EMPAT bis sungai buatan Yugoslavia sejak bulan lalu mulai
menghubungkan urat-urat nadi ekonomi Riau Daratan -- sungai
Siak, Indragiri, dan Rokan (lihat Daerah). Hadir pada
peresmiannya, Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin, yang
sebelumnya telah meresmikan operasi bis sungai serupa di
Kalimantan Barat, Selatan, dan Tengah.
Belum diketahui tanggapan masyarakat -- baik penumpang, maupun
pengusaha angkutan sungai dan galangan kapal kayu -- di Riau.
Namun di Kalimantan, ternyata tanggapan itu tak terlalu ramah.
Di Kalimantan Barat, tempat proyek perintis sarana angkutan
sungai yang baru itu, penghuni tepian sungai Kapuas Besar
dilaporkan telah melempar batu dan memecahkan kaca kapal mewah
tersebut. Ini diakui sendiri oleh Jevrem Sofronijevic, kepala
perwakilan maskapai Yugo Rudnap yang menjadi rekanan bus sungai
itu kepada TEMPO. "Mungkin karena pemilik kapal-kapal kecil
takut kalah bersaing dengan bis sungai buatan kami."
Kakilima Terapung
Dari Kalimantan Tengah, datang tanggapan dari seorang perintis
bis sungai buatan dalam negeri di Palangkaraya, W. Embang. Tulis
pemilik bis sungai Semara Express itu dalam TEMPO minggu lalu
"Bis air ex Yugoslavia ternyata kurang cocok bagi kondisi
perairan di Kalimantan." Mengapa? "Gelombangnya sangat besar,
sehingga dapat mengakibatkan karam atau terbaliknya gandengan
perahu tiung ataupun perahu kecil (rombong), serta rusaknya
jamban-jamban di kampung-kampung sepanjang sungai," alasan
Embang.
Pengusaha pribumi Kal-Teng itu juga berpendapat, dengan biaya
sebuah bis sungai ex Yugo yang harganya Rp 200 juta dapat dibuat
10 bis sungai di Kalimantan. Lengkap dengan kabin penumpang
ber-AC, seperti yang dimiliki bis sungai Yugo itu. Dan
seandainya 10 bis sungai modern itu dibuat di Kalimantan,
disainnya dapat disesuaikan dengan kondisi setempat, pengusaha
galangan domestik dapat memetik manfaatnya, sambil menyerap
banyak tenaga kerja setempat.
Kritik tentang gelombang besar yang ditimbulkan oleh bis sungai
Yugo berkecepatan 28 km/jam itu, sebelumnya juga telah diucapkan
oleh anggota DPR-RI Sabam Sirait. Katanya sepulang menyaksikan
inaugurasi bis sungai tersebut di sungai Kapuas Besar, Kal-Bar:
"Gelombang-gelombang besar yang ditimbulkannya sangat mengganggu
kehidupan dan ekonomi rakyat di tepi sungai."
Kritik itu memang beralasan. Seoab rumah penduduk asli
Kalimantan, khususnya suku Dayak, memang buntutnya menghadap ke
sungai. Di pelataran di belakang rumah itulah para wanita
mencuci pakaian, anak-anak berenang dan bersenda gurau, dan
setiap orang dapat membuang hajatnya di jamban keluarga. Di
kampung atau kota kecil yang merupakan simpul lalu-lintas sunai
dan perdagangan, pinggiran sungai boleh dikata juga merupakan
lokasi 'kakilima terapung'. Penjual es, warung makanan, sampai
pada depot minyak tanah, bensin dan solar beroperasi dari
perahu-perahu atau landasan-landasan terapung yang, tentu saja,
belum dirancang untuk menghadapi serangan gelombang bis sungai
Yugo yang menggebu-gebu.
Sofronijevic mengakui adanya gelombang-gelombang itu yang
menurut dia, disebabkan "perubahan disain di luar rencana
semula." Jelasnya begini: Semula, bis sungai buatan galangan
kapal di sungai Donau, Yugoslavia itu hanya dilengkapi dengan
tanki bahan bakar utama yang sangat modern. "Tapi teknisi
Indonesia ternyata belum mampu melayani tanki utama itu,"
katanya. Makanya lantas ditambahkan dua tanki pembantu di haluan
kapal, yang memperantarai aliran bahan bakar (minyak solar) dari
tanki utama ke mesin. Tanki pembantu yang disebutnya gravity
tank itu rupanya juga berfungsi sebagai pemberat haluan kapal
agar tak terlalu menukik pada kecepatan meluncurnya yang tinggi.
Maklumlah, sarat air (draft) bis sungai Yugo itu hanya 0,75
meter. Sengaja dibuat begitu 'mengambang', "sebab di
sungai-sungai di Kalimantan dan Sumatera banyak kayu gelondongan
yang melayang di bawah permukaan air, dan dapat membahayakan
navigasi," tutur Sofronijevic.
Kondisi sungai-sungai Indonesia itu juga menyebabkan lunas kapal
Yugo itu harus dibuat seringan mungkin dari baja tipis yang
dipesan khusus. Selain ringan, ia harus lebih tahan karat
lantaran kotornya perairan sungai di Kalimantan dan Sumatera
itu. Adapun kabin kapal dan seluruh struktur atasnya terbuat
dari fibreglass. Disain dan bahan baku khusus itulah yang
membuat harga kapal itu menjadi mahal. Tapi bukan itu saja. Di
Yugoslavia sendiri, bis sungai memang bukan merupakan alat
angkutan penumpang yang lazim, sebab jalan darat lebih praktis.
"Sungai di Yugoslavia, misalnya Donau dan Sava yang saling
memotong di kota Beograd, hanya digunakan untuk para pelancong
dan angkutan barang yang terpisah dari penumpang," begitu tutur
Sofronijevic.
Konsepsi Yugoslavia itulah yang rupanya mau diterapkan -- dengan
sedikit adaptasi di sana-sini -- di Indonesia. Padahal pada
berbagai sarana angkutan rakyat, angkutan penumpang dan barang
tak terpisah secara ketat seperti di Yugo. Lihat saja kereta api
di Jawa, dimana para bakul menyatu dengan barang
cangkingannya di gerbong kelas ekonomi. Atau taksi air
penghubung Banjarmasin dan Palangkaraya, di mana ruang palka dan
atap kapal merupakan tempat barang, sementara para penumpang
tua-muda, laki-perempuan berjubel di antaranya. Sementara
penumpang yang tak membawa barang dagangan dan perlu berlayar
lebih cepat dapat memilih perahu panjang (logboat), motor
tempel (speed bot), atau bis sungai domestik yang dilengkapi
kursi rotan, TV, dan konsumsi sepanjang pelayaran. Tarif bis
sungai pribumi ini juga lebih murah daripada bis sungai Yugo
(Banjarmasin-Palangkaraya Rp 2500/ orang, dibandingkan tarif bis
sungai Yugo yang Rp 4000/orang).
Namun sarana perhubungan sungai, yang dikelola oleh DLLASDF,
juga membutuhkan 'modernisasi'. Makanya, ketika Dubes Rl di
Belanda, Sumpono Bayuaji masih jadi Dirjen Hub-Dar, dipesanlah
23 bis sungai dan 20 truk sungai dari galangan kapal Brodo
Tehnika di tepi sungai Donau, Yugoslavia. Tentang truk air yang
akan mulai dilever awal tahun depan, orang Rudnap berusaha
memberikan jaminan, bahwa "gelombangnya tak akan sehebat bis
sungai, sebab bentuknya lebih besar, lebih pan jang, dan lebih
stabil." Mudah-mudahan sajalah demikian.
Sementara itu, galangan kapal domestik -- terutama galangan
kapal kayu, yang biasa membuat kapal sungai atau kapal pantai --
boleh menggigit jari. Komentar seorang pimpinan mahasiswa
Kal-Teng di Jakarta - "Mengapa STM Mandomai, yang sudah mampu
membuat jembatan kayu dan kapal sungai, yang dimodernisir oleh
ahli-ahli mereka dari Swiss, tak dipercayai membuat bis sungai?"
Juga di Sumatera Timur, galangan kapal kayu yang sedang kendor
usahanya lantaran penertiban trawlers kayu, hanya melongo
melihat masuknya sejumlah kapal sungai mutakhir dari Yugoslavia.
Sedang di Kalimantan Timur, di mana armada speedboat sedang lesu
lantaran kendornya penebangan kayu, orang masih menanti-nanti
apakah bis dan truk sungai Yugoslavia itu akan masuk ke sana
pula. "Lalu, apa gunanya ada anjuran Presiden Soeharto supaya
kapal dengan bobot mati di bawah 1000 ton dibuat di dalam
negeri?" komentar seorang pengusaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini