Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Berita Tempo Plus

Dan Ini Tafsir Panggung Broadway...

Jesus Christ Superstar mengisahkan Yesus Kristus dengan funky. Inilah film musikal yang menampilkan keagungan Yesus secara santai, ngepop, nyeleneh, dan menjadi karya klasik yang masih selalu ditonton.

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Dan Ini Tafsir Panggung Broadway...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Sebuah bus tua meluncur di atas jalan berdebu yang melintasi padang gersang, berbatu, dikelilingi bukit. Debu beterbangan bercampur-baur dengan asap knalpot bus yang disarati properti dan para pemeran film itu. Tak lama berselang, bus itu tampak menepi. Penumpangnya berhamburan berlari menuju sebuah bukit. Kamera menyorot seorang pria berkulit hitam yang tengah berdiri di pucuk bukit. Musik pembuka membahana. Dan film musikal Jesus Christ Superstar pun bergulir.... Sang pria Afro-Amerika, Yudas Iskariot (diperankan oleh Carl Anderson), kemudian menyanyikan Heaven on Their Minds. Dia mengenakan cutbrai merah menyala dan bernyanyi di bawah langit yang biru, kontras dengan warna kulitnya yang hitam mengkilap. Yesus mengenakan jubah putih, gondrong, dengan wajah polos dan suci. Yudas memperingatkan Yesus Kristus (dimainkan oleh Ted Neeley) bahwa rakyat akan membunuhnya jika ternyata apa yang diucapkannya tentang Tuhan adalah salah. ”Dengarkan, Yesus, aku ingin agar kita semua hidup. Tapi aku cemas karena kesempatan menikmati kehidupan itu kian menipis pada setiap jam. Semua pengikutmu telah tenggelam dalam lamunan tentang surga. Dengarkan, Yesus, aku kecewa dengan apa yang kulihat. Apa yang kuharapkan sekarang darimu adalah dengarkanlah pendapatku. Dan ingatlah bahwa aku adalah tangan kananmu. Mereka menganggap telah menemukan Messiah baru. Tapi mereka akan membunuhmu jika akhirnya mereka merasa anggapan mereka itu salah.” Dari lirik-lirik seperti itulah film drama musik karya Norman Jewison memulai dirinya. Film yang diproduksi pada 1973 itu merupakan adaptasi dari rock opera mahakarya Andrew Lloyd Webber dan Tim Rice. Alur cerita Jesus Christ Superstar tak berbeda dengan kisah Yesus Kristus atau Isa Almasih yang termuat di dalam kitab suci Injil. Film musikal ini menyajikan cerita tentang tujuh hari kehidupan Yesus menjelang penyaliban di Bukit Golgota. Dan seperti opera klasik dengan penyanyi tenor serta sopran, film musikal ini disusun tanpa dialog. Komunikasi antara pelakon yang satu dan yang lainnya berlangsung dalam bentuk musik dan lagu serta iringan modern dance. Ekspresi wajah para pelaku hanya menonjol jika mereka tampil dalam nyanyi solo. Yang seru adalah bagaimana tafsiran Norman Jewison beserta Andrew Lloyd Webber dan Tim Rice terhadap sosok agung yang dalam film-film selalu terlihat sakral ini. Karena ini adalah sebuah opera rock, Yesus tampil funky: anak muda yang karismatis dan lebih mirip superstar—dia digotong para pengikutnya yang memanggilnya ”J.C.” (singkatan dari Jesus Christ). Yudas mengharu-biru, Maria Magdalena tampil dengan rayuannya, dan kaum Farisi juga tampak seperti ”geng” berbaju hitam yang teatrikal. Secara keseluruhan, baik kostum maupun musik film—maupun pertunjukannya di Broadway, New York—lebih memperlihatkan tren di zamannya, tahun 1970-an, masih penuh dengan ”sisa” generasi hippies yang memasuki tahun 1970-an yang mengalami pancaroba. Hasilnya memang bukan sebuah debat biblikal atau kontroversi seperti beberapa tafsiran film tentang Yesus lainnya. Karena ini masuk wilayah kebudayaan pop, masyarakat lebih memperhatikan musiknya. Fantastik! Hingga sekarang, kaset dan CD Jesus Christ Superstar menjadi klasik. Pertunjukan dan lagu-lagunya menjadi inspirasi bagi banyak musisi dan koreografer di berbagai belahan dunia. Menurut sutradara Teater Koma N. Riantiarno, Jesus Christ Superstar karya Tim Rice dan Andrew Webber itu bisa dianggap sebagai sebuah revolusi dalam memandang kembali penyiaran agama, terutama untuk kalangan anak muda. Tak hanya itu. Dari sisi drama opera, Jesus Christ Superstar merupakan revolusi bentuk drama musik yang sangat baru. ”Bentuknya memang tetap mengingatkan kita pada opera klasik, tapi ia lebih intim pada alam pikiran anak muda saat itu,” ujarnya. Bertolak dari kerangka pikiran itulah Remy Sylado mengadaptasi Jesus Christ Superstar dalam bentuk yang juga berbeda, bahkan cenderung nyeleneh. Dalam opera yang dipentaskan Sanggar Bahtera Yayasan Komunikasi Massa di Balai Sidang, Jakarta, pada Juni 1980, Remy menghadirkan sosok Yesus berkulit hitam dan Yudas berkulit putih. Herodes dan Kaiafas digambarkan sebagai wadam. Yesus Kristus sang Bintang (diperankan oleh Martin Luther Meset, mantan anggota Black Brothers) di Balai Sidang naik becak. Atas pementasannya itu, Remy menyodorkan alasan bahwa sosok Yesus tak lagi digambarkan dari sudut pandang antropologis: Yesus sebagai orang Nazareth, berbahasa Aramaik, berbangsa Yahudi. Dia melihat Yesus sebagai sosok teologis. Artinya, ”Kalau peristiwa kenaikan diterima sebagai peristiwa eksistensi Yesus, setelah peristiwa itu Yesus tak perlu lagi dipandang sebagai sosok antropologis,” katanya. Berbagai tafsir tentang Yesus dalam kemasan pop yang diilhami pertunjukan dan film Jesus Christ Superstar karya Tim Rice dan Andrew Lloyd Webber ini akhirnya menciptakan sebuah tren pada 1970-an dan 1980-an, yaitu ”membumikan” dan ”mempopulerkan” kisah-kisah biblikal menjadi sesuatu yang lebih mudah dan dekat kepada remaja melalui musik yang gemuruh, meriah, funky, dan mengentak, suatu tradisi yang sebetulnya juga sudah dimulai di gereja-gereja Afro-Amerika di AS. Mungkin karena sejak awal paket populer yang merujuk pada sesuatu yang religius memang dimaksudkan untuk konsumsi anak muda, betapapun Yesus digambarkan sebagai sosok funky dan Yudas bercutbrai merah, tak ada kontroversi ataupun protes amarah terhadap pertunjukan yang tampak ”profan” itu. Karena itu pula lirik lagunya—yang kemudian menjadi klasik bagi para kolektor, bahkan menjadi apa yang disebut musik ”pop religius”—selalu menjadi pegangan bagi para koreografer, penari, dan penyanyi panggung: ”Aku akan meminum cangkir berisi racun ini. Pakukanlah diriku ke kayu salib. Lukailah diriku. Bunuhlah aku sekarang, sebelum aku mengubah pendirianku.” Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus