FESTIVAL Teater Remaja se-Jakarta yang ke VI, berakhir tanggal 2
Pebruari ini. Meskipun para juri merasa mutunya mundur, toh
terpilih juga 4 buah grup terbaik. Teater Rama (I), Teater Luka
dan Art Study Grup (II), Teater Stage Men (III). Di samping itu
terpilih 5 buah grup yang dianggap lumayan, sehingga total
jenderal ada 9 buah grup yang dianjurkan untuk dibina.
Pembinaan dilakukan lewat pemberian uang subsidi sebesar Rp 300
ribu, untuk biaya 4 kali pementasan (satu naskah) di Gelanggang
Remaja. Seorang sutradara remaja mensinyalir uang itu sebagai
tujuan utama darl peserta festival. Sulit untuk dipungkiri
adanya beberapa sutradara yang telah memanfaatkan uang subsidi
untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, bukan hanya mutu yang
rawan tapi juga rumah tangga grup gawat.
Bintang Film
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta yang mengambil alih kegiatan
Festival dari tangan Dewan Kesenian, sejak tahun lalu, untungnya
mendusin. Untuk mengacunkan lagi mutu dan menyehatkan kehidupan
grup, 30 sutradara finalis diajak hadir dalam suatu pertemuan.
Di dalam pertemuan -- yang tak beda dengan penataran -- secara
intensif sekali para sutradara muda itu diajak berembuk tentang
macam-macam masalah yang mereka hadapi. Soal-soal administrasi,
artistik, sampai kepada kesulitan-kesulitan pribadi, dibicarakan
di sini. Dan salah satu acara pertemuan disebut "klinik".
Pertemuan sutradara remaja ini, berlangsung antara tanggal 10
s/d 18 Pebruari. Semua peserta selama acara berlangsung menginap
di Hostel di depan Taman Impian Jaya Ancol. Setiap hari mereka
didampingi oleh team pembimbing (Pramana, Sihombing, Rudjito,
Putu Wijaya, Danarto, Adi Kurdi) yang tidak bertugas sebagai
guru, melainkan konsultan, mendengarkan sebanyak-banyaknya
pengaduan sutradara muda itu. Mereka juga memperoleh kesempatan
berlatih, melakukan observasi kehidupan rakyat jelata dan
mempersiapkan nomor-nomor bersama anggota grupnya di Gelanggang
masing-masing. Kegiatan akan diakhiri di Teater Arena TIM. Di
Sana nanti seluruh sutradara, dibantu oleh beberapa anggota
grupnya, menampilkan "tontonan bersama".
Selama pertemuan beberapa sutradara menampakkan kesungguhan hati
untuk bekerja. Yang ngotot dan ingin menuntut lebih banyak lagi
fasilitas, juga ada. Beberapa di antaranya loyo, atau bicara
terlalu banyak tanpa isi. Tetapi sikap dan tingkah laku yang
kurang perlu akhirnya berubah juga. Pertemuan kemudian
menghasilkan dialog terbuka, kadangkala keras, tapi selalu
berakhir dengan lucu. Suasana jadi kocak karena para pembimbing
tidak menyembunyikan perbedaan mereka terhadap apa yang
dinamakan "improvisasi", "interpretasi", "teknik vokal",
"keutuhan naskah" dan soal-soal teater yang lain. Para peserta
ditimbun dengan berbagai macam informasi. Mereka boleh memilih
menurut kebutuhannya. Kalau memang kepingin, baru diarahkan.
"Saya tahu bahwa grup kami memang kurang, tetapi kami ingin
menjelaskan yang kami menghadapi sejumlah pemain dengan kondlsl
sosial yang sangat unik," kata salah seorang sutradara. Ia
menerangkan betapa anak-anak muda yang dipimpinnya sebenarnya
berasal dari kelas masyarakat bawah, tapi merasa diri mereka
kelas menengah. "Kebutuhan mereka berteater sebenarnya disertai
keinginan lain yang muluk, misalnya untuk menjadi bintang film,"
ujarnya Keterangan ini membuat jelas, kenapa pertunjukan grup
tersebut buruk sekali. Set dekornya terlalu sederhana, mirip
tontonan anak-anak. Sedangkan gaya bermain anggotanya dihiasi
suasana berlomba untuk "nampang".
Batasan Ekspresi
"Kami ingin dibimbing, bukan diberikan uang subsidi untuk
kemudian dibiarkan saja mementaskan sendiri," kaa sutradara
yang lain. "Kalau festival maunya hanya memberikan hadiah kenapa
kami tidak diberikan saja hadiah uang saja langsung?". Seorang
sutradara malahan menganjurkan agar festival dilaksanakan dua
tahun satu kali. Ini saran bertolak dari kenyataan. Peserta
banyak, mutunya yang makin mundur.
Yang lain menanyakan sampai di mana batasan ekspresi sutradara
dibenarkan. Apakah itu juga termasuk memperbolehkan adanya
pemotongan, perubahan, penambahan dan pengaral-an yang
menyimpang dari naskah yang digarap. "Apakah para juri punya
patokan tertentu dalam soal interpretasi naskah? Ataukah para
juri mencoba mengikuti interpretasi sutradara itu sendiri di
dalam menilai?" tanya salah seorang sutradara.
Para pembimbing yang sebagian besar juri, ternyata tidak
memiliki titik tolak yang sama. Ada yang mutlak menganggap
naskah sebagai sumber utama, ada yang menerima interpretasi
setiap sutradara asal masih ada kaitan dengan nafas naskah.
Bahkan ada yang mentolerir titik tolak yang menentang jalan
fikiran pengarang naskah, asal semuanya berdasarkan konsep.
Macam-macam, memang Dan menimbulkan diskusi menarik. Wawancara
dengan beberapa sutradara peserta pertemuan -- menelan lebih
dari Rp 2 juta -- menunjukkan kegiatan demikian dinikmati
anak-anak muda itu.
Ketika diadakan latihan serentak di lima Gelanggang Remaja, tak
kurang dari 40 orang sutradara berkumpul di Gelanggang Remaja
Bulungan, Jakarta Selatan. Mereka beramai-ramai berlatih di luar
dan di dalam gedung. Sampai tengah malam. Separuhnya kemudian
tidur di atas panggung dan kursi. Subuh esoknya mereka berlatih
lagi di halaman. Boleh jugalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini