Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menetapkan agroforestri atau sistem budidaya Salak Bali sebagai warisan pertanian dunia. Tanaman tersebut dinilai memilki arti penting bagi pertanian global. Sistem tanamnya, menurut FAO, menunjukkan keanekaragaman hayati serta praktik pengetahuan yang berkelanjutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian, Mochamad Arief Cahyono, mengatakan menyebut sektor pertanian sangat strategis karena bisa menyangkut segala aspek, termasuk sejarah. "Pertanian kita memiliki ragam komoditas, yang kalau kita kembangkan, mampu memiliki aspek lain seperti peningkatan ekonomi, daya saing, dan warisan sejarah," katanya melalui keterangan tertulis, Selasa, 24 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan masuknya agroforestri Salak Bali, ada 89 sistem budidaya dari 28 negara yang masuk dalam daftar warisan pertanian global versi FAO. Lembaga ini juga baru mencantumkan sistem budidaya kolam ikan karper di Australia, serta sistem agroforestri kakao di Sao Tome dan Principe ke dalam daftar tersebut.
Penetapan itu merupakan hasil rapat kelompok penasehat ilmiah Globally Important Agricultural Heritage System (GIAHS) pada Kamis, 19 September 2024. Lanskap penanaman snake fruit—sebutan lain Salak Bali karena tekstur kulitnya yang mirip dengan kulit ular—dianggap memiliki nilai-nilai kebudayaan dan praktik-praktik ketahanan pangan.
Sebagai informasi, setiap bagian dari pohon Salak Bali bisa dipakai untuk berbagai keperluan, sehingga pemanfaatannya nyaris tanpa limbah. Efisiensi ini menjadi salah satu alasan penetapan agroforestri Salak Bali sebagai warisan dunia. Masyarakat di Pulau Dewata juga menerapkan agroforestri untuk mangga, pisang, dan tanaman obat lainnya.
Pemakaian subak, skema pengairan tradisional di Bali, dalam agroforestri tersebut dinilai mampu meningkatkan keamanan pangan. Sistem itu juga menyimbolkan nilai-nilai sosial dan warisan budaya lokal, sehingga memiliki nilai tinggi dari sisi keberlanjutan.
Sistem agroforestri di Karangasem, wilayah terkering di pulau Bali, mengintegrasikan budidaya buah salak dengan beragam tanaman. Sistem ini dikembangkan oleh masyarakat adat Bali menggunakan sistem subak tradisional dalam pengelolaan air.