DAERAH bukit sekitar Gombel, Semarang, tadinya panas dan
gersang. Kini agak sejuk di situ setelah usaha penghijauan
berhasil, menumbuhkan antara lain sekitar 5000 batang akasia.
Menjadi sejuk dan indah," demikian Antara pekan lalu. Berita
itu berlawanan sekali dengan kejadian di Blambangan, cagar alam
di Jawa Timur, di mana orang menebang hutan. Pembaca TEMPO yang
mengikuti tim peneliti Peramina ke sana telah melaporkan bahwa
mereka yang leluasa mencuri kayu di hutan itu merusak
lingkungan.
Mungkinkah hutan bisa rusak? Bisa saja, dan sudah terbukti di
AkbarpurBarota, 40 km sebelah barat-laut New Delhi, India.
Penduduk di situ 30 tahun lalu masih melihat hutan lebat. Yang
menakutkan bila jalan pada malam hari. Tapi kini hutan itu sudah
lenyap karena penduduk tak berhenti menebang pohon guna
pembakaran. Mereka membutuhkan kayubakar untuk memasak, juga
untuk sedikit penerangan sebelum tidur malam. Hasil penghijauan
seperti di Gombel tadi pun dijadikan mereka kayu bakar.
Akbarpur-Barota sungguh suatu contoh krisis energi di pedesaan
Dunia Ketiga. Krisis energi semacam ini tak ada kaitannya dengan
krisis minyak sebagai akibat embargo 1973 oleh Arab Saudi, dan
jelas tidak pula dicakup oleh suatu seminar pekan lalu di
Jakarta. Dalam seminar itu tentang Perencanaan dan Program
Energi, seperti dianjurkan Menteri Subroto, orang membahas
bagaimana mengembangkan sumber energi utama, termasuk minyak
bumi, gas alam, batubara, tenaga air, panas bumi dan tenaga
nuklir.
Namun persoalan di Dunia Ketiga umumnya ialah pembagian energi
yang tidak merata. Ketidak-imbangan itu digambarkan oleh
Earthscan, suatu media di London menenai lingkungan, di antara
empat milyar manusia di bumi sekarang begini:
Milyar pertama, yang hidup di dunia maju seperti Eropah dan
Amerika Utara, menggunakan sekitar 84% dari energi komersial
dunia (yang berasal dari sumber minyak, batubara, gas alam
tenaga hidro dan nuklir).
Milyar kedua dan ketiga hidup di negeri yang agak maju tapi
masih berkembang (seperti India, Cina, Argentina, Brazil, Mexico
dan Venezuela) dan memakai sekitar 15 % dari energi komersial
dunia.
Milyar keempat hidup di bagian lainnya di Asia, Afrika dan
Amerika Selatan, dan memakai cuma 1% dari energi komersial
dunia.
Maka peranan energi non-komersial (seperti kayubakar, sisa
buangan pertanian dan kotoran ternak) menjadi tinggi di Dunia
Ketiga. Di India, sekitar 50% dari semua energi berasal dari
sumber yang non-komersial itu. Lebih tinggi lagi di
negeri-negeri Sahel, Afrika lebih 90% di Upper Volta dan Chad.
Elektrifikasi desa memang sudah ada. Tapi orang kota India
memakai listrik 28 kali lebih banyak ketimbang saudara sepupunya
di desa. Juga Bangkok di mana hidup 10% dari seluruh penduduk
Thailand memakai 85% dari tenaga listrik negeri itu. Pedesaan
Afrika menyedot 91% dari seluruh penduduk tapi memakai hanya 4%
dari energi komersial.
Minyak Tanah?
Ketimpangan ini pada dasarnya dirasakan juga di Indonesia. Warga
pedesaan Indonesia juga menebang hutan untuk kayubakar
--adakalanya karena minyak tanah (kerosene) tak terbeli oleh
rakyat atau tak sampai ke tempat terpencil. Padahal harga minyak
tanah itu sudah terbilang murah, terutama oleh dompet wargakota,
disebabkan subsidi pemerintah. Subsidi ini diduga akan
dikurangi. Bila ini terjadi, harga minyak tanah akan naik yang
pada gilirannya akan mendorong penduduk desa kita menebang
pohon.
Berbeda dengan di India, hutan memang masih banyak di Indonesia
hingga penduduknya belum terpaksa mengeringkan tahi kandang
untuk membikin api, energi. Namun banjir dan erosi yang
disebabkan oleh penebangan hutan, juga sudah mengancam pedesaan
Indonesia seperti di India.
asanya penduduk di daerah hutan tidak berhemat dengan kayu. Di
daerah dataran tinggi Tanzania, umpamanya diketahui desa-desa
yang ada hutannya menghabiskan kayubakar lebih tiga kali lipat
dibanding dengan desa-desa yang mempunyai sedikit lingkungan
pohon. Orang Nepal yang dari daerah bukit Himalaya yang miskin
tumbuh-tumbuhannya setelah pindah ke daerah rimba di kaki bukit
Terai nyatanya berlipatganda menghabiskan kayubakar.
Semua itu, tulis Earthscan, menggambarkan betapa sumber energi
baru masih belum berhasil mengurangi tekanan pada batang kayu di
pedesaan Dunia Ketiga. Walaupun nanti pedesaan itu mendapat
listrik, orang desa umumnya belum akan bertanak dengan tungku
listrik, belum akan memakai pompa listrik pada sumurnya. Survai
energi, kata Earthscan lagi, kini menunjukkan bahwa tersedianya
kayubakar masih menentukan jumlah energi yang dapat dipakai
desa-desa Dunia Ketiga.
Namun bagi Indonesia, pemeliharaan lingkungan dan usaha
penghijauan jelas akan terbantu dengan tersedianya minyak tanah
yang murah di pedesaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini