Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GARTONO tak bisa menyimpan kekesalannya. Dua bulan sudah gugatannya masuk ke Pengadilan Negeri Bogor, tapi hingga saat ini pengadilan belum juga bisa mengumpulkan pihak yang digugatnya. Selasa 23 Januari lalu, setelah membuka sidang sekitar sepuluh menit, ketua majelis hakim Binsar Pakpahan langsung mengetukkan palu menyatakan sidang ditunda lantaran Duta Besar Amerika Serikat, B. Lynn Pascoe, tak hadir. ”Saya kecewa, secara psikologis ini bisa meruntuhkan semangat teman-teman,” ujar Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Kabupaten Bogor tersebut.
Jika pengadilan sulit mengumpulkan yang digugat Gartono, bisa jadi karena para tergugat itu bukan ”orang kebanyakan”. Bayangkan, selain Duta Besar Amerika, yang digugat Gartono adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Panglima TNI Marsekal TNI Djoko Suyanto, dan Kepala Polri Jenderal Sutanto.
Inilah buntut kedatangan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush ke Bogor pada 20 November lalu. Menurut Gartono, sebagai warga Bogor, ia dan 17 rekannya yang mengajukan gugatan itu mengalami kerugian moril maupun materiil akibat kedatangan Bush. ”Dan keempat tergugat itu harus bertanggung jawab,” ujarnya. Bisa dibilang, inilah untuk pertama kalinya Presiden digugat lantaran urusan menerima tamu negara. ”Kami mencegah supaya Presiden SBY tidak menjadi diktator,” ujar Gartono.
Suasana Bogor memang berubah drastis kala kunjungan Bush. Saat itu, tak kurang dari 11.000 aparat TNI dan polisi bersenjata lengkap diterjunkan ke seantero Bogor. Sembilan jalan protokol di seputar Istana Bogor—tempat Bush bertemu SBY—dinyatakan tertutup dari pukul 06.00 sampai 22.00. Penjagaan di wilayah yang masuk ring satu superketat. Di sini, selain dijaga pasukan TNI dengan senjata siap tempur, sejumlah kanon air disiagakan di sejumlah sudut jalan.
Akibat penutupan jalan tersebut, sejumlah sekolah meliburkan siswanya. Ratusan angkutan kota juga berhenti beroperasi, hingga membuat banyak penduduk Bogor tak bisa bekerja. Kantor Gartono juga tutup lantaran berada di Jalan Ahmad Yani, yang masuk ring satu. ”Kondisi Bogor seperti perang, warga Bogor sendiri tidak bisa masuk Bogor,” ujarnya.
Sehari setelah perhelatan yang menghebohkan itu, Gartono didatangi sejumlah kelompok masyarakat. ”Ada dosen, mahasiswa, karyawan, pedagang, pengamen...,” ujarnya. Semua tamunya punya keluhan sama. Mereka, ujar Gar-tono, dirugikan dengan kedatangan Presiden Amerika itu. ”Karena itu, kami lalu sepakat menggugat Presiden hingga Kapolri,” ujarnya. Delapan belas orang menyatakan siap ”bertempur” di meja hijau dan Gartono bertindak sebagai koordinator.
Kendati diajukan ramai-ramai, gugatan Gartono dan kawan-kawan bukan gugatan class action. Gartono punya pengalaman tak sedap dengan gugatan model class action. Pada 2002 ia menggugat secara class action Menteri Agama Said Agil Husin Al-Munawar lantaran mengaduk-aduk Prasasti Batu Tulis untuk mencari harta karun. ”Di pengadilan, urusannya ruwet. Kami ditanya mewakili siapa dan disuruh menghadirkan anggotanya,” ujarnya. ”Jadi, gugatan kepada Presiden ini bersifat perorangan, namun esensinya mewakili berbagai golongan.”
Dalam gugatannya, para penggugat menuding Presiden SBY melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Presiden dinilai melanggar Pasal 9 dan 27 Undang-Undang HAM yang, antara lain, menyatakan setiap warga negara Indonesia berhak secara bebas bergerak dan berpindah dalam wilayah Republik Indonesia. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, ujar penggugat, digugat karena bersama Presiden Yudhoyono ikut merancang dan mengatur pengamanan terhadap Bush yang hasilnya merugikan warga Bogor. Adapun Panglima TNI dan Kapolri, keduanya bertanggung jawab atas model pengamanan yang berlebihan yang justru seperti menteror warga Bogor.
Menurut para penggugat, keberadaan aparat TNI kala kunjungan Presiden Bush itu juga melanggar undang-undang. Menurut Gartono, sesuai dengan Undang-Undang No. 34/2004 tentang TNI, tugas pokok TNI berperang atau membantu polisi menjaga ketertiban. ”Tapi, kenyataannya, di lapangan mereka dominan, lebih banyak dari polisi sehingga menciptakan suasana seram, seperti akan kudeta,” ujarnya.
Kendati yang digugat para petinggi negeri, nilai gugatan yang diajukan Gartono sangat kecil, hanya Rp 132 ribu. Jumlah itu meliputi kerugian imateriil Rp 42 ribu dan kerugian materiil masing-masing penggugat Rp 5.000. ”Kami hanya minta segitu karena selain hanya untuk memenuhi ketentuan hukum, kami tahu utang negara kepada IMF dan Bank Dunia masih besar,” ujar Gartono.
Kendati gugatan itu sudah masuk Pengadilan Negeri Bogor sejak 22 November 2006 lalu, toh sidang pertama gugatan itu baru dibuka 9 Januari lalu. Sidang pertama itu juga ditunda lantaran dua tergugat, Presiden SBY dan Lynn Pascoe atau yang mewakili mereka, tak datang. Nah, pada sidang dua pekan lalu itu, peristiwa serupa terulang. Kali ini yang tak datang Lynn Pascoe. Dihubungi Tempo Rabu pekan lalu, juru bicara Kedutaan Besar Amerika Serikat Max Kwak menolak berkomentar. ”No comment, itu wewenang pemerintah Indonesia,” ujar Kwak.
Salah satu anggota hakim yang mengadili ”kasus kunjungan Bush” ini, Gede Aryawan, menyatakan pengadilan Bogor sebenarnya sudah mengirim surat panggilan sidang kepada Lynn Pascoe pada pertengahan Desember silam. Panggilan itu dikirim lewat Departemen Luar Negeri. Pekan lalu untuk kedua kalinya pengadilan mengirim surat panggilan sidang untuk sang duta besar. ”Sesuai dengan prosedur, kali ini kami memanggilnya lewat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujar Gede.
Untuk menghadapi gugatan warga Bogor itu, SBY sudah menunjuk Kejaksaan Agung sebagai kuasa hukumnya. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh memerintahkan Direktur Perdata dan Tata Usaha Negara Yosep Suardi Sabda dan Kepala Sub-Direktorat Perdata Johan Tanak untuk melayani gugatan 18 warga Bogor tersebut.
Kepada Tempo, Johan Tanak menegaskan penyambutan terhadap Presiden Bush pada November lalu itu merupa-kan kebijakan pemerintah dan sudah sesuai dengan aturan. ”Semuanya sesuai dengan protokoler, tidak mungkin Presiden bertindak sendiri,” ujarnya. Menurut kuasa hukum Presiden ini, ketatnya pengamanan yang dilakukan aparat TNI adalah demi menjaga keselamatan tamu negara dan menjaga nama baik negara. ”Tak ada pelanggaran hukum apa pun yang dilakukan Presiden,” ujar Johan Tanak.
L.R. Baskoro, Sunariah, Deffan Purnama (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo