Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berita Tempo Plus

Jejak Gurandil di Punggung Pongkor

Penambang emas liar di Pongkor meninggalkan lubang-lubang galian dan merkuri beracun di sungai.

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Jejak Gurandil di Punggung Pongkor
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Gerimis di pagi itu seperti berusaha menghalangi matahari yang malas-malasan beringsut di ufuk timur. Alam masih belum sepenuhnya terjaga. Tapi di Jalan Cagak, persis di sebuah tikungan di Jalan Raya Bogor - Jasinga, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, warung Ibu Ade sudah ramai. Sopir "odong-odong"—sebutan untuk angkutan omprengan di Bogor—berbaur dengan calon penumpangnya.

Para penumpang datang berkelompok. Selepas sarapan dan membekal makanan secukupnya, odong-odong mengantar mereka ke Dusun Jangkar. Inilah wilayah paling ujung yang bisa dilalui kendaraan butut itu. Di sini, sebuah sungai dan jembatan kayu memaksa penumpang turun. Di seberang sungai berwarna kecokelatan itulah tujuan mereka, Gunung Pongkor. Inilah gunung penghidupan, gunung tempat mereka berharap dapurnya bisa tetap mengepul.

Tersembunyi di kerimbunan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, di perut gunung yang lebih tepat disebut bukit, itu terkandung berton-ton butiran emas. Ada tiga urat (vein) utama emas di sini: Ciguha, Kubang Cicau, dan Ciurug. Semuanya milik PT Aneka Tambang Tbk., yang resmi mengoperasikan Unit Penambangan Emas Pongkor sejak tahun 1992.

Sejak itu, Kecamatan Nanggung bukan lagi sekadar titik kabur dalam peta. Ia telah menjelma menjadi gula yang tidak hanya memancing para penambang resmi, tapi juga para penambang liar dengan peralatan seadanya. Inilah para "gurandil"—sebutan bagi penambang liar. Mereka datang dari jauh, dari luar Pongkor, sebagian besar "alumni" penambang emas dari Cikotok, Sukabumi.

Menurut Achmad Dohar Siregar, pejabat Aneka Tambang yang paling awal membuka kawasan ini, penduduk setempat ketika itu adalah kaum tani. "Tidak ada penambang emas tradisional," ujar Dohar, kini Corporate Secretary Aneka Tambang.

Lambat-laun, ketika para imigran mulai memadati Pongkor dengan penghasilan berlimpah, penduduk setempat ikut tergiur. Menjadi gurandil memang menggoda. Selama tiga hari menggali, tiap gurandil dalam satu kelompok penggalian bisa mendulang upah Rp 500 ribu - 750 ribu. Bandingkan dengan upah buruh tani, yang hanya Rp 15 ribu sehari.

Maka, memang tak aneh jika warga lokal pun ikut-ikutan jadi gurandil. Booming gurandil terjadi tahun 1988, ketika jumlah mereka mencapai 8.000 orang. Ingar-bingarlah suasana Pongkor. Apalagi ketika gurandil imigran mulai mendirikan gubuk-gubuk darurat di Bantar Karet, wilayah terdekat dengan Pongkor. Setiap malam, punggung bukit ini selalu bertabur cahaya lampu ditingkahi bunyi musik campur-aduk, dari dangdut hingga rock.

Tahun 1998, menurut catatan Aneka Tambang, lubang galian karya para gurandil mencapai ribuan. Setahun kemudian, Aneka Tambang melakukan penertiban. Tak kurang dari 1.710 lubang liar ditimbun saat itu. Tapi di sinilah pepatah gali lubang tutup lubang berlaku dalam artinya yang paling harfiah. Ketika petugas Aneka Tambang menutup lubang, tak lama kemudian lubang baru digali di tempat lain.

Mereka, para gurandil itu, dengan gigih mengeduk dan mengeduk, tanpa peduli bahaya terkubur hidup-hidup. Dan memang benar, pada tahun itu pula sudah tercatat 232 kasus lubang galian yang ambrol dan mengubur hidup-hidup 141 orang di dalamnya. Terakhir, dua pekan lalu 13 gurandil dan seorang penambang Aneka Tambang tewas terjebak asap yang belum jelas asal-muasalnya yang tiba-tiba memenuhi lubang penggalian. "Habis, gimana lagi. Itu sih risiko. Kerja apa pun selalu ada risikonya," kata Enda, 45 tahun, penambang asal Sukabumi. Risiko ini belum termasuk kecelakaan-kecelakaan kecil yang bisa terjadi setiap hari. "Sering setiap menggali, kita menemukan potongan jari tangan atau bagian tubuh lain."

Jadilah Gunung Pongkor bolong-bolong penuh lubang. Di dalam, lorong-lorong saling bersilangan membentuk labirin tak beraturan. Dan karena terbatasnya peralatan, mereka menggali seadanya, tanpa peduli aturan baku penggalian. "Mereka menggali di kedalaman yang masih menjadi pijakan akar-akar pepohonan," kata Dohar. Dalam aturan baku penambangan resmi, kedalaman 10 hingga 20 meter itu mestinya tak boleh digali. Apalagi di atasnya terhampar pohon-pohon yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun.

Tentu saja aturan itu tak ada gunanya bagi para gurandil. Bahkan, untuk menguatkan lubang galian, mereka menebangi pohon di dalam kawasan terlarang. Dalam temu kader anggota Koperasi Usaha Konservasi Gunung Halimun di Kabandungan, Sukabumi, akhir tahun lalu, terungkap kerusakan hutan taman nasional akibat aksi gurandil meliputi wilayah seluas 6.000 hektare.

Saat ini, karena kandungan emas mulai menyusut, jumlah gurandil pun tinggal ratusan orang. Tapi lubang-lubang yang mereka tinggalkan tidaklah berkurang. Ini terlihat terutama di wilayah Kubang Cicau. Dari atas, lubang-lubang menganga itu terlihat seperti borok-borok yang tak kunjung sembuh.

Bukan hanya itu kerusakan alam warisan para gurandil. Proses pemisahan tanah untuk diambil emasnya juga mencemari wilayah perairan. Di sepanjang Sungai Cikaniki yang membelah Gunung Pongkor, tempat-tempat pengolahan seperti ini amat banyak. Memakai alat yang disebut "gulundung"—peralatan dari besi pipa berdiameter 80 sentimeter, panjang 1 meter, lalu diputar dengan mesin diesel—para penambang memisahkan emas dari tanah dan bebatuan.

Dalam proses ini, tanah yang mengandung emas dihaluskan, lalu dimasukkan ke gulundung yang telah berisi air biasa dan merkuri (Hg). Sedikitnya selama dua jam gulundung berputar. Jika beruntung, emas dari satu gulundung bisa mencapai 500 gram.

Semua proses ini dilakukan seadanya. Janganlah berharap ada standar mutu lingkungan. Bahkan para pekerja melakukannya tanpa sarung tangan ketika mengobok-obok campuran merkuri untuk mengambil emas, lalu membuang limbah merkuri itu ke Sungai Cikaniki. Padahal sungai ini memiliki hilir di kawasan permukiman.

Tempat pendulangan seperti ini masih terdapat di Desa Nanggung, Bantar Karet, dan Curug Mekar di tepian Cikaniki. Akibat kegiatan ini, menurut laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, pada tahun 2000 sedikitnya 10 orang gurandil mengalami mati rasa pada saraf tangannya.

Situasi ini membuat Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten Bogor, bekerja sama dengan Aneka Tambang, menggelar kampanye bahaya merkuri sejak beberapa tahun lalu. Selain itu, untuk mengerem laju jumlah penambang liar dari penduduk sekitar, berbagai kegiatan pengembangan masyarakat digelar.

Toh, para gurandil tak juga jera. Selama masih ada perut untuk diisi, para gurandil tetap berdatangan. Kemilau emas Pongkor memang terlalu kuat untuk menahan mereka datang.

Agus Hidayat,Deffan Purnama (Gunung Pongkor)


Gerakan Bawah Tanah Para Gurandil

Bagaimana mereka menggali?

Cukup memakai alat sederhana seperti linggis, pacul, karung (untuk mengangkut tanah keluar), tambang, lampu sorot, dan tentu saja bekal makanan karena di dalam, para penambang bisa bertahan hingga 3-4 hari.

Di ruangan inilah mereka bekerja, biasanya terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok pemahat yang bertugas menggangsir bumi untuk mendapatkan tanah berkandungan emas sebanyak-banyaknya. Kelompok kedua bertugas mengumpulkan tanah galian di dalam karung-karung. Dan kelompok ketiga bertugas membawa karung-karung itu ke luar gua.

Bagaimana memastikan suatu lokasi mengandung emas?

Ada dua cara. Pertama, tentu tinggal mengikuti lorong-lorong penambangan resmi, karena tanah di sekitar sana pasti mengandung emas. Cara kedua, membeli peta kandungan emas suatu lokasi. Ini peta resmi milik PT Aneka Tambang yang sangat lengkap. Di dalamnya sudah tertera lokasi emas, bahkan kandungan karatnya. Entah bagaimana, para gurandil bisa mendapat peta itu dengan membelinya Rp 5 juta.

Bisakah mereka kaya?

Selama tiga hari menggali, tiap penambang mendapat upah Rp 500 ribu-Rp 750 ribu, alias Rp 5 juta- Rp 7,5 juta sebulan jika mereka ngebut terus-menerus menggali tanpa libur. Jelas sangat lumayan dibandingkan dengan menjadi buruh tani dengan bayaran Rp 15 ribu sehari. Pada masa jaya, ketika kandungan emas masih sangat kaya, seorang penambang bahkan bisa berpenghasilan Rp 100 juta sebulan. Wow! Dan itu baru penghasilan penggali. Cukong yang mendanai penggalian jelas lebih kaya raya.

Ke mana tanah itu dibawa?

Tanah hasil galian akan diangkut ke pangkalan yang sudah ditentukan atau langsung dibawa ke tempat pendulangan di tepi Sungai Cikaniki.

Galian awal biasanya hanya lubang horizontal untuk pintu sebesar 50 x 100 cm. Baru setelah menembus bumi hingga 10 meter, galian diperbesar hingga membentuk ruangan setinggi 2 meter dengan lebar 2 meter. Agar ruangan jangan runtuh, dinding atas ditahan menggunakan kayu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus