlibatan' pabrik itu, Dirut PT Pupuk
Kujang ir Salmon Mustafa mengundang 52 penduduk desa Dawuan dan
Purwasari yang tercemar empangnya ke pabrik itu. Itulah pertama
kalinya penduduk setempat mendapat kesempatan memasuki dan
melihat dari dekat kawasan Pupuk Kujang.
Pertemuan yang diakhiri peninjauan keliling kawasan pabrik tak
banyak menghasilkan apa-apa bagi penduduk. Mereka tetap juga
menuntut ganti rugi. Ahmad Suta, seorang sesepuh desa yang sudah
jompo tapi ikut dalam pertemuan itu bahkan tetap menuduh pabrik
itulah yang bersalah membunuh ikan-ikan. Bukan cuma itu.
Kehadiran pabrik itu menurut Suta juga menyebabkan frekwensi
banjir meningkat menjadi rata-rata tiga kali sebulan. Padahal
dulu hanya sekali setahun.
Mungkin karena desakan penduduk itulah, PT Pupuk Kujang ada
rencana memindahkan saluran irigasi yang sekarang melintang di
belakang pabrik. Untuk mencegah risiko di kemudian hari,
rupanya. Sementara itu para pemilik kolam belum berani menabur
benih ikanikan baru di kolam warisan moyangnya. "Kolam-kolam itu
perlu dinetralisir dulu dari racun yang masih berkeliaran di
air," kata sumber TEMPO di kantor Bupati Karawang. Tapi
sayangnya, sebegitu Jauh belum ada petunjuk dari pemerintah
bagaimana caranya menetralisir air kolam yang tercemar itu.
Yang juga menjadi pertanyaan penduduk adalah: kalau betul zat
kimia yang mematikan ikan-ikan mereka adalah sejenis pestisida,
dari mana datangnya aldrin berkadar begitu tinggi? Apa kah
penyuluh pertanian lapangan (PPL) agak lalai menjalankan
tugasnya? Ataukah memang ada unsur kesengajaan?
Yang menarik menurut seorang mahasiswa Bandung yang sedang KKN
di Kecamatan Cikampek dan ikut nyelip di antara rombongan petani
balong yang meninjau pabrik, ada seorang penduduk yang tertegun
lantaran mencium bau pesing yang sangat menyengat. Kontan orang
desa itu nyeletuk dalam bahasa Sunda: "Bau ini mah, seperti yang
tercium pada air kolam ikan saya! "
Petani itu tak tahu nama gas itu. Tapi menurut mahasiswa tadi,
itu bau amoniak (NH3), salah satu bahan baku pembuat urea. Cuma,
bisakah ikan-ikan di empang pada mati hanya lantaran tercekik
amoniak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini