KEKURANGAN seorang pelukis ialah tak bisa tampil secara
menyeluruh, seperti sastrawan," jawab Popo di Ruang Pameran TIM.
Maka pameran-pameran yang biasanyahanya mengcmukakan satu-dua
periode itu"seakan-akan terenggut dari mata rantai perkembangan
keseluruhan." Karena itulah, 26 September sampai awal Oktober
ini, Popo berusaha menyuguhkan karya-karyanya secara menyeluruh.
Paling tidak tiap babakan baru terwakili.
Di ruang pameran itu tergantung 40an karya Popo. Dari yang
bertahun 1949 sampai 1978. Memang bisa kita lihat, bagaimana
bermacamnya lukisan Popo dari dulu sampai kini. Dan ini memang
menguntungkan bagi siapa saja. Bagi penggemar lukisan bisa
memperbandingkannya secara langsung. Sedang bagi Popo sendiri,
yang berpendapat bahwa "bagi seniman pengenalan terhadap diri
sendiri sangat penting" dan "tiap karya bisa merupakan pemberi
ilham dan penyempurnaan bagi karya baru," maka ia serasa
mendapat pengalaman baru.
Tapi sesungguhnya jika kita bermaksud meniti kembali
perkembangan Popo, dari pameran ini, susah juga. Kecuali hanya
ada dua-tiga karya dari tiap perkembangan baru, Popo bukan
termasuk seorang pelukis yang berkembang lurus meninggalkan yang
satu untuk tak mengulangnya kembali. Maka yang penting, bagi
saya, bagaimana nilai karya itu sendiri. Artinya sejauh mana
Popo mampu menggarap pokok lukisan yang kebetulan suatu saat
digaulinya.
Tanpa Kejutan
Soalnya, karya-karya Popo termasuk karya-karya yang tidak
memberikan kejutan la bukan tipe pelukis yang dengan karya-karya
barunya sanggup membuat dunia seni lukis berpikir kembali.
Semenjak Popo melukis air terjun "Curug Dago", tahun 1971,
agaknya sapuan lebarnya tetap bertahan sampai kini. Sapuan macam
itu pernah menghasilkan periode bambu-bambu yang sangat berhasil
(TEMPO, 12 April 1975). Dengan noktah-noktah mengisi
sapuan-sapuannya, yang mungkin pada mulanya dimaksudkan sebagai
pelukisan daun-daun bambu, menghasilkan perpaduan warna hijau
luas dan noktah-noktah kuning atau hitam yang pas. Di sana gaya
dan pokok lukisan menyatu.
Setelah itu lahir "Kucing-kucing"nya. Sebetulnya obyek kucing
bukan hal baru bagi Popo. Jauh sebelumnya ia pun pernah melukis
kucing. Hanya saja dengan gaya yang diilhami lukisan mosaik.
"Kucing-kucing" Popo gaya sapuan lebar ternyata tak seberhasil
"Bambu-bambu"nya. Bentuk kucing ternyata membutuhkan kecermatan
pelukisan yang lebih daripada bambu. Dan hal itu tak dicapai
Popo. "Kucing-kucing"nya bak kucing-kucing korban bom atom
Hiroshima.
Jelasnya begini. Popo yang lebih menganggap satu sapuan sebagai
unsur kesenilukisan, ternyata tidak melihat bidang gambar
sebagai sekeutuhan. Sapuan-sapuan itu perlu juga diberi
"identitas". Komposisi itu perlu juga diberi bentuk bulat pipih,
atau loreng-loreng -- untuk menyatakan bahwa sebetulnya itu
kucing. Dalam satu-dua karya, bentuk pipih atau loreng itu
memang pas. Tapi kebanyakan hadir serasa dipaksakan membuyarkan
kesatuan sapuan-sapuan. Maka, untuk sebagian besar "Kucing"nya,
kucing berhenti hanya sebagai ide saja - sementara sapuan-sapuan
tak memberikan imaji kucing.
Kemudian tahun 1978 ini Popo melahirkan "Jago-jago". Beralihnya
pokok lukisan kucing menjadi jago (ayam jantan) hanyalah karena
Popo merasakan ada sapuan lengkung yang disukainya pada salah
sebuah lukisan "Kucing". Ia terus mencari apa sekiranya yang
cocok dengan sapuan itu. Akhirnya ditemukannya bentuk ayam jago.
Tentu saja prossesnya tidaklah sesederhana yang diceritakannya
di ruang pameran siang itu. Dan sebetulnya jago juga bukan
bentuk baru bagi Popo. Dulu pun ia pernah melukis jago -- dengan
gaya lukisan mosaik.
Dan ternyata bentuk jago menguntungkan Popo seperti halnya
bentuk bambu. Kepala jago yang kenyataannya memang merah, dipadu
dengan hitam tubuhnya dan sedikit goresan hijau dan kuning
memberikan satu komposisi warna yang enak. Dan tubuh jago yang
tertutup bulu-bulu itu ternyata lebih "mudah" dihadirkan dengan
gaya sapuan Popo. Di sini tak ada kemelesetan macam pada
"Kucing-kucing"nya. Dan kalau periode kucing menyuguhkan satu
suasana yang tertekan, seolah-olah Popo terpaksa melahirkan
kucing, "Jago-jago"nya memberikan suasana segar.
Dengan leher yang tegak, anggun, dengan bulu-bulunya yang hitam
tebal, "Jago-jago" Popo terasa gagah, segar dan mengisi bidang
gambar dengan pas. Apalai warna merah, hijau dan kuning
samasekali mendukung hitam yang dominan. Hitam bukan lagi warna
yang kotor dan sendu. Pada "Jago" Popo itu adalah warna segar.
Mungkin saja kita menemukan suasana yang menjiwai karyakarya
lain dalam lukisan "Jago-jago" Popo. Tapi, pelukis yang dengan
rendah hati mengatakan bahwa "karya seseorang tak lepas dari
pengaruh" ini, tak berarti Popo harus kalah. Ia sadar dan tidak
takut terhadap apa yang disebut pengaruh orang lain itu. Karena
itu ia berusaha mengolahnya menjadi miliknya sendiri. Dan ia
berhasil.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini