ADA gagasan baru, mengaitkan ongkos naik haji dengan zakat. Persisnya, untuk calon jemaah haji Indonesia akan dipungut zakat 2,5% dari ongkos naik haji (ONH) yang dibayarnya. Gagasan yang menurut rencana akan dimulai tahun 1994 itu berasal dari Sarasehan Badan Koordinasi Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), September tahun lalu. Dan itu diusulkan oleh Sulastomo, ketua umum IPHI, dan K.H. Prodjokusumo, sekretaris Mejelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, seusai berjumpa dengan Presiden Soeharto Selasa pekan lalu. ''Bapak Presiden telah menyetujui pola semacam ini,'' kata Prodjokusumo kepada para wartawan. Apa alasan MUI menyetujui gagasan IPHI itu? MUI berpendapat, mereka yang sudah resmi menjadi calon jemaah haji termasuk orang yang sudah mampu. Dengan kata lain, kata Prodjo, mereka itu mempunyai harta yang jumlahnya sudah sampai pada hitungan wajib zakat. Karena itu, bagi mereka yang belum mengeluarkan zakat harta, setidaknya bisa mengeluarkan zakat ONH lebih dulu. Di sini, agaknya MUI lebih berbicara pada kebijaksanaan dalam pelaksanaan zakat ONH. Sebagai perbandingan, Prodjo menunjuk upaya pemerintah Arab Saudi mengumpulkan dam (denda bentuk domba) dalam bentuk uang, dan uang itu dipakai membangun pabrik pengalengan daging kambing atau unta. Produksi pabrik dari hasil dam itu kemudian dikirimkan ke negara-negara miskin di Afrika. ''Ini juga kebijaksanaan pelaksanaan. Sebab, hukum pembayaran dam kan sudah jelas?'' kata Prodjo pula. Wajar saja bila terobosan ini mendapat tanggapan ramai. Sejumlah fukaha menilai pendapat MUI itu tidak ada dasar hukumnya. Ahmad Azhar Basyir, Ketua PP Muhammadiyah, misalnya, mengatakan bahwa setiap orang yang mampu membayar ONH tak lalu menjadi wajib zakat. ''Itu tidak ada dalil syaraknya,'' kata Azhar. Maksudnya, gagasan itu tidak didasarkan pada Quran dan Hadis. Untuk wajib zakat, harta itu harus memenuhi syarat, misalnya da- lam jumlah tertentu (nisab), dan berputar dalam waktu setahun. Misalnya, untuk emas akan terkena wajib zakat jika berjumlah 85 gram dan telah menjadi milik sempurna selama satu tahun. Hal-hal seperti itu belum tentu dipenuhi oleh uang atau harta untuk pembayaran ONH. Bisa jadi, kata Azhar Basyir, uang yang digunakan untuk membayar ONH sudah dikeluarkan zakatnya setengah tahun lalu. Lalu apakah uang itu terkena zakat lagi? Seorang petani yang menabung bertahun-tahun untuk bisa naik haji, kata Azhar Basyir, belum tentu uangnya bersisa Rp 100 ribu setelah ia membayar ONH. Lalu bagaimana dengan orang naik haji dengan jalan menjual harta bendanya? Dari hal-hal yang dipersoalkan Azhar Basyir itu tampak bahwa uang yang digunakan untuk membayar ONH itu berasal dari berbagi sumber. Jadi, tidak bisa pukul rata saja. Itu agaknya salah satu sebab keberatan K.H. Ma'ruf Amin, katib syuriah Nahdlatul Ulama (NU), pada zakat ONH. ''Asal-muasal hartanya tidak sama, kok di- samaratakan,'' kata Kiai Ma'ruf. Bagi tokoh NU itu, zakat dan haji tidak bisa dikaitkan, ''Zakat ya zakat, haji ya haji.'' Masdar F. Masudi, pemikir muda NU yang intens mengkaji tentang zakat dan pajak, juga keberatan dengan usulan IPHI itu. Bila berpegang pada fikih klasik, kata Masdar, tidak ada zakat ONH. Yang ada zakat maal (harta) dan zakat fitrah. Masdar menduga, ide itu datang dari pihak yang membutuhkan dana, misalnya untuk rumah sakit Islam. ''Itu sama saja dengan pungutan liar,'' kata Masdar agak keras. Lebih jauh, Masdar mengkritik konsep zakat yang berjalan selama ini. Kata Masdar, selama ini zakat umumnya hanya dipahami sebagai konsep penyucian diri dan harta. Padahal, sudah ada salat atau ibadah lainnya. Menurut pemikir Islam muda ini, makna zakat sebenarnya lebih dekat ''ke penyucian sosial''. Masdar sering mengungkapkan, baik lewat berbagai kelompok kajian maupun lewat bukunya, Agama Keadilan, bahwa zakat adalah konsep spritual dan pajak adalah wujud pelembagaannya. Artinya, bila seseorang membayar pajak, berarti ia telah mengeluarkan zakat. Dengan kata lain, zakat seseorang ada dalam pajaknya. Dengan konsep Masdar itu, semakin jauh kemungkinan untuk menemukan dalil syarak yang bisa membenarkan zakat ONH. Tapi tidak demikian dengan Wahid Zaini, ketua Persatuan Pondok Pesantren se-Indonesia. Alumni Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel ini melihat bahwa dasar hukum zakat lewat ONH itu sama dengan zakat biasa. ''Kalau ada yang menilai itu dasar hukumnya tak jelas, itu tak benar,'' kata Wahid kepada wartawan TEMPO Kelik Nugroho. Tapi Wahid Zaini memperingatkan bahwa zakat ONH, sebagaimana zakat biasa, juga terikat pada ketentuan-ketentuan yang diatur fikih Islam. Ketentuan itu, misalnya, suatu harta atau kekayaan haruslah mencapai nisab (nilai nominal minimal kekayaan) dan haul (usia pemilikan harta itu sudah berputar tahun). Jemaah haji Indonesia, kata Wahid Zaini, banyak yang mempunyai uang tak sampai berputar tahun. Mereka itu, kata Wahid Zaini, tak wajib membayar zakat. ''Jadi, zakat ONH harus dilihat kasus per kasus, tidak bisa pukul rata,'' kata Wahid pula. Julizar Kasiri, Indrawan, Siti Nurbaiti (Jakarta), dan R. Fadjri (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini