Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Satu Abad Sebelum Hari Bumi

Kecemasan tentang nasib bumi telah berakar sejak abad ke-19, tapi pelestarian alam sampai kini belum menjadi komitmen internasional.

2 Juni 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAHATMA Gandhi, bapak kemerdekaan India, pernah dengan halus menyindir keserakahan manusia lewat ucapan ini: "Bumi kita cukup untuk menampung seluruh umat manusia, tapi tidak untuk orang yang selalu merasa kurang." Gandhi mengkhawa-tirkan nasib planet bumi karena kerusakan yang menimpa tempat tinggal umat manusia ini selalu berpangkal pada keserakahan manusia itu sendiri. Bahkan segelintir orang bijak sudah mewaspadai "bencana kehancuran bumi" sejak abad ke-19.

Thomas Malthus, pakar ekonomi politik Inggris, misalnya, memformulasikan kebangkrutan bumi dengan menajamkan fokus pada lonjakan penduduk. Malthus tidak sekadar cemas, tapi ia terkenal dengan "nujuman"-nya yang berbunyi: manusia bertambah menurut deret ukur, tapi bahan makanan bertambah menurut deret hitung. Sekarang, ketika penduduk dunia mencapai 6 miliar jiwa, prediksi Malthus memang belum menjadi kenyataan. Namun, kecemasan yang ditimbulkannya kian meningkat.

Dan Amerika Serikat adalah negara yang dengan cepat menularkan kecemasan itu ke seantero dunia. Ini dimulai pada 1887, tapi mencapai momen yang menentukan ketika Theodore Roosevelt—sang pencinta alam dan pelindung bison dan beruang—terpilih sebagai Presiden AS. Dalam masa pemerintahannya, gerakan lingkungan menemukan wadah dengan dua konsep besar: konservasi dan preservasi. Gerakan konservasi menghendaki pendekatan ilmiah dalam mengelola sumber daya alam, dengan prinsip: sumber daya alam boleh dieksploitasi asalkan dijaga keberlanjutannya. Pemikiran inilah yang menjadi embrio bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, yang kini berpotensi menjadi "agama" baru di muka bumi ini.

Aliran kedua, yang mengutamakan perlindungan alam, dipelopori John Muir. Ia mengajarkan bahwa kelestarian alam perlu dijaga, bukan dieksploitasi. Di bawah panji-panji preservasi ini, AS membangun banyak sekali taman nasional.

Semangat pelestarian alam dengan cepat menjalar ke Eropa, termasuk Belanda. Tak aneh jika di tanah jajahannya, Indonesia, Belanda sudah menggaungkan aturan perlindungan alam sejak 1925. Hampir 50 tahun kemudian, tepatnya 22 April 1970, kira-kira setengah juta orang berkumpul di Fifth Avenue, New York—dan 20 juta orang di seluruh Amerika—untuk merayakan apa yang kelak dikenang sebagai Hari Bumi.

Tapi, sebelum itu, pada 1962 Rachel Carson sudah mengondisikan warga AS dengan isu-isu lingkungan melalui bukunya, Musim Semi yang Bisu. Lewat buku itu, Rachel Carson memperingatkan bahaya pestisida atas hidup manusia. Dan tak lama sesudahnya, lahirlah "idiologi" baru yang dikenal sebagai "environmentalism." Dipompa semangat "sadar lingkungan", kebijakan AS berubah cepat. Environmental Protection Agency (EPA) dibentuk pada 1970, sementara Clean Air Act, Water Quality Control, dan Industrial Pollution Control diundangkan pada tahun yang sama.

Seiring dengan itu, Club of Rome, kumpulan ilmuwan, pebisnis, dan aktivis, menerbitkan Limit to Growth, yang berisi laporan tentang ramalan kebangkrutan bumi menjelang abad ke-21. Pada 1972, diselenggarakanlah The UN Conference on Human Environment atau Konferensi PBB untuk Lingkungan Hidup, di Stockholm, Swedia. Konferensi itu sekaligus mengakui adanya tanggung jawab universal terhadap kerusakan lingkungan hidup.

Stockholm juga menghasilkan sebuah action plan yang memuat 109 butir isu tentang hunian manusia, sumber daya alam, kebudayaan, polusi, dan pendidikan, termasuk usul tentang perlunya bantuan dari negara-negara Utara untuk pembangunan dibelahan bumi Selatan. Kelak usul ini masuk ke Deklarasi Rio pada 1992. Sepulang dari Stockholm, delegasi Indonesia—antara lain Emil Salim dan Radius Prawiro—membentuk Kementerian Lingkungan Hidup, pada 1978, dan dua tahun kemudian berdirilah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), organisasi lingkungan pertama, yang dibentuk oleh 10 organisasi sosial di Jakarta.

Lantas membaikkah kualitas lingkungan hidup kita? Data menunjukkan kesenjangan pendapatan yang teramat besar antara negara-negara Utara dan negara-negara Selatan. Pada 1989, misalnya, 20 persen penduduk terkaya menguasai 82,7 persen pendapatan dunia, sementara 80 persen yang lain cuma kebagian 1,4 persen. Di Selatan, sumber daya alam menjadi sasaran pertumbuhan ekonomi—sering dengan cara merusaknya—sedangkan di Utara, orang menikmati kemakmuran berlebihan. Warga AS, misalnya, memakai energi 10 kali lipat dari negara lain dan mengeluarkan 25 persen dari total limbah gas dunia.

Dengan semua carut-marut itulah Rio de Janeiro, Brasil, menggelar konferensi tingkat tinggi PBB, Earth Summit, pada 1992. Agendanya beragam, sama luas dan ambisiusnya dengan Stockholm, dan sama kecil peluangnya untuk dilaksanakan. "Seperti ber-belanja di supermarket dan ingin memborong semuanya," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim. Dan akhirnya, seperti kata deputi sekretaris jederal konferensi itu, Natan Desai, "Hasil Rio jauh dari memuaskan." Inilah sebentuk eufemisme dalam bahasa diplomatik, yang artinya: gagal total.

I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus