Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA foto bertengger di dinding ruang nomor 504 di gedung Nusantara, kompleks DPR, Jakarta. Pada foto itu anggota DPR Agung Sasongko berpose dengan sejumlah perempuan Papua. Para perempuan berambut ikal itu terlihat topless alias bertelanjang dada. ”Itu saat saya melakukan kunjungan kerja pada Februari tahun lalu,” kata Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi ini kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Sembari menunjuk foto tersebut, Agung mengingatkan keragaman budaya yang harus dijaga dalam menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi dan Pornoaksi. Sikap itu pula yang dibawanya dalam rapat tim perumus pada 11 Januari lalu. Para peserta rapat akhirnya berkompromi: judul ”RUU Antipornografi dan Pornoaksi” dirontokkan, diubah menjadi ”RUU Pornografi”.
Kompromi ini merupakan terobosan terbaru pembahasan RUU Antipornografi sejak Februari 2006. Sejak itu pula, di masyarakat muncul pendapat yang pro dan kontra. Sepanjang Maret-April tahun lalu, misalnya, unjuk rasa yang mendukung dan menentang RUU bergantian meledak di sejumlah kota. Pemerintah Provinsi Bali bahkan mengancam akan menolak RUU itu jika disahkan jadi Undang-Undang. Belakangan Balkan Kaplale, Ketua Panitia Khusus RUU, menyatakan akan melakukan revisi. Kritik keras pun mereda.
Sejak awal sikap sejumlah fraksi di Panitia Khusus sebenarnya sudah terbelah. Salah satunya menyangkut nama RUU tersebut. Partai Persatuan Pembangunan mengusulkan nama RUU Antipornografi dan Pornoaksi, sedangkan PDI Perjuangan mengusulkan RUU Pengaturan Barang Pornografi. Perdebatan pemilihan nama itu selalu berjalan panas. ”Dari 12 kali rapat tim perumus, cuma sekali yang memenuhi kuorum,” kata anggota Panitia Khusus dari PDI Perjuangan, Ni Gusti Ayu Sukmadewi Djakse.
Pada Juli tahun lalu lobi-lobi antarfraksi mulai membuahkan hasil. Saat pembahasan di Kopo, Cisarua, Jawa Barat, dicapai kesepakatan membuang kata ”anti” dalam RUU Antipornografi dan Pornoaksi. Lantas disepakati dua nama pilihan: RUU Pornografi atau RUU Pornografi dan Pornoaksi. Pada akhir tahun lalu tim perumus juga merevisi isi pasal dalam RUU itu. Perubahan isi pasal berdasarkan daftar inventaris masalah yang diajukan tiap fraksi. Maka, RUU ini pun jadi ramping. Jumlah pasal yang semula 93 kini menciut jadi 45.
Hasil kerja selama setengah tahun itulah yang pada 11 Januari lalu dibahas tim perumus di DPR. Rapat yang dimulai pukul 10.00 baru berakhir empat jam kemudian. Hasilnya, ya itu tadi, disepakati namanya RUU Pornografi. Adapun pasal-pasalnya akan dibahas lebih lanjut. ”Kami bisa menerima kata pornoaksi tak ada di judul, tapi substansi harus ada dalam pasal-pasal,” kata anggota Fraksi PPP, Sulaeman Fadeli.
Menurut seorang anggota PDIP yang enggan disebut namanya, perdebatan menyepakati nama RUU itu berlangsung sangat alot. Terbentuk dua kubu yang sama-sama mempertahankan pendapat masing-masing. Kubu PPP, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bintang Pelopor Demokrasi, dan Partai Demokrat di satu pihak, PDIP, Golkar, Partai Amanat Nasional, dan PDS (Partai Damai Sejahtera) di kubu lainnya. Adapun Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Bintang Reformasi tidak hadir dalam rapat itu. ”Tapi, kalau voting, kami yakin menang,” kata sumber itu.
Nah, untuk mengakomodasi kepentingan partai-partai yang tetap ngotot meminta masuknya kata pornoaksi, rapat memutuskan membentuk tim perunding. Tim ini terdiri dari tiga orang dan diketuai Profesor Tamburaka dari Fraksi Golkar. Dalam rapat pada 18 Januari lalu tim tersebut menyampaikan empat pasal tentang pornoaksi yang dimasukkan ke RUU Pornografi.
Tiurlan Hutagaol, anggota Panitia Khusus dari Partai Damai Sejahtera, mengakui pasal-pasal tentang pornoaksi merupakan hal paling krusial dalam pembahasan RUU ini. Kendati demikian, kata Tiurlan, Fraksi PDS tak mempermasalahkan pasal-pasal tersebut sejauh mengatur perbuatan yang jelas-jelas melanggar susila.
Menurut Sulaeman Fadeli, kompromi yang dilakukan PPP memang berkaitan dengan pasal-pasal pornoaksi. Kata ”pornoaksi” boleh hilang sebagai judul RUU, tapi di dalam RUU itu tetap ada. Pasal-pasal pornoaksi, kata Sulaeman, harus ada karena keadaan sekarang sudah mengkhawatirkan. ”Kita sudah ditegur dengan tsunami, gempa Yogya, dan musibah kapal Senopati serta Adam Air. Masak, kita tidak sadar,” katanya. Ia berharap fraksi lain menghargai pendirian partainya. ”Jika perjanjian itu dicederai, kami keluar dari Panitia Khusus,” katanya.
Berubahnya judul RUU ini disambut lega Ratna Batara Munti, Koordinator Jaringan Prolegnas Perempuan. Kendati demikian, Ratna melihat rancangan yang baru ini tetap banyak kelemahannya. ”RUU ini kurang mengatur soal kejahatan pornografi serta pengaturan barang yang dikategorikan pornografi,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Apik ini.
Ratna menunjuk sejumlah kelemahan draf terakhir RUU tersebut. Definisi pornografi serta adanya pembagian pornografi ringan dan berat, misalnya, dinilainya tidak jelas. ”Sangat berpotensi menjadi multitafsir dalam pelaksanaannya,” katanya. Demikian juga tentang pertunjukan kesenian yang hanya boleh digelar di tempat tertentu dan harus seizin pemerintah. Menurut Ratna, aturan ini merugikan seniman dan sekaligus mengekang kreativitas.
Kendati sudah diperbaiki, RUU ini agaknya memang akan berpotensi memancing kontroversi. Tapi Agung Sasongko menjamin pihaknya akan berhati-hati dan tidak tergesa-gesa menyelesaikan RUU ini. ”Hasil rapat tim perumus ini masih akan dibahas dalam sidang pleno panitia khusus,” ujarnya. Jika Panitia Khusus oke, DPR akan meminta Presiden mengeluarkan amanat presiden yang berisi penunjukan partner pemerintah dalam membahas RUU ini.
Kepada Tempo, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Abdul Wahid, menyatakan pihaknya sampai kini memang menunggu perkembangan RUU itu di DPR. ”Kami siap membahasnya,” ujarnya.
Abdul Manan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo