Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bertukar Batu dengan Bunyi

Memet Chairul Slamet menggali musik pada batu dengan menabrak tatanan musik konvensional. Membebaskan musik dari nada.

2 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada nada. Hanya ketukan berulang-ulang dan sahut-menyahut pada batu yang dimainkan enam pemusik di panggung kecil itu. Tiga pemain memukul-mukul bilah-bilah batu yang disusun di atas sebuah kotak dari batu. Pukulan mereka saling susul. Tiga lainnya, yang memainkan instrumen musik dari batu-batu yang digantung, menyambutnya dengan ketukan-ketukan pada batu-batu berbeda ukuran itu.

Ketukan-ketukan yang bertukar giliran itu makin dinamis, tapi mendadak sunyi pada puncaknya. Hening sesaat. Sepi itu disambut bunyi batu-batu yang digesekkan pada landasannya. Kembali para pemain bergantian memainkan gesekan-gesekannya, yang lalu berubah jadi ketukan kembali.

Itulah permainan musisi Yogyakarta, Memet Chairul Slamet, dalam pertunjukan Menunggu Batu Bernyanyi di Bentara Budaya Jakarta, Selasa malam pekan lalu. Pertunjukannya kali ini didukung para pemusik Gangsadewa, kelompok ansambel musik etnis yang dipimpinnya, yakni Putri, Irpaq, Felix, dan Heriyana, serta suguhan pertunjukan gerak oleh Agung Gun. Pentas ini merupakan penjelajahan lanjutan Memet dalam wilayah bunyi eksperimental. Setelah mengolah musik air dalam pertunjukan Water ‘n I pada 2009, kini Memet mengolah musik batu dalam 11 komposisi yang disajikan dalam tempo sekitar satu jam.

Musik yang ia hasilkan berasal dari berbagai macam batu yang ditata di sebuah panggung kecil. Ada cobek batu besar, cobek batu kecil, lumpang batu kecil, bilah batu, pipisan batu, sketsel batu lempeng, hamparan batu kerikil, hingga kepala stupa. Batu-batu itu diketuk, diadu, atau digaruk. Batu kerikil di tampah memberi suara riuh ketika diayak atau bunyi tak terduga ketika ditumpahkan.

Memet, yang ahli bermain flute, juga menambahkan permainan musik dari ocarina batu, alat musik tiup kuno yang menghasilkan suara mirip suling. Selama pertunjukan, pemusik kelahiran Bangkalan, Madura, 16 Januari 1958, itu juga menampilkan potongan-potongan gambar gunung, sungai, dan bebatuan serta rekaman permainan musik batunya di lapangan beberapa waktu lalu.

Pada satu bagian, Agung Gun, yang berambut panjang terurai, tubuh berlumur cat asturo hitam dan mata merah, muncul dalam sebuah ”tarian batu”. Bagi Agung, hakikat batu adalah berat, sehingga geraknya lambat, kaku, cenderung mendekat ke tanah. Sambil menembangkan beberapa kata, yang dipungutnya acak dari tembang kuno Jawa, ia bergerak menanggapi permainan bunyi Memet. Gerakannya semakin liar dan kakinya mengacak-acak batu-batu di depan panggung. Puncaknya, dia menghamburkan batu-batu itu dengan beringas sebelum akhirnya diam ketika empat pemusik lain mengetuk-ngetukkan batunya dengan lembut.

Memet, yang kini mengajar di Jurusan Musik Institut Seni Indonesia Yogyakarta, menggali bunyi-bunyian dari batu untuk memperluas wilayah musik kontemporer. Dia memilih sumber bunyi dari alam, sehingga dulu memilih air dan kini batu.

Menurut dia, penggalian musik air lebih sukar, butuh waktu lima tahunan untuk berkarya, tapi musik batu ini digalinya selama setahun. Penggalian itu menyangkut efek bunyi pada berbagai jenis batu hingga perbedaan bunyi di setiap bagian batu. ”Batu itu berbeda dari kayu, misalnya. Sudut yang satu berbeda bunyinya dari sudut yang lain pada batu meski dengan ketebalan yang sama. Kalau kayu, sudut mana pun akan sama bunyinya,” kata pemimpin Indonesia Wind Orchestra ini.

Alat musik batu bukanlah hal yang baru. Masyarakat Cina memiliki bianqing dan Korea punya pyeongyeong. Keduanya perkusi dari batu yang digantung. Sementara kedua alat itu masih mengandalkan nada sebagai dasar musikalitasnya, Memet justru menghapusnya dengan menabrak tatanan musik biasa. ”Unsur dinamik, ritme, oktaf tetap saya pakai. Tapi nada saya tinggalkan karena saya enggak mau terjebak pada masalah musik. Saya ingin mencoba lepas dari kerangka waktu,” katanya.

Meski demikian, beberapa bagian musiknya mengingatkan pendengar pada permainan gamelan atau ketukan drum band, yang jelas masih berpijak pada nada. Memet mengakui beberapa instrumen memang mengandung nada tertentu, tapi ia mencipta tanpa berpatok pada nada tersebut. Dia malah mencoba menghasilkan bunyi-bunyi tak terduga, misalnya dengan memutar sebuah batu dan membiarkannya menggelinding. ”Saya mencoba memberikan ruang-ruang agar penonton juga bisa menikmati bunyi yang saya sajikan. Kesadaran kontak, timbre, waktu harus dijaga sehingga bisa memberikan efek bunyi yang musikal,” katanya.

Eksperimen Memet ini merupakan satu langkah untuk membuka ranah baru dalam bermusik kontemporer, ketika musik dikembalikan pada hakikatnya: bunyi.

Kurniawan, Suryani Ika Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus