Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Lima Sketsa Perihal Karantina

Lima sutradara menyuguhkan lima film pendek bertema situasi wabah yang sedang kita hadapi. Quarantine Tales merekam rupa-rupa pengalaman masa pandemi dan bagaimana manusia berhadapan dengan teknologi.

 

16 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Verdi Solaiman dalam Cook Book oleh Ifa Isfansyah. bioskoponline.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMBARI menemukan cara hidup baru di tengah berjangkitnya wabah, sebagian dari kita berupaya merekam dan mengisahkan situasi asing ini dengan beragam cara. Bagi Dian Sastrowardoyo, Jason Iskandar, Ifa Isfansyah, Aco Tenri, dan Sidharta Tata, cara itu adalah membuat film pendek tentang orang-orang yang di/terkarantina. Ada lima sutradara, maka ada lima pula sudut pandang dalam mendefinisikan situasi terisolasi. Tak semua secara terang-terangan menyebutkan perihal kondisi Covid-19, tapi masing-masing berusaha menghadirkan rupa pengalaman saat aktivitas sehari-hari dibatasi dan kita menjadi sangat bergantung pada teknologi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima sutradara itu berkumpul untuk sebuah omnibus berjudul Quarantine Tales yang dapat disaksikan sejak Desember 2020 lewat platform menonton film daring, Bioskop Online. Melihat secara berurutan karya Dian, yang baru pertama kali menjadi sutradara, lalu Ifa, yang punya jam terbang tinggi, hingga nama-nama menjanjikan yang telah malang-melintang memproduksi film pendek menjadi pengalaman menarik. Reaksi pertama barangkali adalah membandingkan mana yang paling unggul secara teknis dan plot. Namun kesadaran yang muncul berikutnya adalah betapapun kondisi terkungkung yang sedang kita hadapi sama, kekuatan hantamannya terhadap setiap orang tak pernah setara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adegan dalam Nougat arahan Dian Sastrowardoyo. bioskopnoline.com

Bagi Halim (Verdi Solaiman), dalam episode Cook Book yang disutradarai Ifa Isfansyah, hari-hari sendiri dan sepi menyebabkan trauma yang puluhan tahun dia represi kembali muncul ke permukaan memori. Untuk keluarga Adin (Arawinda Kirana) yang papa dalam Happy Girls Don’t Cry arahan Aco Tenri, pandemi berarti raibnya sumber penghasilan dan membuat mereka makin rudin. Sedangkan bagi tiga kakak-adik dari keluarga mapan seperti Ubay, Ajeng, dan Denok dalam film Nougat (oleh Dian Sastrowardoyo) yang membuka antologi ini, situasi tak dapat bertemu langsung hanya membuat mereka makin sering berantem yang dapat segera reda dengan makan es krim.

Kisah tiga saudari dalam Nougat dimulai sepuluh tahun lalu. Jauh sebelum hari-hari rutin diisi dengan rapat demi rapat virtual seperti saat ini, Ubay, Ajeng, dan Denok telah terbiasa berkomunikasi hanya lewat aplikasi online. Setelah orang tua mereka meninggal, pertemuan makin jarang dan mereka makin renggang. Adegan percakapan virtual mereka dapat melompat beberapa tahun, diperlihatkan dengan perubahan gaya dandan atau status masing-masing. Konflik sudah bermula sejak panggilan video pertama dan menajam pada tahun-tahun berikutnya. Permasalahan keluarga yang muncul dalam Nougat sesungguhnya dapat terjadi kapan saja, tak spesifik hanya karena situasi pandemi.

Film ini sebagian besar menyajikan gambar dari tangkapan layar saat ketiga saudari itu bercakap lewat Skype, panggilan video WhatsApp, lalu belakangan Zoom. Ada sedikit sensasi klaustrofobia yang hadir karena kita tak dapat leluasa melihat ruang. Hanya wajah dari jarak dekat Marissa Anita, Ardinia Wirasti, dan Faradina Mufti yang banyak kita saksikan. Kekuatan ekspresi menjadi penting dan ketiga aktris tersebut cukup berhasil mengirimkan emosi lewat kerut wajah semata. Namun, karena adegan demi adegan sangat bergantung pada interaksi singkat dan terbatas setiap kali berlangsung video call, banyak penjelasan tak perlu tentang latar belakang apa, siapa, dan bagaimana yang terselip dalam dialog mereka. Dalam situasi tertentu, sulit dipercaya bahwa percakapan yang tak lancar ini terjadi antar-saudara kandung.

Happy Girls Don’t Cry arahan Aco Tenri.

Film kedua juga tak menghadirkan persoalan yang unik tersebab wabah Covid-19. Prankster oleh Jason Iskandar adalah sorotan pada tren prank di media sosial dan profesi masa kini (YouTuber, food vlogger, influencer) yang dihadirkan lewat warna-warni terang dan ornamen digital penuh gaya. Di antara hujan istilah dan simbol media sosial, Jason hendak menyampaikan dampak ironis dari tren mengerjai orang lewat interaksi YouTuber Didit Iseng (Roy Sungkono) dan Aurel (Windy Apsari). Ada ketegangan ala genre thriller. Film ini menarik sebagai kritik atas hal-hal yang menjadi perhatian publik pada era media sosial, tapi konsekuensi yang muncul terlalu dilebih-lebihkan.

Cook Book oleh Ifa Isfansyah adalah yang paling puitis dalam omnibus ini. Seorang koki menghabiskan hari-hari karantina dengan menulis buku resep. Kita dapat menikmati visual Halim memasak, memotret masakannya, lalu menempelkan foto-foto itu di sebuah jurnal klasik yang dilengkapi tulisan tangan. Sesekali dia berbincang dengan editornya secara virtual. Permulaan yang terkesan damai ini mendadak berubah menjadi drama akhir zaman saat Halim dihubungi oleh seorang perempuan misterius yang berkeras bahwa hanya mereka berdua manusia yang tersisa di muka bumi dan mereka mengemban tanggung jawab untuk menjaga kelangsungan spesies. Kenyataan dan imajinasi bercampur baur. Cook Book berakhir dengan ingatan menyakitkan akan luka terpendam yang dipicu oleh situasi kesendirian karena karantina berkepanjangan.

Prankster oleh Jason Iskandar.

Aco Tenri memberikan sajian paling baik di antara sutradara lain. Happy Girls Don’t Cry membalut kemiskinan dengan komedi yang memang memancing tawa, tapi terasa pahit di pangkal lidah. Aco menjatuhkan pendaran indah neon hijau, merah, biru, di atas rumah kumuh dan gang sempit. Animasi sederhana bergerak-gerak di sepanjang tembok kotor penuh coretan. Lalu muncul Adin, remaja perempuan yang akrab dengan YouTube. Ada interaksi yang mengalir tak dibuat-buat antara Adin bersama sang ayah (Teuku Rifnu Wikana) dan ibu (Marissa Anita) di rumah mereka yang kecil mungil. Ketika keluarganya yang miskin jadi makin miskin karena pandemi, Adin tiba-tiba memenangi iMac dari giveaway YouTube. Dengan jenaka sekaligus memilin hati, Happy Girls memperlihatkan bahwa kemiskinan tak serta-merta hilang hanya dengan bantuan sekali waktu. Pengujung film ini memastikan hal itu.

Abdurrahman Arif dalam The Protocol arahan Sidharta Tata dalam Quarantine Tales. bioskoponline.com

Penutup parade adalah The Protocol dari Sidharta Tata. Episode ini hadir dalam nuansa warna kelam seperti adegan-adegan apokalips film Hollywood. Seorang perampok (Abdurrahman Arif) terjebak dengan mayat rekannya yang mati mendadak karena batuk dan sesak napas (sangat mungkin Covid-19). Ada unsur horor sekaligus komedi saat dia berusaha menyingkirkan mayat itu. Film ini ditutup dengan pesan lantang untuk mematuhi “protokol”. Namun plot menjadi tak menarik ketika jump scare muncul berulang sepanjang cerita.

Setiap sineas dalam Quarantine Tales dipastikan membuat karya dalam situasi isolasi yang serba membatasi. Kondisi itu ternyata membuka kemungkinan penceritaan dan teknik penyampaian yang baru dalam perfilman kita. Lima perspektif berbeda juga memberi penonton kesempatan untuk dapat merasa terhubung dengan karakter yang paling dekat dengan situasinya kini. Di masa depan, barangkali kita akan menengok lagi film ini dan merasa lega karena masa-masa yang terekam di dalamnya telah bisa kita lalui.

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA

 

Quarantine Tales

Sutradara:
Dian Sastrowardoyo, Jason Iskandar, Ifa Isfansyah, Aco Tenri, Sidharta Tata

Pemain:
Adinia Wirasti, Marissa Anita, Faradina Mufti, Windy Apsari, Verdi Solaiman, Arawinda Kirana, Muzakki Ramdhan

Produksi:
BASE Entertainment

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus