Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMANYA Taman Nasional Kutai. Sebagai salah satu tempat tinggal orangutan, kawasan konservasi dengan vegetasi mangrove ini seharusnya terlindung dari kerakusan manusia. Nyatanya, ketamakan itulah yang membuat hutan di Kalimantan Timur itu tak layak lagi disebut taman nasional. Pokok-pokok kayu menjarang. Berganti dengan rimbunan batang pisang, rumah panggung, dan alang-alang—sebuah tanda bahwa lapisan kesuburan tanah telah menghilang.
Kerusakan ini adalah satu dari deretan kehancuran wana kita. Manusia Indonesia seperti tak mengenal prinsip untuk menjaga lingkungan, yang sejak Kementerian Lingkungan Hidup dibentuk pada 1978 dicoba diperkenalkan. Hutan tropis perawan kita bahkan menciut dari 168 juta hektare menjadi 98 juta hektare saja selama 30 tahun terakhir. Sekitar 1,6 juta hektare per tahun habis ditebang secara liar. Tidak ada pihak, baik perusahaan maupun penduduk, yang berminat untuk bersusah payah menanam kembali emas hijau yang mudah dikeduk itu. Kerusakan kian parah saat izin pengusahaan hutan dialihkan ke kabupaten. Hanya dalam hitungan bulan, 622 surat izin untuk hak pengusahaan hutan skala kecil—luas 100 hektare—sudah diteken di Kutai Barat. Semua berlomba mengurasnya.
Menurut laporan Forest Watch Indonesia tahun 2002, salah satu penyebab kerusakan hutan adalah ketidakseimbangan antara kapasitas industri dan pasokan kayu. Dengan kemampuan melahap 56 juta meter kubik per tahun, sementara pasokan hanya sekitar 20 juta meter kubik, industri lapar kayu ini memakan semua gelondong, termasuk dari pasar gelap. Dengan kondisi seperti ini, ditambah tak adanya sanksi untuk mereka yang menebang hutan secara liar, bisa diperkirakan bagaimana wajah wana kita berpuluh tahun mendatang.
Berbicara tentang laut juga sama muramnya. Indonesia punya garis pantai terpanjang kedua di dunia, 81 ribu kilometer. Di kedalaman lautnya, terhampar 42 kilometer persegi terumbu karang, namun 85 persen kekayaan ini sudah rusak. Hanya di Kepulauan Wakatobi dan perairan Maluku yang masih cantik. Penyebab kerusakan, menurut World Resources Institute, datang dari pengeboman karang dan peracunan ikan.
Ancaman serupa juga mengintai di udara. Data Bapedal tahun 2000, misalnya, udara Jakarta cuma baik dihirup 10 hari dalam setahun. Pontianak, yang sering terpapar asap akibat kebakaran hutan dan lahan, mempunyai 4 hari yang masuk kategori berbahaya dan satu hari sangat tidak sehat sepanjang tahun. Secara keseluruhan, 71 persen kualitas udara Pontianak dapat dianggap baik, namun sewaktu-waktu dapat anjlok, seperti saat kebakaran besar tahun 1997.
Udara di kedua kota itu juga dapat memicu kambuhnya beberapa penyakit seperti peningkatan kardiovaskuler pada perokok, dan peningkatan reaktivitas pembuluh tenggorokan pada penderita asma dan bronkitis. Kondisi hawa seperti ini menyebabkan kualitas kesehatan penduduknya ada di bawah batas garis sehat. Di Pontianak, dengan paparan debu dan asap yang mengandung pelbagai zat berbahaya, kemungkinan besar terjadi peningkatan gejala penyakit jantung lebih besar daripada di kota lain. Lalu di Jakarta? Menurut laporan World Bank tahun 1994, akibat polusi udara di Jakarta, terjadi 1.200 kasus kematian prematur, 32 juta kasus pernapasan, dan 464 ribu kasus serangan asma.
Tentu, setelah berbelas tahun konsep lingkungan ini ditularkan oleh instansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat, ada juga dampaknya. Ada pembakar hutan di Riau yang dihukum penjara, satu contohnya. Pembantaian penyu di Bali mulai menurun, dan masyarakat ikut berpartisipasi di Taman Nasional Komodo dan Bunaken. Tapi jumlahnya jauh dari cukup.
Pandangan sektoral, seperti kata Mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, pun masih mendominasi para pejabat. Siapa saja lembaga pemerintah yang mengurusi kekayaan alam—pertambangan, kehutanan, kelautan, dan lingkungan hidup—meng-inginkan agar sektor mereka mendapat jatah pertama. Tengok saja tumpang tindih 12 juta hektare lahan kehutanan dengan pertambangan yang belum juga selesai. Kenyataannya, lingkungan hidup selalu jadi korban karena pemerintah tidak jelas memihak ke mana.
I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo