PERGURUAN tinggi hanya mau menerima calon mahasiswa terbaik.
Dengan alasan agar ditemukan mahasiswa baru yang mampu menjalani
dan menyelesaikan pendidikan tinggi, dan agar dana terbatas yang
dimiliki perguruan tinggi itu bisa digunakan seefisien mungkin,
dilakukanlah seleksi dengan cara ujian masuk. Alasan itu tidak
seluruhnya bisa diterima. "Kalau begitu kapan murid di pedesaan
dapat kesempatan masuk ke perguruan tinggi?" tanya Prof. Dr. A.
Amiruddin, rektor Universitas Hasanuddin, menyinggung laporan
dies natalis ke XXII perguruan tingginya, 23 September yang
lalu.
Memang mendidik para mahasiswa baru yang mempunyai angka ujian
masuk yang tinggi cenderung lebih efisien. Tapi mempergunakan
prestasi ujian masuk sebagai alat saringan memberikan perlakuan
yang kurang adil terhadap calon-calon mahasiswa dari lapisan
bawah masyarakat dan daerah pedalaman. Penyaringan semacam ini
cenderung membuat lembaga pendidikan tinggi menjadi lembaga
pendidikan elitis. Dengan alasan itu, kata Amiruddin, dapatlah
dimengerti mengapa Universitas Hasanuddin menolak ajakan untuk
bersama beberapa universitas negeri lainnya menjadi anggota
Proyek Perintis I Penerimaan Mahasiswa Baru.
Menghadapi tahun kuliah baru mendatang, pemerintah lewat SK
Dirjen Pendidikan Tinggi memang sudah menetapkan adanya dua
proyek perintis penerimaan mahasiswa baru. Yang pertama dengan
cara ujian masuk bersama yang anggotanya terdiri dari kelornpok
Skalu (UI, ITB, IPB, UGM dan Unair) plus beberapa perguruan
tinggi negeri terkemuka lainnya seperti ITS, Undip, USU, Unpad,
Unhas. Sedangkan proyek perintis kedua terdiri dari IPB, ITB dan
UGM. Kelompok kedua ini selain melakukan saringan lewat ujian
masuk (karenanya masuk juga pada proyek perintis yang pertama)
juga menerima mahasiswa baru tanpa harus melalui ujian masuk.
Caranya seperti IPB misalnya, dengan memilih calon-calon
mahasiswa yang paling baik pada beberapa SMASMA (yang biasanya
juga SMA terbaik) berdasarkan angka-angka pelajaran selama di
sekolah lanjutan tersebut.
Tapi nampaknya cara yang dilakukan oleh kedua proyek perintis
itu tidak berkenan di hati Amiruddin. Rektor perguruan tinggi
negeri yang terbesar di Indonesia Timur itu menyadari betul
kalau mutu sekolah-sekolah lanjutan yang memproduksi calon-calon
mahasiswa itu tidak merata. SMA di daerah-daeran umumnya lebih
parah dibanding dengan yang terdapat di kota-kota besar. Karena
itu sejak dua tahun yang lalu Unhas, sebagaimana IPB, menerima
mahasiswa baru tanpa ujian masuk. "Hanya bedanya kami tidak
memilih calon-calon yang terbaik," kata Amiruddin. Ianpa melihat
angka-angka pelajaran maupun ujian, asal mereka memiliki potensi
untuk berkembang, akan diterima di Unhas. Dan untuk mengetahui
potensi itu dilakukan psiko-test. Mahasiswa baru yang diterima
seluruhnya masuk .ialam program Kelas Pesiapan (serupa dengan
masa matrikulasi di ITB) selama enam bulan. "Ternyata hasilnya
90% rata-rata baik," kata Amiruddin. Maksudnya, terbukti mereka
yang angka rata-ratanya selama di SMA tidak luar biasa, toh
mampu mengikuti kuliah dengan ratarata baik.
Penolakan Unhas untuk menjadi angota Proyek Perintis I itu
nampaknya dimaklumi pemerintah. "Sebab dengan menjadi anggota
proyek perintis itu tertutuplah kesempatan bagi Unhas untuk
melaksanakan dan mengembangkall usaha pembaharuan dalam sistim
penerimaan mahasiswa baru," kata Amiru-ldin, ketika melantik 296
lulusan berbagai program dalam kesempatan dies itu. Dan, katanya
lagi, untuk menunjukkan bahwa perguruan tinggi yang tidak
termasuk proyek perintis I itu bukan universitas kelas dua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini