Para imam kepala, ahli Taurat, dan pemuka Yahudi yang tidak menyukai Yesus mencari muslihat untuk menangkap serta membunuhnya. Mereka berhasil menyuap Yudas, salah satu dari ke-12 muridnya yang terdekat, untuk menunjukkan tempat ia berada. Lewat tengah malam itu Yudas membawa para penangkap menemui Yesus di sebuah tempat di luar tembok kota bagian timur yang dikenal dengan nama Getsemani. Seperti disebutkan Matius 26:49, Yudas menyalami gurunya dan menciumnya. Dua tindakan yang biasa menandakan hubungan damai dan hormat itu berubah menjadi ungkapan pengkhianatan. Sejak itu dunia Yesus terjungkir balik. Namun, baginya kekerasan tak perlu dihadapi dengan kekerasan. Murid yang menetak putus telinga salah satu penggerebek itu disuruhnya menyarungkan kembali pedangnya. Lukas mencatat bahwa Yesus bahkan memulihkan telinga kanan orang itu.
Menurut Yohanes 18:12-24, malam itu juga Yesus segera dibawa ke hadapan Hanas, mertua Imam Agung Kaiafas. Di situ ia diinterogasi mengenai murid-murid serta pengajarannya. Yesus menandaskan, masyarakat tahu tak ada agenda tersembunyi padanya. Jawaban apa adanya ini membuat seorang penjaga menampar Yesus. Wajah orang yang berterus terang ini tidak hanya merasakan ciuman khianat, tapi juga tamparan.
Dari sana Yesus digiring ke sidang Mahkamah Agama Yahudi atau Sanhadrin yang dipimpin Imam Agung Kaiafas. Pelbagai tuduhan dilontarkan. Namun, seperti diutarakan Markus 14:56, tak ada kesesuaian satu sama lain. Akhirnya Kaiafas menanyainya apakah dia itu ”Mesias, Anak dari Yang Terpuji”. Yesus tidak menyangkal. Sebenarnya, di dalam pemeriksaan Sanhadrin ini, ke-Mesias-an Yesus malah menjadi jelas. Tetapi Yesus justru dituduh menghujat Allah dan dikenai tuntutan hukuman mati. Sidang kemudian reses sampai matahari terbit agar keputusan yang dibuat nanti sah menurut tata cara hukum agama. Sementara itu, Yesus diludahi, ditutup matanya, diejek sebagai nabi dan disuruh menerka siapa yang meninjunya. Para pengawal pun ikut memukulinya. Lembaga agama yang semestinya berwibawa itu kini menjadi ajang ketidakadilan, kepalsuan, dan penganiayaan.
Di luar tempat persidangan, Petrus mengikuti peristiwa demi peristiwa. Yesus pernah mengingatkan murid-muridnya bahwa iman mereka akan terguncang. Petrus bersikeras menyatakan diri tidak bakal goyah seperti murid-murid lain. Namun, Yesus meramalkan, sebelum ayam berkokok, Petrus akan menyangkalnya sampai tiga kali. Memang, tiga kali ia dikenali dan disapa sebagai orang yang selalu bersama Yesus dan tiga kali pula Petrus menyangkal. Yesus tidak mungkir di hadapan para pemeriksanya.
Pagi-pagi benar Jumat itu Sanhadrin memutuskan untuk menuntut Yesus di hadapan Pilatus, penguasa Romawi, karena menurut Yohanes 18:31 Mahkamah Agama tidak berhak menghukum mati. Maka, dakwaan menghujat Allah mereka rumuskan dengan bahasa politik sebagai tindakan memberontak untuk menjadi raja. Pilatus sebenarnya tidak yakin akan kebenaran tuduhan itu. Di sini Lukas 23:6-12 menyisipkan episode Pilatus mengirim Yesus kepada Herodes agar diperiksa. Namun pertemuan itu berakhir dengan olok-olok belaka. Herodes mengenakan jubah kebesaran pada Yesus, lalu menyuruh orang menghadapkannya kembali kepada Pilatus. Sementara itu, Matius 27:19 menyebutkan istri Pilatus gelisah karena mimpi semalam dan paginya mengirim pesan agar suaminya, yang sedang mengadili Yesus, itu tidak mencampuri perkara ”orang yang benar itu”. Yesus memang sedang dipermainkan kekuatan-kekuatan yang melawan kebenaran.
Pilatus berusaha melepaskan Yesus dengan meminta orang-orang Yahudi memilih siapa yang patut dibebaskannya pada hari raya mereka: Yesus atau Barabas. Ironis, mereka menghendaki Barabas, seorang pemberontak dan pembunuh. Pilatus terpaksa menuruti keinginan massa. Ia memutuskan Yesus disalib dan membiarkan para serdadu menderanya terlebih dahulu. Mereka juga memasangkan mahkota duri di kepalanya dan mempermainkannya sebagai raja.
Episode di istana Pilatus ini dikisahkan Yohanes 18:28-19:16 dalam tujuh adegan selang-seling antara interogasi Yesus di dalam dan upaya Pilatus di luar untuk meyakinkan orang-orang Yahudi agar mengurungkan tuntutan mereka. Yohanes juga menampilkan pernyataan Yesus bahwa kerajaannya bukan dari dunia sini. Suatu ketika, setelah Yesus didera, Pilatus mempertontonkannya kepada orang banyak, ”Ecce homo!” artinya, ”Lihatlah orang ini!” Sulit mengenalinya kembali. Yang tampak di panggung hanyalah sosok yang penuh torehan gores-gores kekerasan.
Kemudian Yesus berjalan memanggul salib ke Golgota, nama Aram yang artinya ”Tempat Tengkorak”, sebuah bukit di kawasan barat Yerusalem. Di tengah jalan, tenaganya habis. Maka seorang yang kebetulan lewat, Simon dari Kirene, dipaksa memikul salib Yesus. Lukas 23:27-31 menambahkan, Yesus masih sempat menasihati wanita-wanita yang meratapinya agar mereka menangisi diri mereka sendiri serta anak-anak mereka.
Penyaliban Yesus dicatat Markus 15:25 terjadi pada pukul sembilan pagi. Pada salibnya dipasang tulisan ”Raja orang Yahudi”. Bersama dia disalibkan juga dua orang penyamun. Dalam keadaan itu ia masih berdoa bagi orang yang mengejeknya, membesarkan hati penyamun yang bertobat, dan mempercayakan Maria, ibunya, kepada Yohanes. Pada pukul tiga sore Jumat itu, ia berseru ”Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”, versi Aram dari Mazmur 22:2 yang artinya ”Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?”. Dalam keadaan sekarat, ia diberi minum anggur asam. Menurut Yohanes 19:28-30, Yesus berkata: ”Aku haus,” dan setelah minum berkatalah ia, ”Sudah selesai!” Maksudnya, sudah terlaksanalah tugasnya menebus umat manusia dengan kehidupannya. Inilah saat Yesus mengembuskan napas terakhir. Lukas 23:46 menambahkan, Yesus berseru nyaring, ”Ya Bapa ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku!”
Injil bukanlah laporan kejadian demi kejadian, melainkan narasi kesaksian orang-orang yang paham dan percaya bahwa sengsara dan kematian Yesus terjadi dalam rangka pengabdiannya untuk membangun kembali hubungan baik antara manusia dan Allah. Kisah sengsaranya memperlihatkan betapa merosotnya kemanusiaan yang menolak kehadiran Yang Ilahi. Pada saat yang sama, kesaksian ini menegaskan bahwa orang yang pasrah menerima kehadiran Allah akan menerima kehidupan sejati—seperti Yesus yang nanti dibangkitkan dari kematiannya. Kisah tragis manusia tak berdosa itu disampaikan kepada orang banyak bukan agar orang terharu dan meratapinya, melainkan untuk membuat orang makin peka menyadari sampai di mana kekuatan-kekuatan jahat dapat memerosotkan kemanusiaan. Juga untuk mempersaksikan bahwa Yang Ilahi tidak bakal kalah atau meninggalkan manusia sendirian. Inilah kabar baik bagi semua orang.
Agustinus Gianto
Profesor filologi Semit dan linguistik pada Pontifical Biblical Institute, Roma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini