Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tersebutlah pemulung sampah bernama Johannes Musu. Ia mungkin pemulung paling kaya-raya di Indonesia: tinggal di kawasan elite di Kelurahan Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ke mana-mana, ia mengendarai mobil pribadi.
Setiap pagi Musu, 72 tahun, mendatangi dua warung tegal di dekat rumahnya di Jalan Lamandau 2 untuk mengambil sampah. Biasanya ia mulung sembari lari pagi. ”Tapi kadang-kadang saya bawa mobil agar tidak dianggap pemulung sejati,” ujarnya kepada Tempo sambil terkekeh.
Pensiunan pejabat Departemen Pertambangan ini jadi pemulung sejak enam bulan lalu, setelah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT) memberikan penyuluhan cara mengubah sampah rumah tangga menjadi kompos di kelurahannya. Kelurahan ini adalah wilayah percontohan pengelolaan sampah mandiri yang digagas badan itu. Sungguh pandai BPPT menyuluh, hingga ia kontan tergoda untuk mempraktekkannya. Siapa yang tak tergiur bujuk rayu badan ini?
Di kelurahannya setiap tahun uang ratusan juta rupiah bisa dihemat jika warga secara kolektif mengelola sampah menjadi kompos. Di Jakarta uang yang bisa diselamatkan lebih besar lagi—ratusan miliar!
Selama ini sampah di Kramat Pela diurus CV Raseuki Berata, salah satu rekanan Dinas Kebersihan Jakarta. Sampah dibuang ke tempat pembuangan akhir di Bantar Gebang, Bekasi. Setiap hari perusahaan ini mengklaim mengangkut 100 meter kubik sampah, sungguhpun menurut Lurah Kramat Pela, Suparman, warganya paling banter menghasilkan 50 meter kubik per hari. Untuk setiap meter kubik sampah perusahaan mendapat bayaran Rp 26 ribu—Rp 2,6 juta per hari atau Rp 949 juta setahun.
Jika warga secara kolektif memanfaatkan sebagian limbah rumah tangga, ”yang diangkut CV Raseuki bisa berkurang 50 persen,” ujar Suparman. Ini artinya, untuk Kramat Pela saja bisa dihemat sekitar Rp 475 juta per tahun.
Bayangkan jika warga seluruh Jakarta mengelola sampahnya. Setiap hari volume sampah Ibu Kota sekitar 6.000 ton, yang 60 persennya berupa sampah dapur yang bisa dijadikan kompos. Ketua Komisi Sampah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta Sayogo Hendrosubroto mengatakan, untuk mengurus sampah ini, pemerintah daerah sedikitnya mengeluarkan Rp 600 miliar per tahun. Jika 50 persen sampah bisa ditangani warga seperti hitung-hitungan Suparman, per tahun bisa dihemat Rp 300 miliar, cukup untuk menyekolahkan semua anak di Jakarta. Hitung juga keuntungan yang diperoleh dari kompos, baik uang atau perbaikan kualitas lingkungan.
Begitu penyuluhan BPPT usai, Musu pun memborong enam ember plastik bekas wadah cat untuk tempat pengompos. Ia tentu saja tak berharap mendapat uang dari kegiatannya. Niatnya sesederhana ini: menjadi bagian dari gerakan kolektif warga, yang bisa memberikan keuntungan kolektif hingga ratusan miliar itu.
Awalnya ia hanya menerima sampah dari para tetangga. Setiap rumah menyetor maksimal seperempat kilogram per hari. Karena pasokan itu kurang banyak, ia pun berlangganan sampah dari dua warung tegal. Hasil pengomposan ia kembalikan ke tetangganya, selain dipakai untuk menyuburkan ta-naman hias di rumah.
Bukan Musu seorang yang termakan bujuk rayu BPPT. Bahkan Alfred Hilton Marpaung yang tinggal di kompleks Peruri melakukan pengomposan skala besar dengan memanfaatkan taman telantar seluas 100 meter persegi. Setiap hari, dua pekerjanya mengambil sampah dari Pasar Kembang Barito. Kalau kurang, keduanya mencari ke Pasar Kebayoran Lama. ”Gaji mereka sesuai dengan upah minimum regional,” kata Marpaung.
Kini pria berusia 60 tahun ini sudah mengumpulkan 35 karung kompos yang siap dijual. Komposnya juga dipakai untuk pembibitan ratusan tanaman hias yang diusahakan bersama istri.
Datanglah ke Pasar Kembang Barito di kelurahan ini. Ratusan pedagang di sana pekan depan sudah akan mengoperasikan empat bak pengompos. ”Warga yang tinggal di daerah ’kumis’ juga ikut gerakan ini,” kata Suparman kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
”Kumis”, kata Pak Lurah, kependekan dari kumuh dan miskin. Perkampungan ini sepelemparan batu saja dari pusat perbelanjaan Blok M. Rumah warga berdempetan persis kue rangi, makanan khas Betawi. Pada musim hujan, jalan yang cuma bisa dilewati sepeda motor kerap terendam air setinggi dengkul.
Murkhali dan Wasih tergerak mengomposkan sampah di wilayah kumis ini. Jika kita mengunjungi rumah Murkhali, Ketua RT 008 RW 02, di sana berjejer puluhan pot tanaman hias bernilai tinggi seperti adenium dan aglonema. Tanaman itu menggunakan kompos yang selama tiga bulan ini diolah di halamannya. Wasih, tetangga Murkhali, menggunakan komposnya untuk menanam cabe.
Sayang, ujar Suparman, sejauh ini hanya sedikit warga yang sudah mengikuti jejak Musu, Murkhali, dan Marpaung. Padahal, sejak pertengahan tahun lalu kelurahan tak henti melakukan sosialisasi, selain memberikan media pengomposan dari ember plastik mela-lui para Ketua RT. Toh, Pak Lurah optimistis gerakan memasyarakatkan kompos bakal berhasil. Tapi ia merasa kampanye sampahnya bakal lebih mudah jika mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah.
Dukungan ini sepertinya bakal sukar diperoleh Suparman. Sayogo menengarai ada adu kepentingan antara pemasyarakatan kompos dan pengusaha sampah, karena bisnis ini menggiurkan. ”Sampah sudah menjadi proyek ratusan miliar rupiah,” ujarnya. Padahal, jika diseriusi, cara ini terbukti efektif mengurangi volume sampah yang harus diangkut ke tempat pembuangan. Tengoklah Bandung, Jawa Barat.
Sempat mendapat julukan Bandung Lautan Sampah pada awal tahun lalu, kini tumpukan sampah di jalan tidak tampak lagi karena warga turut aktif mengolah sampah. Sejak bulan lalu pemerintah kota Bandung bahkan menguji coba pengelolaan sampah terpadu di Pasar Ciroyom. Enam petugas langsung mencacah sampah organik yang dibuang pedagang, lalu mengirimnya ke Pasir Impun dan Jatinangor. ”Untuk dijadikan kompos,” kata Agus Setiawan, Kepala Urusan Pasar PD Kebersihan Kota Bandung.
Mestinya Jakarta bisa meniru Bandung. Anggaran untuk program ini tak jadi soal, karena ringan di kantong. Bahkan iuran sampah warga Rp 3.000 per bulan per keluarga tak bakal habis dipakai.
Di Kramat Pela yang dihuni sekitar 7.000 keluarga, misalnya, bisa dikumpulkan dana sampah sebesar Rp 21,7 juta per bulan. Menurut Lusina Waluyati, peneliti BPPT, Rabu pekan lalu, pada skala rumah tangga biaya yang dibutuhkan untuk program pengomposan cuma Rp 97.500 per rumah. Dana itu untuk membeli media untuk membuat kompos. Jangan dibayangkan ini sebuah mesin, karena cukup gentong plastik atau bekas tempat cat ukuran 20 liter yang diberi lubang.
Untuk skala lebih besar, misalnya se-RT, dana yang diperlukan Rp 17,3 juta per tahun. Ini untuk membangun wadah pengomposan yang lebih besar berupa kotak-kotak persegi panjang dari batu bata dan semen.
Kepala Dinas Kebersihan Jakarta, Eko Baruna, menepis tuduhan pemerintah daerah tidak mendukung program pengomposan di tingkat kelurahan. Sebagai bukti, pemerintah Jakarta tengah membuat proyek percontohan pengelolaan sampah di Universitas Indonesia pada lahan 1,9 hektare. Namun, entah siapa warga Jakarta yang bisa mencontoh proyek di lahan berhektare-hektare ini.
Jelaslah itu bukan untuk warga Jakarta atau bahkan Musu—pemulung sampah paling kaya di Indonesia—yang melakukan pengomposan cuma di enam ember plastik saja.
Untung Widyanto, Rana Akbari Fitriawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo