Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KTT Ambisi Iklim digelar untuk mendorong komitmen baru untuk mencapai target kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celsius pada 2030.
Indonesia tidak punya ambisi alias tetap dengan target pengurangan emisi 29 persen atas usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.
Pemerintah dinilai tidak berada dalam jalur yang benar untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris.
Konferensi Tingkat Tinggi Ambisi Iklim 2020 yang diselenggarakan secara online (daring) pada 12 Desember 2020 tak hanya merayakan ulang tahun kelima Perjanjian Paris (Paris Agreement). Pertemuan internasional yang diselenggarakan bersama oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, Prancis, dan Inggris serta didukung oleh Cile dan Italia itu bertujuan menyediakan ruang bagi para pemimpin pemerintah dan non-pemerintah untuk menunjukkan komitmen lebih ambisius guna menjaga laju kenaikan suhu bumi di angka 1,5 derajat Celsius pada 2030.
Menurut profesor meteorologi dan klimatologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Edvin Aldrian, pertemuan itu merupakan tindak lanjut setelah Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporan 2018 menyatakan skema sukarela yang diusulkan negara penanda tangan Perjanjian Paris sudah tidak memadai untuk memenuhi target. “Pasti akan terlewati. Pada 2020 ini saja suhu bumi naik 1,2 derajat Celsius. Maka komitmennya perlu ditingkatkan tiga kali lipat,” ujar satu-satunya ilmuwan asal Indonesia di Kelompok Kerja di IPCC itu, Jumat, 15 Januari lalu.
Dalam siaran pers, panitia KTT Ambisi Iklim 2020 menyampaikan bahwa negara-negara yang mewakili sekitar 65 persen emisi CO2 global, dan sekitar 70 persen ekonomi dunia, akan berkomitmen untuk mencapai emisi nol atau netralitas karbon pada awal tahun depan. Ada 24 negara yang mengumumkan komitmen, strategi, atau rencana baru untuk mencapai netralitas karbon, di antaranya Cina, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, dan Argentina. Bahkan ada yang berani menetapkan tahun pencapaiannya, seperti Finlandia pada 2035, Austria (2040), dan Swedia (2045).
Indonesia, yang menandatangani Perjanjian Paris pada 26 April 2016, tidak termasuk negara yang menjadi pembicara dalam KTT Ambisi Iklim 2020 itu. Pembicara dari Asia Tenggara adalah Singapura, Laos, Kamboja, dan Myanmar. “Sekitar 70 negara yang diundang sebagai pembicara. Indonesia, juga Australia, tidak ada,” ucap Adila Isfandiari, peneliti iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Sabtu, 16 Januari lalu. Penyebabnya, menurut Adila, Indonesia tidak menaikkan target pengurangan emisi alias tetap 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.
Menurut Adila, berdasarkan kajian lembaga Climate Action Tracker (CAT), target Indonesia itu jauh dari ambisius dan dikategorikan “sangat tidak mencukupi”. Menurut CAT, jika semua negara seperti Indonesia dalam target pengurangan emisi, kenaikan suhu bumi pada 2030 bisa mencapai 3-4 derajat Celsius. “Padahal target Perjanjian Paris di bawah 2 derajat Celsius, kalau bisa 1,5 derajat Celsius.”
Absennya Indonesia dalam konferensi itu menjadi tanda tanya di kalangan aktivis lingkungan saat bahaya perubahan iklim sudah sangat nyata. Menurut Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Yuyun Harmono, data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebutkan adanya peningkatan intensitas bencana hidrometrologis dalam 10 tahun ini, dari longsor, banjir, abrasi, hingga kebakaran hutan dan lahan.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pada 2020 meneliti dampak perubahan iklim terhadap garis pantai di Yogyakarta. Hasilnya, ditemukan pergeseran garis pantai akibat abrasi. Di Srandakan, Kabupaten Bantul, misalnya, pada 2001-2018 ada pergeseran garis pantai sejauh 80,1 meter. Pemicunya adalah ombak besar dan angin kencang. “Perubahan iklim membuat anomali musim,” ujar peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lapan, Amalia Nurlatifah, Senin, 11 Januari lalu.
Sukarman, warga Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, juga merasakan dampak abrasi sejak 10 tahun terakhir. “Abrasi besar-besaran terjadi dua tahun terakhir,” tutur pria 63 tahun itu, Rabu, 13 Januari lalu. Penduduk, menurut Sukarman, sempat menanam cemara udang, pandan, dan pohon kleresede sekitar 200 meter dari bibir pantai. Tapi abrasi menyeret tanaman itu ke laut. Jarak bibir pantai ke jalan yang semula 500 meter kini tinggal 150 meter.
Penelitian di Yogyakarta itu meneguhkan hasil serupa sebelumnya soal dampak krisis iklim. Menurut peneliti dari Kelompok Keahlian Geodesi Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas, perubahan iklim ini antara lain menyebabkan naiknya permukaan air laut, banyaknya rob, dan menguatnya abrasi di sepanjang pantai utara Jawa. Hal ini diperparah oleh penurunan tanah. Penyebabnya beragam, dari pengambilan air tanah besar-besaran, pengeboran minyak dan gas, hingga faktor alam seperti tektonis.
Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Aan Johan Wahyudi, mengatakan naiknya permukaan air laut di Indonesia berkisar 0,6-1,2 sentimeter per tahun. Karena kecil, kenaikan itu memang tidak terlalu terasa. “Di Indonesia belum ada laporan pulau hilang atau tenggelam. Mungkin ada, cuma kita tidak tahu,” ujarnya, Rabu, 30 Desember 2020.
Selain target penurunan emisi yang tidak ambisius, pemerintah dikritik karena kebijakannya kurang sejalan dengan komitmen Perjanjian Paris. Menurut Adila, sektor energi diketahui sebagai penyumbang terbesar gas rumah kaca. IPPC, menurut Adila, merekomendasikan penutupan 80 persen pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara pada 2030. Namun Indonesia malah memilih sebaliknya. “Sekarang saja 63 persen pembangkit listrik dari batu bara,” ucapnya. Hal ini akan terus berlangsung karena pemerintah akan membangun PLTU batu bara baru.
Yuyun juga menyoroti kebijakan lain, yakni tidak dimasukkannya izin lingkungan dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan adanya perpanjangan konsesi batu bara dalam Undang-Undang Mineral dan Batu Bara yang baru. Termasuk juga rencana pembangunan food estate yang akan menambah pelepasan emisi. Sebenarnya ada kebijakan sektor kehutanan yang cukup menggembirakan, yaitu moratorium izin di hutan primer dan izin kebun kelapa sawit. Dia berharap moratorium itu tak hanya berlangsung tiga tahun, melainkan 25 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law Raynaldo Sembiring mengatakan salah satu masalah kebijakan iklim kita adalah kontradiksi kebijakan. Di satu sisi, pemerintah melakukan moratorium sawit dan semacamnya, tapi ada kebijakan baru yang menyulitkan pencapaian target pengurangan emisi. “Terlalu berat pada pertumbuhan ekonomi,” katanya. “Dalam wawancara dengan BBC, Presiden Joko Widodo mengatakan lingkungan bukan prioritasnya,” ujar Raynaldo.
Edvin juga menyebutkan soal kebakaran lahan sebagai masalah terbesar Indonesia dalam krisis iklim. Pengajar di Universitas Indonesia dan IPB University ini juga menyoroti dominasi batu bara dan masih kurang maksimalnya pemanfaatan energi bersih, seperti panas bumi, surya, dan bayu. Ia mengingatkan bahwa dunia bergerak ke ekonomi hijau. “Kalau Indonesia tak bergerak mengikuti, bisa ketinggalan kereta,” ucapnya.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman tidak menjawab pertanyaan yang dikirim Tempo pekan lalu. Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup Nunu Anugrah juga tidak menjawab pertanyaan yang disampaikan. Dalam diskusi Pojok Iklim secara daring pada 7 Januari lalu, Ruandha mengatakan, “Indonesia sudah menyusun update NDC walaupun angkanya tidak secara nominal naik. Tapi di sana dijelaskan bagaimana secara realistis dan logis capaian-capaian dari aksi adaptasi dan mitigasi itu bisa dicapai, walaupun angkanya tidak kita naikkan.”
Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sarwono Kusumaatmadja mengatakan Indonesia memang tidak ikut dalam KTT Ambisi Iklim. Dia mengakui bahwa target Indonesia kurang ambisius, terutama di sektor energi. Namun Sarwono yakin akan ada perubahan karena perkembangan mobil listrik dan negara penghasil minyak dunia (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) yang mulai beralih strategi ke energi terbarukan. “Bahan minyak bumi sudah tidak ekonomis lagi. Ongkos penyimpanannya lebih mahal dari harga jual. Jadi pembangkit listrik tua akan mengalami transformasi,” katanya, Senin, 11 Januari lalu.
ABDUL MANAN, PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA), ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo