DI jalan raya, mobil Toyota Kijang bisa lari pesat. Hewan
aslinya di Cagar Alam Pangandaran lain lagi. Terutama 3 ekor
kijang (Muntiacus Muncak) dan 10 ekor rusa (Cervus timorensis)
seolah dapat berjogging saja. Bahkan ada yang hanya mampu
berjalan santai di tengah rumput yang tumbuh subur di sana.
Ketigabelasnya baru saja diliarkan kembali di tepi hutan yang
luasnya 530 hektar, dekat pantai bagian selatan Jawa Barat.
Masih dalam kawasan yang sama, sejak 12 Mei, dilepaskan pula
sepasang owa-owa (Hylobates mollocb) dan 12 pasang burung aneka
ragam --bersamaan dengan peresmian Wisma Cinta Alam dan Pusat
Informasi di cagar alam itu.
Bagaimana mungkin kijang dan rusa itu tidak gesit? Julukan 'si
jago lari tampak sudah mereka tanggalkan. Satwa kelahiran
lapangan terbang Kemayoran dan Kebun Binatang Ragunan itu
merupakan sumbangan (TEMPO 23 Mei). Berpindah dari wilayah
Jakarta, mereka dalam alam bebas kini agak bingung, tidak tahu
apa yang harus diperbuat. Mungkin karena sudah manja di tempat
mereka dibesarkan sebelumnya.
Kecuali yang berasal dari Ragunan, mereka kelihatan kurus.
Menurut petugas di sana rusa itu cacingan. Beberapa hewan itu
terluka pada bagian ekornya akibat terkurung dalam kerangkeng
kayu. Tentu mereka sengsara selama perjalanan yang cukup jauh
dari Jakarta ke Pangandaraan, berjarak 420 km. Seekor rusa mati
ketika tiba di tempat tujuan.
Dua ekor malah mati di daerah penangkapan, karena keteledoran
petugas PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam) yang kurang
cakap. Untuk menangkap hewan itu memang diperlukan senapan
dengan peluru obat bius. Karena obatnya berlebihan, seekor
terbius sampai tak bernapas lagi. Sedang yang satu lagi mati
akibat patah kakinya.
"Ini berbahaya, mungkin hewan itu menderita kejutan mental,"
tutur Barita O. Manulang, seorang pengamat lingkungan dari
Yayasan Indonesia Hijau. Mungkin. Rusa itu sebelumnya berasal
dari daerah PN Angkasa Pura yang setiap waktu bising oleh deru
mesin pesawat terbang. Tanpa melalui masa peralihan yang cukup
lama, mereka dipindahkan ke cagar alam yang lingkungannya sangat
tenang.
Mungkin pula mereka terkena penyakit tuli. "Coba bayangkan,
berapa desibel lingkungan Kemayoran." Kata Manulang lagi. Dia
pernah beberapa bulan hadir di Tanjung Puting, Kalimantan
Tengah, meneliti rehabilitasi orang utan sebelum dihutankan
kembali. Cara pengliaran kali ini dinilainya kurang tepat.
Di Cagar Alam Pangandaran cukup baik medannya. Padang
belalangnya luas. Satwa pemakan rumput itu tak akan kelaparan.
Di sana masih ada hutan sekunder tua yang lebat. Ada pula hutan
jadi, mahoni dan akasia.
Menurut Kepala Sub Balai PPA di sana, Ugus Wardju, cagar alam
yang diresmikan tahun 1922 itu juga mempunyai aneka ragam satwa
seperti rase, monyet luwak, kucing hutan, kijang, landak, tupi,
banteng, owa-owa, rusa India dan macan tutul. "Rusa bisa
beradaptasi, asalkan bisa cari makan sendiri," kata Ugus.
Binatang yang dilepaskan itu konon telah diberikan suntikan
anticacing, antibiotika, agar tidak menjalar penyakil ke hewan
sejenis lainnya. Tindakan preventif itu sesuai dengan
"pengertian konservasi," kata Ir. Wartono Kadri Direktur PPA.
Di Angkasa Pura satwa itu sudah terisolasi, "dapat dianggap
sebagai semi-karantina," kata drh. Linus Simanjuntak, dosen
Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta. Walaupun
terserang periyakit cacingan (endoparasit), kalau kondisi
tubuhnya prima, satwa itu bisa hidup, tapi "idealnya binatang
itu lebih baik dicek dulu kesehatannya."
Sebelum binatang diliarkan kembali drh. Simanjuntak menganjurkan
diadakan semacam karantina di dekat penglepasan. Itu cukup
selama 2-3 minggu, masa peralihan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini