SENGKETA tanah bisa memancar menjadi persoalan yang lebih gawat. Apalagi bila lokasi tanah itu di Segitiga Emas Jakarta, seperti tanah kavling 33 A di Jalan Sudirman ini. Rabu pekan lalu Kejaksaan Agung mengungkapkan adanya indikasi korupsi yang dilakukan Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Pusat, Rabuat Saragih. Ia diduga memanipulasi data tanah seluas 1,6 hektare itu. Saragih, menurut Jaksa Agung Muda A. Soetomo, memecah tanah itu menjadi dua sertifikat: nomor 206 dan nomor 219 atas nama Budiman Sejahtera Development. Rupanya dalam risalah pemeriksaan tanah untuk penerbitan dua sertifikat itu tak disebut-sebut adanya sengketa. Padahal tanah itu masih menjadi ajang sengketa antara pihak Budiman dan Haji Muhammad Mursyid selama 15 tahun. Persoalannya, menurut Muhammad, tanahnya lebih dari 4.000 meter persegi itu digusur Budiman tanpa ganti rugi. Yang ada hanya ganti rugi bangunan Rp 6 juta. Karena itu Muhammad pun memperkarakannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 25 Maret 1992, menetapkan tanah sengketa itu dalam status sita jaminan. Belakangan PTUN menyatakan status quo, dan menyuruh Budiman menghentikan kegiatan pembangunan di situ. Dan ganjilnya, di tengah proses pengadilan itu Saragih justru berani menerbitkan dua sertifikat Hak Guna Bangunan untuk Budiman akhir Maret 1992. Pihak Budiman merasa mendapat angin, lalu segera membangun pencakar langit 20 tingkat lebih untuk flat dan perkantoran, yang kini hampir rampung. Selain itu, menurut Jaksa Agung Muda A. Soetomo, dalam gambar situasi tanah itu tidak dijelaskan adanya tiga ruas jalan Proyek Mohamad Husni Thamrin (MHT), seluas 900 meter persegi, yang dibiayai Bank Dunia. Yang menambah ruwet, di situ ada pula tanah Pemda DKI seluas 1.000 meter persegi lebih, yang belum diruislag (ditukar) oleh pihak Budiman. Kerugian negara akibat perbuatan Saragih, menurut Soetomo, diperkirakan Rp 2 milyar. ''Saragih diduga melanggar Undang-Undang Pemberantasan Korupsi 1971,'' tambah Soetomo lagi. Karena itu Kejaksaan Agung mengeluarkan surat penahanan dan menciduk Saragih 30 Desember lalu. Saragih menginap selama tiga hari di Rumah Tahanan Salemba, sebelum akhirnya dilepaskan karena adanya jaminan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun ia terkena wajib lapor dua kali seminggu. Di samping itu Kejaksaan Agung juga meminta Menteri Kehakiman mencekal tujuh pimpinan Budiman Sejahtera Development -- untuk memudahkan pemeriksaan. BPN tampaknya masih berat melepaskan Saragih. Sampai pekan ini Saragih belum dibebastugaskan dari jabatannya. ''Dia kan belum tentu bersalah. Pengadilan yang nanti menentukan ia bersalah atau tidak,'' kata Kepala Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta, Soedrajat. Sebuah sumber penting lain malah menilai, ''Sebenarnya apa yang dilakukan Saragih tidak ada masalah. Cuma, ada perbedaan versi antara Kejaksaan Agung dan BPN.'' Tetapi Saragih sendiri menolak diwawancarai TEMPO. Sedangkan pengacara Saragih, Yan Apul, menyebutkan tanah milik Pemda itu sebetulnya tidak tercakup dalam dua sertifikat yang dipegang Budiman. Jika luas tanah dari dua sertifikat itu dijumlahkan ada 1,5 hektare. Sedangkan sisa 1.000 meter persegi dari kavling yang belum disertifikatkan, itulah tanah Pemda DKI Jaya. Menurut Yan, Budiman sudah menyediakan tanah pengganti untuk Pemda seluas 1.500 meter persegi di Jalan Petamburan, Jakarta. ''Lagi pula sertifikat itu keluar dengan dasar Surat Keputusan Gubernur DKI Jaya,'' katanya. Soal Jalan MHT yang kabarnya dikuasai Budiman, ujar Yan, nyatanya tidak disebut-sebut sewaktu risalah pemeriksaan tanah yang dilakukan Kantor Pertanahan Jakarta Pusat, Lurah Karet Tengsin, dan Camat Tanah Abang itu disusun. Foto udara pun tak menunjukkan adanya proyek jalanan kecil berlapis semen itu. ''Yang ada disebut cuma jalan kampung setapak,'' kata Yan. Memang diakui ada sita jaminan dari pengadilan. Tapi, menurut Yan Apul, itu pun sudah ditulis oleh Saragih di dalam sertifikat nomor 219. ''Dengan keluarnya sertifikat itu, maka sita jaminan dari pengadilan malah bisa dicantumkan,'' ujar Yan. Cerita selanjutnya, tunggu saja proses pemeriksaan Kejaksaan Agung. Ardian T. Gesuri, Bambang Sujatmoko, Linda Jalil, Taufik Alwie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini