Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kalau Tanpa Minyak Tanah

Penebangan hutan untuk kayu bakar masih banyak dilakukan warga desa, karena minyak tak terbeli rakyat. Pemeliharaan lingkungan & usaha penghijauan jelas akan terbantu dengan tersedianya minyak tanah. (ling)

24 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAERAH bukit sekitar Gombel, Semarang, tadinya panas dan gersang. Kini agak sejuk di situ setelah usaha penghijauan berhasil, menumbuhkan antara lain sekitar 5000 batang akasia. Menjadi sejuk dan indah," demikian Antara pekan lalu. Berita itu berlawanan sekali dengan kejadian di Blambangan, cagar alam di Jawa Timur, di mana orang menebang hutan. Pembaca TEMPO yang mengikuti tim peneliti Peramina ke sana telah melaporkan bahwa mereka yang leluasa mencuri kayu di hutan itu merusak lingkungan. Mungkinkah hutan bisa rusak? Bisa saja, dan sudah terbukti di AkbarpurBarota, 40 km sebelah barat-laut New Delhi, India. Penduduk di situ 30 tahun lalu masih melihat hutan lebat. Yang menakutkan bila jalan pada malam hari. Tapi kini hutan itu sudah lenyap karena penduduk tak berhenti menebang pohon guna pembakaran. Mereka membutuhkan kayubakar untuk memasak, juga untuk sedikit penerangan sebelum tidur malam. Hasil penghijauan seperti di Gombel tadi pun dijadikan mereka kayu bakar. Akbarpur-Barota sungguh suatu contoh krisis energi di pedesaan Dunia Ketiga. Krisis energi semacam ini tak ada kaitannya dengan krisis minyak sebagai akibat embargo 1973 oleh Arab Saudi, dan jelas tidak pula dicakup oleh suatu seminar pekan lalu di Jakarta. Dalam seminar itu tentang Perencanaan dan Program Energi, seperti dianjurkan Menteri Subroto, orang membahas bagaimana mengembangkan sumber energi utama, termasuk minyak bumi, gas alam, batubara, tenaga air, panas bumi dan tenaga nuklir. Namun persoalan di Dunia Ketiga umumnya ialah pembagian energi yang tidak merata. Ketidak-imbangan itu digambarkan oleh Earthscan, suatu media di London menenai lingkungan, di antara empat milyar manusia di bumi sekarang begini:  Milyar pertama, yang hidup di dunia maju seperti Eropah dan Amerika Utara, menggunakan sekitar 84% dari energi komersial dunia (yang berasal dari sumber minyak, batubara, gas alam tenaga hidro dan nuklir).  Milyar kedua dan ketiga hidup di negeri yang agak maju tapi masih berkembang (seperti India, Cina, Argentina, Brazil, Mexico dan Venezuela) dan memakai sekitar 15 % dari energi komersial dunia.  Milyar keempat hidup di bagian lainnya di Asia, Afrika dan Amerika Selatan, dan memakai cuma 1% dari energi komersial dunia. Maka peranan energi non-komersial (seperti kayubakar, sisa buangan pertanian dan kotoran ternak) menjadi tinggi di Dunia Ketiga. Di India, sekitar 50% dari semua energi berasal dari sumber yang non-komersial itu. Lebih tinggi lagi di negeri-negeri Sahel, Afrika lebih 90% di Upper Volta dan Chad. Elektrifikasi desa memang sudah ada. Tapi orang kota India memakai listrik 28 kali lebih banyak ketimbang saudara sepupunya di desa. Juga Bangkok di mana hidup 10% dari seluruh penduduk Thailand memakai 85% dari tenaga listrik negeri itu. Pedesaan Afrika menyedot 91% dari seluruh penduduk tapi memakai hanya 4% dari energi komersial. Minyak Tanah? Ketimpangan ini pada dasarnya dirasakan juga di Indonesia. Warga pedesaan Indonesia juga menebang hutan untuk kayubakar --adakalanya karena minyak tanah (kerosene) tak terbeli oleh rakyat atau tak sampai ke tempat terpencil. Padahal harga minyak tanah itu sudah terbilang murah, terutama oleh dompet wargakota, disebabkan subsidi pemerintah. Subsidi ini diduga akan dikurangi. Bila ini terjadi, harga minyak tanah akan naik yang pada gilirannya akan mendorong penduduk desa kita menebang pohon. Berbeda dengan di India, hutan memang masih banyak di Indonesia hingga penduduknya belum terpaksa mengeringkan tahi kandang untuk membikin api, energi. Namun banjir dan erosi yang disebabkan oleh penebangan hutan, juga sudah mengancam pedesaan Indonesia seperti di India. asanya penduduk di daerah hutan tidak berhemat dengan kayu. Di daerah dataran tinggi Tanzania, umpamanya diketahui desa-desa yang ada hutannya menghabiskan kayubakar lebih tiga kali lipat dibanding dengan desa-desa yang mempunyai sedikit lingkungan pohon. Orang Nepal yang dari daerah bukit Himalaya yang miskin tumbuh-tumbuhannya setelah pindah ke daerah rimba di kaki bukit Terai nyatanya berlipatganda menghabiskan kayubakar. Semua itu, tulis Earthscan, menggambarkan betapa sumber energi baru masih belum berhasil mengurangi tekanan pada batang kayu di pedesaan Dunia Ketiga. Walaupun nanti pedesaan itu mendapat listrik, orang desa umumnya belum akan bertanak dengan tungku listrik, belum akan memakai pompa listrik pada sumurnya. Survai energi, kata Earthscan lagi, kini menunjukkan bahwa tersedianya kayubakar masih menentukan jumlah energi yang dapat dipakai desa-desa Dunia Ketiga. Namun bagi Indonesia, pemeliharaan lingkungan dan usaha penghijauan jelas akan terbantu dengan tersedianya minyak tanah yang murah di pedesaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus