DUNIA peradilan Indonesia sedang disorot tajam. Isu suap, entah itu diterima hakim ataupun jaksa, menjadi santapan sehari-hari di koran. Dan pencari keadilan pun semakin berani menuding langsung. Contohnya awal bulan ini, seorang pengusaha, begitu selesai mendengarkan vonis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, langsung meraih pengeras suara: "Saya divonis begini karena saya tak mau membayar duit Rp 50 juta kepada Ibu Hakim." Hakim tak menghiraukannya dan bergegas meninggalkan ruang sidang. Pengusaha itu adalah Wiyanto Halim, 60 tahun. "Saya kesal karena hakim menjatuhkan vonis jauh lebih berat dari tuntutan jaksa," cerita Wiyanto kepada TEMPO. Vonis hakim 7 bulan penjara segera masuk, sedangkan tuntutan jaksa hanya 3 bulan penjara dalam percobaan 1 tahun. Sesuai dengan vonis itu, Wiyanto langsung mendekam di balik kerangkeng rumah tahanan Salemba, Jakarta. Adakah duit ikut bermain? Perkara ini sekarang sedang diselidiki. Pekan lalu, sebuah tim dari Inspektorat Jenderal Departemen Kehakiman diterjunkan untuk menguak benar-tidaknya dugaan tersebut. Tiga pihak yang terlibat, yaitu hakim, pengacara, dan terdakwa, diperiksa. Hasilnya? "Saya belum bisa mengatakan sekarang. Tunggu saja kejutan dari kami," kata sebuah sumber di Inspektorat Jenderal. Akan ada kejutan? Entahlah. Masyarakat memang mendambakan peradilan yang bersih. Dan juga peradilan yang cepat, sebagaimana sering digembar-gemborkan aparat penegak hukum. Kenyataannya, kasus yang menimpa Wiyanto jauh dari cepat, apalagi untuk kasus yang tidak begitu berat. "Kasus saya sudah terjadi enam tahun lalu," tuturnya. Mulanya dari sebuah permainan judi di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Dua pengusaha, Ruddy Susanto dan Djunaedi Rusli, terlibat judi. Djunaedi kalah dan terpaksa pinjam duit Rp 33,5 juta kepada Ruddy. Untuk menagih utang itu Ruddy memberi surat kuasa kepada Wiyanto. Berbekal surat itu, Wiyanto menemui Djunaedi pada 25 Februari 1988 di sebuah kamar hotel di kawasan Glodok. Penagihan itu ternyata tak lancar. Djunaedi ternyata hanya mau membayar utang kalau orang lain, yang juga berutang ke Ruddy, membayarnya. "Tentu saja saya tak mau. Urusan saya hanya dengan Djunaedi, bukan dengan konco-konconya," tutur Wiyanto. Karena kesal, Wiyanto pun menyambar gelas di depannya. Ia siramkan air di dalamnya ke muka Djunaedi. Byurr.... Mulut gelas itu menyambar kening Djunaedi hingga berdarah. "Waktu itu saya emosi sekali. Sebagai orang yang lebih tua saya merasa sangat dipermainkan," kata Wiyanto. Menurut beberapa saksi, dalam keadaan pelipis Djunaedi yang berdarah, terdakwa tetap mendesaknya agar membayar utang. Akhirnya Djunaedi membayar dengan giro. Peristiwa itu dilaporkan ke polisi saat itu juga. Tapi perkara tersebut baru dilimpahkan ke kejaksaan dua tahun kemudian, 1990. Jaksa mendakwa Wiyanto melakukan pemaksaan dan ancaman terhadap korban Djunaedi. Wiyanto juga dituduh telah melakukan penganiayaan ringan. Atas tindakannya ini, Wiyanto dijaring dengan Pasal 335 dan 352 KUHP. Wiyanto berharap peristiwa ini diperlakukan sebagai perkara ringan, sehingga cukup dengan sekali sidang saja sudah rampung. Karena itu, ia menemui jaksa. "Permintaan itu disanggupi asal saya bisa menyediakan duit Rp 10 juta," kata Wiyanto. Duit ini, katanya, juga akan dibagikan untuk hakim. Tapi hanya Rp 6 juta yang dipenuhi Wiyanto. "Itu saya bayar setelah berkali-kali jaksa menelepon dan datang ke rumah," kata Wiyanto. Entah sebab apa, perkara itu baru muncul di pengadilan 16 November 1993, setelah lima tahun lebih kasusnya terjadi. Dan nyatanya jaksa tak bisa menggelar dengan sekali sidang. Akhirnya, terdakwa menemui hakim. Menurut Wiyanto, hakim menjawab lewat panitera bahwa sidang bisa diatur kalau terdakwa mau mengeluarkan duit Rp 50 juta. "Saya menawar Rp 10 juta," kata Wiyanto. Panitera ternyata tak menyetujui tawaran itu. Faktor inilah yang diduga Wiyanto membuat hakim kesal, sehingga memvonisnya jauh lebih berat ketimbang tuntutan jaksa. Tentu, seperti biasanya, baik jaksa maupun hakim menolak tuduhan Wiyanto. "Itu kan hanya omongan orang yang tak suka pada saya," kata ketua majelis hakim, Nyonya Gustini, Jumat pekan lalu. "Masa, saya sampai minta duit Rp 50 juta segala," katanya. Vonis untuk Wiyanto, menurut Hakim Gustini, semata-mata karena berdasar pertimbangan hukum. "Jelas bahwa dakwaan primer terbukti, sehingga yang subsider diabaikan," katanya. Yang dimaksud dengan dakwaan primer itu adalah tindakan Wiyanto mengancam Djunaedi Rusli. Wiyanto tak puas terhadap keputusan itu. Lewat pengacaranya, Marsaulina Manurung, ia mengajukan banding. "Saya yakin hukuman untuk terdakwa diperingan dalam pengadilan banding nanti," kata Marsaulina. Masalahnya, ia menemukan banyak dakwaan jaksa yang tak betul. Misalnya, nama saksi, jumlah uang yang ditagih, dan peran terdakwa dalam penagihan, jaksa menyebutnya keliru, sehingga dakwaan menjadi kabur. Soal uang yang diterima jaksa? "Saya akan menagih duit yang sudah diberikan ke jaksa," kata Marsaulina. Apa itu mungkin? Kan Jaksa membantahnya.Iwan Qodar Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini